27 Mei 2009

Kemiskinan dan Jebakan “Trafficking”

Rabu, 27 Mei 2009

Sinar Harapan

OLEH: STEVANI ELISABETH


PONTIANAK – Tanah di Desa Padang Pasir, Saliung, Singkawang, masih basah ketika kami tiba di sana. Sehari sebelumnya, hujan deras disertai angin melanda Kota Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar).


SH/stevani elisabeth

Untuk mencapai Desa Padang Pasir kami harus berjalan kaki sejauh satu kilometer. Namun, mobil yang kami tumpangi hanya bisa mengantar sampai jembatan timbang, karena jalan menuju desa tersebut masih berupa jalan tanah.
Kami pun harus melewati pematang sawah, sesekali bertemu dengan petani yang sedang membakar batang padi atau jerami yang sudah mengering. Ada juga petani yang sedang memetik kangkung dan ketimun. Beberapa rumah berdinding papan dibangun di areal sawah ini.
Salah satu rumah adalah milik A Chung (67). Lelaki yang sehari-harinya bekerja sebagai petani ini mempunyai 11 anak. Istrinya sudah meninggal lima tahun lalu. Rumahnya memang sedikit lebih besar dibandingkan dengan rumah-rumah tetangganya. Lantai dan dindingnya terbuat dari papan. Di ruang tamu hanya ada satu meja makan, meja kerja, dan beberapa kursi plastik. Tak ketinggalan ada meja altar yang diletakkan di samping televisi.
Meski memiliki sawah dan kebun yang tidak terlalu luas, sebagian besar anak A Chung tidak bersekolah. Bahkan, cucu laki-lakinya yang berusia enam tahun juga belum sekolah. Biaya sekolah yang mahal membuat mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya, apalagi bila harus sekolah keluar desa atau ke kota. Oleh karenanya, sebagian besar warga desa tidak mengecap pendidikan tinggi, dan jadilah mereka penduduk miskin turun-temurun, bahkan jadi objekan orang-orang kota.    
Salah satu anak A Chung, misalnya A Chiu (33), pernah ditipu dan dijadikan korban trafficking (perdagangan manusia) di Malaysia. Awalnya, A Chiu memang tertarik tawaran tetangganya untuk bekerja di Malaysia dengan iming-iming  gaji 600 ringgit atau sekitar Rp 1,8 juta per bulan. Tetapi orang tuanya tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk berangkat ke negeri jiran.
"Biaya membuat paspor sampai berangkat ke Malaysia ditanggung A Ling (bukan nama sebenarnya-red)," ujarnya. Gadis berambut panjang ini mengaku, meski A Ling tidak menunjukkan surat kontrak kerja, keluarganya percaya karena mereka sudah lama hidup bertetangga dengan baik.
Singkat cerita, A Ling berhasil membawa A Chiu ke Kuala Lumpur. Di sana, A Chiu sempat bekerja di rumah anak A Ling selama sebulan tanpa diberi upah. "Saat itu alasannya supaya saya bisa beradaptasi dengan kehidupan di Malaysia sambil menunggu majikannya," lanjutnya. Setelah sebulan, A Chiu baru dijemput majikannya, Chong Yu Khim. Tetapi setelah setahun menjadi pembantu Chong Yu Khim, lagi-lagi dia tidak digaji. Ternyata sang majikan sudah membayarkan gajinya melalui A Ling. Pernah A Chiu meminta langsung gajinya kepada majikan, namun ia malah dihardik dan dipukul.
Sementara itu, sang ayah, A Chung, juga sempat menanyakan nasib anaknya kepada A Ling dan dijawab bahwa A Chiu sudah memperoleh majikan. Tapi saat ditanya mengapa sudah setahun anaknya tidak mengirimkan uang, A Ling tidak memberi jawaban.

"Dia cuma bilang, nanti suaminya akan ke Malaysia dan A Chiu dapat menitipkan uang," jelas A Chung.
Tidak lama setelah kejadian itu, A Ling dan keluarganya pindah rumah ke Kota Singkawang, membuat  kabar tentang A Chiu sulit diperoleh. A Chiu sendiri ternyata diberhentikan oleh majikannya. Dia dijemput oleh suami A Ling untuk dikembalikan ke Indonesia. Di Imigrasi Malaysia, suami A Ling sempat dimarahi petugas imigrasi karena tidak memberikan uang transpor buat A Chiu. Akhirnya gadis berwajah oriental ini tiba di Pontianak dan dijemput ayahnya untuk kembali ke Singkawang. "Kalau ada orang yang mengajak saya bekerja di Malaysia, saya sudah tidak mau lagi," kata A Chiu.
Ayah A Chiu mengaku tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anaknya. "Jangankan untuk sekolah, untuk makan aja susah. Beras dan sayur memang kami tidak beli, tapi kalau mau makan daging dan ikan, kami tak mampu," ujarnya. Orang tua A Chiu termasuk beruntung karena memiliki sawah sendiri. Maklum, tetangganya sebagian besar petani penggarap yang sawahnya justru dimiliki orang-orang di luar Singkawang. Kalau musim panen tiba, mereka hanya memperoleh upah Rp 750.000.

Kejahatan Internasional
Pekerja sosial masyarakat Kota Singkawang, Maya Satrini mengatakan, masalah trafficking termasuk kejahatan internasional yang terorganisasi dengan rapi. Modus operandi yang dilakukan setiap hari berganti-ganti. "UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang maupun Perda Kalbar tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang tidak dapat memutuskan jaringan perdagangan orang ini," ia mengingatkan.
Konselor dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Agus Sarwono menilai UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebenarnya tidak punya kelemahanan. Hanya saja Indonesia belum punya nota kesepahaman (MoU) antarprovinsi tentang mengatasi masalah trafficking. Akibatnya, Kalbar sebagai wilayah perlintasan harus menangani korban trafficking yang sebagian besar berasal dari Jawa, NTB dan NTT.  
Pemerintah Kalbar sendiri telah memiliki Perda No 7 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang. "Di sini sudah ada MoU antarkabupaten tentang pencegahan trafficking ini. Tapi yang jadi masalah, provinsi kami selalu dinilai memiliki kasus yang tinggi, padahal para korban banyak yang berasal dari Jawa Barat, Jatim, NTB dan NTT," lanjut Agus. Banyak korban trafficking yang ditelantarkan di daerah Entikong, Kalbar dalam kondisi mengenaskan.
Dia mengatakan, tahun 2008 ada 400 korban yang sempat ditangani oleh P2TP2A. Untuk tahun 2009 sejak Januari sudah ada 36 korban, sebagian besar berasal dari luar Kalbar. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB Kota Singkawang Bonaventura menjelaskan, berdasarkan data dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LKBH PeKa) Kalbar pada tahun 2007 ada 29 kasus trafficking dan tahun 2008 ada 21 kasus di Kota Singkawang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar