Laporan KARTINI FATTACH, Dumai
Deportasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke tanah air, kerap kali menimbulkan siksa bagi kota yang ditunjuk sebagai pintu masuk pemulangan. Dumai misalnya, selama bertahun-tahun terus melakoni siksa itu.
SUHU udara Kota Dumai, Selasa (26/5) cukup membuat tubuh merasa gerah dan berkeringat. Di antara kesibukan warga Dumai yang hiruk-pikuk dengan aktifitas masing-masing, tiba-tiba saja di depan salah satu rumah makan kota minyak itu, melintas pria 40 tahunan dengan tubuh dekil dan pakaian kumal, tanpa mengenakan alas kaki.
''Itu salah seorang contoh TKI yang jadi gila setelah dipulangkan dari Malaysia,'' ucap Yani, salah seorang warga Dumai sembari mengarahkan telunjuknya ke arah orang gila yang melintas persis di tempat Riau Pos bersama sejumlah anggota rombongan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Pusat, serta Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Riau, saat berkunjung ke Kota Dumai, Selasa kemarin.
Kehadiran BNP2TKI RI yang langsung dipimpin Kepala Moh Jumhur Hidayat dan Kepala BP3TKI Riau Maulina SH ini ke Dumai, adalah untuk meresmikan keberadaan Pos Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI (P4TKI) di Dumai dan sejumlah kota lainnya di Sumatera. P4TKI ini merupakan embrio pembentukan Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) untuk mempermudah pengurusan dokumen CTKI.
Kunjungan Jumhur Hidayat dan rombongan ini, disambut Wakil Wali Kota Dumai H Sunaryo, Kepala Kantor Imigrasi Kota Dumai Icon Siregar. Saat peresmian P4TKI yang bertempat di Pendopo Kota Dumai inilah Sunaryo menyampaikan keluh kesah dan siksaan yang dialami Pemko dan masyarakat Kota Dumai seputar masalah TKI selama ini.
Memang diakui Sunaryo, sejak puluhan tahun Kota Dumai menjadi kawasan pintu keluar masuk TKI. Termasuk pula pelabuhan yang ditunjuk sebagai lokasi deportasi TKI oleh pemerintah pusat. Masalah muncul ketika para TKI yang sudah dikembalikan dari negara tetangga Malaysia tersebut, tidak langsung kembali ke daerah asal mereka. Melainkan memilih menetap di Kota Dumai. Apalagi kebanyakan diantara TKI yang dideportasi tersebut sudah disuntik gila oleh pihak Malaysia, dengan maksud agar para TKI tidak lagi kembali ke Malaysia.
''Kalau sekali atau dua kali masih bisa kami tanggulangi. Tapi kalau terus-menerus ini tentu tak bisa kami tolelir lagi. Kami sudah tak mau lagi kota kami menjadi penampung orang gila. Apalagi saat ini saja calon orang gila sudah bertambah lagi seiring dengan selesainya Pemilu 9 April lalu,'' ucap Sunaryo.
Tak hanya gila, masalah lain para TKI yang sudah dideportasi ini adalah makin tingginya tingkat pengangguran di Kota Dumai, sehingga berimbas pula pada tingginya tingkat kriminalitas. Ini dikarenakan TKI yang dideportasi tersebut tidak mau kembali ke daerah asal mereka, misalnya di Jawa atau lainnya, karena terlanjur malu dengan keluarga di kampung halaman mereka. Sehingga memilih menetap di Dumai menjadi pengangguran. Sementara Pemko Dumai sendiri tidak mampu berbuat banyak untuk membantu mereka termasuk pula untuk memulangkan para TKI yang jumlahnya mencapai ribuan tersebut ke kampung halaman mereka.
Mendapati fenomena serupa ini, Jumhur mengaku cukup prihatin. Menurutnya, selama ini untuk penanganan para TKI yang dideportasi langsung dilakukan Departemen Sosial yang berkoordinasi dengan Dinas Sosial. Dana untuk pemulangan para TKI ini juga telah dialokasikan di APBN.
Solusi lain yang ditawarkan Jumhur adalah dengan mempermudah pembaharuan dokumen para TKI deportasi, sehingga tidak perlu lagi kembali ke daerah asal mereka. Ini akan dilakukan setelah berdirinya LTSP TKI yang diperkirakan akan diwujudkan dalam dua bulan ke depan. ''Nanti setelah ada LTSP ini, TKI tak perlu lagi kembali ke daerah asal untuk mengurus dokumen. Cukup di daerah yang ada LTSP nya saja. Di sini para TKI akan mendapatkan kemudahan-kemudahan untuk mengurus dokumen kelengkapan sebagai TKI Legal,'' ungkap Jumhur yang berada di Riau selama tiga hari ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar