16 November 2009

Berbantah Soal Kemiskinan Sleman



Senin, 16 November 2009

kompas.com

Beberapa hari lalu, Kompas menurunkan artikel tentang kemiskinan di Kabupaten Sleman. Pertama tentang adanya enam desa yang tergolong rawan pangan. Salah satunya Desa Caturharjo, Kecamatan Sleman, yang merupakan lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Sleman.

Kedua berupa feature tentang kondisi dua penduduk miskin di Desa Caturharjo. Isi artikelnya lugas, komprehensif, dan informatif. Yang bikin menarik, kondisi kehidupan dua warga miskin itu dikontraskan dengan total APBD tahun 2009 yang mencapai Rp 1 triliun. Dikontraskan pula dengan kenyataan Sleman merupakan kabupaten yang swasembada beras dengan surplus lebih dari 800 ton pada 2008.

Merespons berita itu, Pemerintah Kabupaten Sleman mengadakan konferensi pers. Laporannya dimuat pada artikel yang ketiga. Intinya, Pemkab Sleman membantah pernyataan terkait adanya enam desa rawan pangan. Yang menarik, Kompas menulis, "Pernyataan itu membantah sendiri pernyataan Kepala Seksi Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan dalam sarasehan Peringatan Hari Pangan Sedunia 2009 di Kecamatan Prambanan."

Peristiwa bantah-membantah itu menunjukkan adanya ketidakpaduan langkah dalam penanggulangan kemiskinan. Sedangkan soal kemiskinan merupakan inti penyebab dari soal-soal seperti rawan pangan, gizi buruk, dan buruknya kesehatan masyarakat. Ada banyak penyebab ketidakterpaduan itu, antara lain tiga hal berikut.

Pertama, rendahnya komitmen aparat, khususnya aparat kewilayahan, dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam proses pendataan, mereka umumnya hanya ingin tahu hasil akhirnya. Amat jarang mereka mengikuti proses apalagi melakukan supervisi secara substantif.

Lebih parah lagi, banyak perangkat desa yang berpikir bahwa semakin banyak penduduk dikategorikan miskin maka itu dianggap semakin baik. Alasannya, akan ada banyak bantuan mengalir ke desanya. Mereka sama sekali tidak menimbang soal keterbatasan anggaran yang tersedia maupun rasa keadilan. Yang penting, semua warga di dusun atau desanya mendapat bantuan sehingga mereka tidak diprotes warga.

Lanjutannya, jangan heran bila banyak program penanggulangan kemiskinan, apalagi yang datang dari pusat, tidak tepat sasaran. Sebagus apa pun perencanaan dan panduannya, sangat sulit mendapati proses dan hasil yang ideal. Penyebabnya, sekali lagi, banyak perangkat yang komitmennya rendah. Mereka tak mau repot. Buat apa susah-susah mencari orang miskin beneran dan mengorganisasi mereka. Usulkan saja kelompok yang sudah ada, meski sama sekali tak memenuhi kualifikasi. Yang penting, administrasinya dipenuhi dan, lebih dari semua hal, yang penting dananya turun. "Ada bantuan kok ditolak," begitu kata yang sering mereka ucapkan, bahkan di depan forum.

Maka jangan tanya soal monitoring dan tindak lanjut. Monitoring hanya dilakukan untuk memenuhi formalitas agar anggaran bisa digunakan. Maka yang dipilih adalah yang terbaik (di antara yang buruk). Atau kadang dipilih yang di pinggir jalan agar mudah dan cepat selesai. Itu pun hanya sekali atau dua kali selama proyek berjalan. Kelak jika ada proyek lanjutan, pokoknya semua diberi. Tidak perlu susah-susah mencari calon penerima baru, soalnya hanya akan menyulitkan baik dalam pendampingan maupun administrasi.

Kedua, meski telah ada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), koordinasi dalam arti yang sebenarnya masih amat minim. Maka jangan heran bila satu dinas dengan dinas lain yang sama-sama memiliki program penanggulangan kemiskinan ternyata mengarah pada sasaran yang berbeda. Padahal, anggota TKPKD adalah semua dinas dan instansi yang ada di kabupaten.

Dengan kondisi seperti itu, tentu amat sulit mengharapkan terjadinya sinergi penanggulangan kemiskinan. Alih-alih sinergi kegiatan, data basis masing-masing saja tidak sama. Dinas A bekerja berdasar kelompoknya sendiri, dinas B berdasar kelompok yang berbeda. Celakanya, dinas A maupun dinas B tidak bisa menjamin bahwa di dalam kelompok-kelompok itu warga miskin bisa memperoleh manfaat besar, atau setidaknya mendapatkan akses yang memadai.

Tak mau terima

Akan tetapi, dinas-dinas atau bidang-bidang itu juga tidak mau membuat kelompok khusus warga miskin dengan berbagai alasan. Salah satunya, menurut mereka, tidak mungkin sebuah kelompok bisa maju jika seluruh anggotanya adalah orang miskin. Alasan lainnya, dari dulu cara kerjanya ya sudah seperti itu. Pengubahan cara kerja akan berdampak pada pengubahan banyak hal.

Yang lebih mengherankan, kelompok bentukan dinas C yang dipandang sudah berhasil (sampai tahap tertentu) semestinya kelanjutan pembinaannya ada di dinas D. Ternyata dinas D tidak mau begitu saja menerima kelompok itu dengan alasan tidak tahu asal-usul dan perkembangannya. Alasan yang sesungguhnya adalah karena kelompok itu bukan bentukannya. Padahal, dinas C memang tidak punya kewenangan lagi untuk membina kelompok yang telah mapan itu. Jadi, hampir mustahil berharap ada keberlanjutan dan pengembangan program penanggulangan kemiskinan.

Ketiga, boleh jadi para pimpinan di Kabupaten Sleman memiliki komitmen yang tinggi dalam penanggulangan kemiskinan. Persoalannya, apakah komitmen itu terimplementasi dengan baik atau tidak.

Salah satu hal yang bisa dilihat adalah, karena banyaknya kesibukan, pucuk-pucuk pimpinan sering tidak bisa hadir dalam rapat koordinasi penanggulangan kemiskinan. Mereka sering menugasi staf untuk menggantikannya. Permasalahan muncul ketika staf yang ditugasi rapat itu berganti-ganti. Dalam rapat si staf tidak memahami persoalan karena tidak mengikuti permasalahannya sejak awal. Otomatis staf itu tidak bisa berkontribusi dalam pembuatan keputusan.

Berikutnya, apakah ada jaminan bahwa semua hasil rapat akan sampai secara utuh kepada pimpinan? Jika pimpinan harus segera mengambil kebijakan, apakah bisa sejalan dengan semangat yang berkembang dalam rapat yang tidak dihadirinya?

Dengan ulasan singkat itu, penulis hanya ingin mengajak semua pihak untuk tidak panik, apalagi emosional, saat membaca berita tentang kemiskinan. Jangan buru-buru menyalahkan media bila kenyataannya ada ketidakpaduan di dalam tim yang dipimpinnya.

Saptopo B Ilkodar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN "Veteran" Yogy



Tidak ada komentar:

Posting Komentar