05 Mei 2009

TKI Pontianak yang Diancam Pancung di Arab Saudi Ujung Lidah Dipotong, Tiga Bulan Disekap



 
Rabu, 29 April 2009


Pontianak Post

PONTIANAK--Keluarga Sulaimah binti Misdin TKI asal Pontianak yang diancam hukuman mati di Arab Saudi syok ketika mengetahui kabar kalau wanita kelahiran 7 April 1973 itu akan dipancung. Saudara sepupunya Zein Muchsin (36) dan Muchlis (38) merasa tidak sanggup menyampaikan kabar tersebut kepada kedua orangtua Sulaimah yang berada Sungai Ambawang. "Memang tahu dia sedang di penjara, tapi baru tahu kalau akan dipancung dari koran Pontianak Post," ungkap Muchsin. "Kami bingung bagaimana mengatakannya kepada orang tuanya. Bapak dan ibunya dalam keadaan sakit sekarang," timpal Muchlis.

Dikisahkan Muchsin, sepupunya itu berangkat ke Arab Saudi untuk melaksanakan umrah pada akhir 2004. Awal 2005 dirinya mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan majikan Shaed. Belum sepekan bekerja, Sulaimah mendapat musibah dituduh sebagai pembunuh ibu Sahed bernama Zechroh. "Dia waktu itu belum dapat berbahasa arab. Jadi kesulitan ketika diperiksa polisi," ucapnya. Abang kandung Muchsin, Muchlis mengatakan, sekitar tiga bulan lalu Sulaimah menelepon dirinya dari penjara Arab Saudi. Dikatannya waktu itu, ujung lidahnya dipotong oleh polisi Arab Saudi karena tidak mau mengaku sebagai pembunuh Zechroh. Dalam percakapan waktu itu, Salum panggilan Sulaimah di penjara susah dimengerti dan tidak jelas apa yang diucapkannya. "Saya kaget dengar ujung lidahnya dipotong. Ngomonnya sudah cadel," katanya.

Hal itu juga dibenarkan rekan Salum asal Pontianak yang pernah bersama-samanya di dalam penjara selama lima bulan. Melalui telepon, rekan Salum itu menyebutkan memang benar ujung lidah Salum dipotong. "Yang satu penjara dengannya itu juga teman saya. Dia membenarkan apa yang dikatakan sepupu saya kalau lidahnya telah dipotong," ungkap Muchlis.  Ketika menelepon Muchlis, Salum mengeluhkan proses sidang yang dijalaninya sebatang kara. Dari 2005 hingga tiga bulan lalu, sudah 20 kali sidang djalaninya. Selama itu juga tidak ada satupun perwakilan Konjen atau KBRI yang mendampinginya. Begitu juga dengan keluarga korban tidak pernah mau hadir sebagai saksi dalam persidangan. Padahal, upaya meminta bantuan Konjen RI sudah dilakukan. Teman Salum sesama TKI pernah mendatangi Konjen untuk meminta advokasi. Oleh oknum Konjen, teman Salum tersebut dimintai sejumlah uang, dan dijanjikan akan membantu proses hukumnya. "Kata temannya itu, dia sudah memberikan uang ke oknum Konjen. Tapi selam sidang tidak ada sama sekali Konjen RI yang datang mengadvokasi. Hari ini (kemarin, red) temannya itu menelepon saya," kata Muchlis.

Muchlis melanjutkan, sepupunya itu bercerita, ketika pertama kali dihukum, dirinya pernah disekap di dalam WC selama tiga bulan tanpa lampu penerang ruangan. Selama itu juga, Salum tidak pernah keluar ruangan. Makan, minum dan tidur dilakoninya dalam ruang penyekapan itu. "Selimut juga katanya tidak diberikan," ujar Muchlis.Muchlis dan Muchsin berharap, pemerintah mulai dari bupati hingga presiden dapat membantu proses hukum Salum. Selama ini, pihak keluarga sudah berupaya mencari cara membantu Salum, tapi apa yang dilakukan dirasakan belum optimal. "Kami sudah datangi Komnas HAM Perwakilan Kalbar, kami disuruh melengkapi berkas," tutur Muchsin.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat, ketika berkunjung ke Pontianak Post, mengatakan, dirinya akan menyurati Menteri Luar Negeri jika benar ada oknum Konjen yang meminta uang untuk megadvokasi TKI. Terlebih lagi, selama menjalani persidangan tidak ada pendampingan yang dilakukan Konjen atau KBRI. "Seharusnya Konjen RI atau KBRI mestinya melakukan advokasi kepada TKI jika diketahui tengah mengalami masalah hukum," ungkapnya. Kesulitan mengetahui jika ada TKI yang sedang menjalani proses hukum di Arab Saudi, karena Indonesia dengan Pemerintah RI tidak ada perjanjian Mandatory Consuler Notification (MCN). Artinya, pemerintah setempat tidak wajib memberitahu KBRI jika ada TKI yang mengalami permasalahan hukum. "Sama saja dengan Malaysia. Di dua negara itu, tidak ada perjanjian MCN dengan Indonesia," kata Jumhur.Hal itu membuat tidak jarang terjadi perbedaan antara data KBRI dengan fakta mengenai TKI yang sedang menjalani proses dan telah dijatuhi hukuman. "Kadang bedanya sangat jauh. Karena itu tadi, negara setempat tidak wajib menyampaikannya kepada KBRI," ucap Jumhur.(hen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar