06 Mei 2009

Wajah Kemiskinan di Mubrani

SUARA PEMBARUAN DAILY

Wajah Kemiskinan di Mubrani

(Pertama dari dua tulisan)

Sekitar 10 meter dari balai kampung, Desa Waru, Kecamatan Mubrani, Manokwari, Papua Barat, Ishak Wabia (12) hanya mampu memandang dari pintu gubuknya yang rewot. Matanya terus menatap ke arah keramaian di balai kampung Minggu siang itu, saat tim relawan Gerakan Kemanusiaan Indonesia (GKI) mengadakan pelayanan kesehatan di desa itu.

Kadang dia tersenyum melihat teman-temannya yang bercanda sambil berlarian ke sana-kemari, seolah ingin ikut merasakan suasana riuh yang jarang terjadi di kampung itu. Tak ada kata yang terucap, hanya senyum yang mekar dibibirnya yang pucat ketika SP menghampiri dan menyalaminya.

Wajahnya pun pucat meski ditutupi kulit hitamnya. Badannya tinggal kulit membungkus tulang tanda kurang gizi. Kaki kanannya berukuran lebih kecil dari kiri, dan terdapat belasan lubang bisul yang bernanah.

Rupanya luka inilah yang membuat Ishak sedari tadi hanya mampu tersenyum dari pintu gubuknya, karena lumpuh. Jika ingin bergeser atau mengambil sesuatu, Ishak hanya mengandalkan bokongnya. "Sakit sekali, malam tidak bisa tidur," ujarnya lirih, lama dan sambil menunduk ketika diajak bicara.

Akibat lumpuh, Ishak berhenti sekolah sejak kelas 4 SD. Sudah tiga tahun dia harus berjuang menahan sakit tanpa pengobatan medis, karena orangtuanya tidak memiliki uang sedikit pun.

"Baru disuntik satu kali oleh mantri Soleman, habis itu tidak ada lagi. Hanya dikasih kapsul untuk ditaruh di luka. Sudah habis saya coba pakai daun-daun untuk tempel di luka, tetapi tetap tidak sembuh," ujar Bereng Wabia (55), ayah Ishak yang diterjemahkan saudaranya karena tidak bisa berbahasa Indonesia.

Semenjak ibunya dipanggil Tuhan setahun yang lalu, Ishak hanya hidup berdua bersama ayahnya di rumah panggung yang nyaris roboh. Mungkin bagi sebagian orang, rumah ini tidak layak dihuni manusia, namun bagi ayah beranak ini, adalah istana.

Bagaimana tidak, meski hanya bertiang bambu lapuk dan beratap daun yang sudah koyak, inilah satu-satunya tempat paling nyaman untuk menjalani hari-hari mereka. Terutama bagi Ishak yang saban hari hanya di rumah menanti sang ayah ke kebun untuk mencari makan, sekedar singkong, kacang, dan sukun untuk direbus atau dibakar. "Tidak apalah yang penting kenyang," ujarnya lagi tersenyum.

Sementara itu, Alexander Masu (25) warga Wabei, harus pasrah duduk di atas alat kemaluannya sendiri yang membesar akibat penyakit Elephantiasis (zakar yang membesar). Setelah ditinggal kedua orangtuanya beberapa tahun lalu, Alexander hanya tinggal berdua bersama kakaknya, Moses (30), di rumah panggung yang mirip kandang hewan.

Sejak SD kelas 3, Alexander sudah mulai merasakan gejala di kemaluannya berupa benjolan kecil, yang dari hari ke hari semakin membesar, hingga di usia produktifnya Alexander harus memikul beban psikologis dan kesehatan.

November 2008 lalu, oleh masyarakat setempat meminta kepada Camat membawanya ke RS Manokwari untuk dioperasi, namun RS tidak mampu mengobati dan merujuknya ke RSU Wahidin Sudiro Husodo, Makassar, Sulawesi Selatan. Lagi-lagi karena biaya, Alexander dibawa pulang ke kampungnya, tanpa hasil. Pihak kerabat meminta bantuan biaya kepada pemda setempat, namun hingga berita ini diturunkan belum ada jawaban.

Terisolasi Pelayanan

Ishak dan Alexander hanyalah salah satu contoh potret keluarga miskin yang ada di beberapa desa di Kecamatan Mubrani, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Karena keterbatasan mengakses pengobatan, akhirnya pasrah menanggung penderitaan karena penyakit yang tak kunjung sembuh.

Meski telah menjadi daerah pemekaran sejak tahun 2004, pelayanan publik di Desa Waru, Arfu, Maryembeker, Wabei, Arsembri masih memprihatinkan. Warga hidup tanpa sarana listrik, jalan, dan transportasi. Hal ini terutama terjadi di Desa Waru.

Akses kesehatan pun terbatas. Meski ada petugas pelayanan kesehatan keliling, itu pun jarang mengunjungi mereka.

Dua puskesmas pembantu (Pustu) yang ada daerah ini, tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika warga mencari pengobatan dengan berjalan kaki berjam-jam, justru petugas sering tidak berada di tempat atau malah tidak ada obatnya.

"Pak Soleman terakhir ke sini bulan Oktober 2008 lalu untuk membagi dana Jamkesmas, setelah itu tidak datang lagi," ujar Yosafat (33), Kepala Kampung Waru.

Alhasil, banyak warga yang menderita berbagai penyakit tidak terobati secara baik. Seperti kaki gajah, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), batuk beringus, anemia dan kurang gizi juga melanda masyarakat ini. Dari pemeriksaan terhadap sekitar 400 balita, 90 persen di antaranya menderita kurang gizi, termasuk juga ibu hamil. Endemis malaria dan tuberkulosis pun menjadi masalah abadi.[Dina Manafe]


Last modified: 3/5/09
http://202.137.4.125/indeks/News/2009/05/04/index.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar