17 November 2009

Memberdayakan PKL




Selasa, 17 November 2009

kompas.com
Oleh IU RUSLIANA

Apakah pedagang kaki lima tergolong dalam kelompok usaha mikro? Secara ekonomi tentu jumlahnya sangat signifikan. Tengoklah berbagai kota di Indonesia, ciri khasnya antara lain PKL. Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, serta seluruh kota besar dan kecil di Indonesia dipenuhi PKL. Bahkan negara lain, seperti Thailand, juga demikian.

Di Bandung, misalnya, begitu banyak pusat jajanan pinggir jalan yang jika malam tiba dipadati pengunjung. Bahkan jajanan pinggiran yang ditawarkan PKL merupakan bagian dari pariwisata karena dinikmati wisatawan yang berkunjung. Di Malioboro, Yogyakarta, akan lebih asyik makan malam di pinggiran sambil menikmati suasana kota.

Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar, yaitu perlawanan pemodal kecil kepada pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis dengan biaya mahal.

Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja ada simbiosis mutualisme antara konsumen dan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat seharusnya tidak mengobrak-abrik PKL, tetapi memberdayakannya.

Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi, dan pariwisata suatu kota. Bukan sekadar penyemarak, PKL juga merupakan penanda atau ikon suatu perkumpulan, pesta, dan kerumunan massa. Lihat saja pasar tumpah di berbagai sudut kota pada hari Minggu, di mana banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Di Bandung, keramaian itu terkonsentrasi di Gasibu dan beberapa tempat lain.

Data ekonomi

Bagaimana jika data dan sejarah ekonomi republik ini yang bicara? Harus diakui, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang di dalamnya ada PKL, sangat berperan dalam membangun fondasi perekonomian nasional. Selain menyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 1.505,3 triliun (30,3 persen), sektor usaha mikro juga mampu menyerap 83.647.711 tenaga kerja (89,3 persen). Pelaku usaha mikro di negeri kita mendominasi. Menurut basis data UMKM, jumlah usaha mikro di Indonesia sekitar 50,70 juta unit atau 98,9 persen.

Bandingkan dengan usaha besar yang hanya 43.700 unit dan menyerap 2,3 juta tenaga kerja (2,9 persen). Meskipun sumbangannya bagi PDB relatif besar, terlihat jelas bahwa UMKM lebih berperan bagi pemberdayaan masyarakat. Maka, untuk menciptakan kekuatan ekonomi bangsa ke depan, diperlukan transformasi atau upaya ekspansif dari pengusaha mikro untuk memajukan usahanya. Dalam bahasa lain, ekspansi dari jenis usaha mikro menjadi usaha kecil sampai bertransformasi ke bentuk usaha menengah.

Dari sisi regulasi, keberadaan PKL yang makin menjamur dan dinilai mengganggu ketertiban umum itu mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan. Argumentasi inilah yang dipergunakan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL.

Sesungguhnya diperlukan kebijakan komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.

Faktanya, pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi PKL dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan.

Pemberdayaan itu dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, melakukan edukasi soal aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, di satu sisi dibubarkan dan di sisi lain dimintai setoran, selama itu PKL akan ada. PKL adalah wajah kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara.

Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerja sama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisasi agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini pengorganisasian lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan dengan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisasi itu.

Kedua, PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisasi di daerah tertentu, dengan keunikannya, akan bisa menjadi primadona pariwisata.

Ketiga, edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omzetnya ratusan ribu rupiah naik kelas menjadi ratusan juta rupiah. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.

Keempat, konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemerintah daerah harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat lebih baik, bukan sebaliknya dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemerintah daerah harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan selama ini banyak pembeli tanpa mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun kelompok PKL yang diorganisasi sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.

Selama ini PKL menolak pemindahan karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL.

Usia usaha PKL sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan ekonomi yang telah lama ada dan penting bagi kehidupan manusia. Jika demikian, yang penting adalah memberdayakan, bukan membubarkannya. Sebab, PKL pun harus makan serta punya anak dan istri yang tiada lain merupakan anak-anak bangsa yang harus hidup layak. IU RUSLIANA Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar