19 November 2009

Upaya Keluar dari Tempurung Kemiskinan

kompas.com

Rabu, 18 November 2009

Oleh Fabiola Ponto

"Urip nang Trenggalek kuwi rekasa. Awake dhewe kabeh pengen luwih makmur, urip luwih kepenak. Pingin golek panggonan anyar, arep melu transmigrasi ae."

Keinginan untuk mengadu nasib sudah tidak terbendung. Segala usaha sudah dilakukan, tetapi pendapatan untuk hidup sehari-hari tidak mencukupi. Padahal, segala upaya dilakukan agar kebutuhan keluarga tercukupi, mulai menanam kunyit, cengkeh, sampai jagung.

Namun, itu tetap saja tidak cukup. "Kami tidak tahu mau berusaha seperti apa lagi," ucap Tumini (38), yang lelah dengan kemiskinan.

Ketika program transmigrasi disosialisasikan di daerahnya, seketika itu tebersit keinginan dia untuk bergabung. Siapa tahu dia bisa lebih maju, memiliki pendapatan lebih besar, dan tentu saja hidup sejahtera.

Apalagi Tumini dan suaminya, Paikun (40), memiliki tiga anak. Meski salah satu anak sudah berumah tangga, tetap ada dua anak yang menjadi tanggungan mereka. Kedua anak itu harus disekolahkan. Jangan sampai mereka tidak mengenyam pendidikan karena orangtua tidak mampu menyekolahkan anak. "Kalau sekarang, jangankan menyekolahkan atau lainnya, anak saya minta permen saja saya sulit memenuhi," ujar Tumini.

Dengan pertimbangan itu, Paikun dan Tumini mengambil keputusan meninggalkan Trenggalek, tanah kelahiran yang tidak pernah sekalipun ditinggalkan sejak mereka lahir. Mereka meninggalkan Trenggalek untuk menuju Palu, Sulawesi Tengah, yang belum pernah mereka lihat. "Kami insya Allah betah di sana biarpun belum tahu bagaimana keadaannya," tutur Tumini sambil menyunggingkan senyum.

Bukan mau sok optimistis, ujarnya. Optimisme dirinya semata-mata karena mengetahui tempat kelahirannya dengan baik. Apalagi, dia dan suami sudah tidak bisa berbuat apa-apa agar memperoleh pendapatan lebih besar mengingat kebutuhan akan membesar untuk anak-anak. "Kalau ingat kondisi di Trenggalek selama ini, pasti kami berusaha betah di Palu," kata Paikun sambil memijat kaki Sugeng (8), satu-satunya anak yang ikut bertransmigrasi.

Seperti Paikun dan Tumini, Bejo (50) dan Tukirah (47) pun nekat meninggalkan Trenggalek. Rencananya mereka akan menetap di Gorontalo, yang sama sekali belum mereka ketahui kondisinya.

"Bagaimana lagi?" kata Bejo yang juga mengajak dua anaknya, yaitu Siti Komariah (11) dan Muji Slamet (29). Dengan bertani sebagai mata pencaharian, hidup dia dan keluarganya tidak juga tercukupi. Padahal, segala daya dan upaya telah dilakukan.

Akan tetapi, semuanya tidak cukup. Apalagi dengan bertani, pendapatan tidak menentu. Memang dia dan masyarakat di sana pada umumnya bukan menanam satu jenis tanaman. Namun, masa panen tidak setiap hari. Saat panen pun pendapatan masih pas-pasan. "Kalau dalam sehari saja dapat Rp 5.000, itu sudah bagus, tetapi jarang sekali bisa dapat segitu, lho," kata Siti.

Segala keterbatasan ini menyebabkan mereka ingin pindah dan berusaha lagi di tempat baru. Bertani bagi mereka sudah biasa sehingga tidak ada masalah untuk bertani di mana pun. "Kami hanya perlu adaptasi, pasti bisa, bukan masalah pekerjaan," ujar Bejo, yang diamini Tumini dan Paikun.

Melalui program transmigrasi, mereka dijanjikan rumah dan lahan untuk bertani. Ini cukup menjanjikan untuk memperoleh hasil lebih baik daripada di Trenggalek. "Pasti bisa, harus bisa, karena di Malang kami tidak tahu harus berbuat apa lagi. Siapa tahu kami bisa lebih berhasil di Gorontalo," tutur Dewi Rahayu (23), warga Malang, sambil menggendong putrinya, Anisa (1).

Program transmigrasi menjadi harapan bagi sebagian warga yang hidup sehari-harinya pas-pasan. Program yang menjadi media bagi mereka untuk keluar dari tempurung kemiskinan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar