KOMPAS.com — WAJAH Rita (17) sedikit memerah tatkala ditanya tentang keluarganya yang menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Sejak delapan tahun lalu, ayahnya, Yaji (45), dan kakaknya, Yoyok (25), mengadu nasib di Selangor.
Setahun lalu Rita juga harus meratapi kepergian sang bunda, Martini (43), saat meninggalkan Desa Kalibatur, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menuju negeri jiran itu.
"Saya sering kangen dengan mereka. Kalau bisa memilih, saya inginnya mereka tak bekerja di luar negeri," tutur Rita, Rabu (29/4), ditemani neneknya, Kasri (70).
Rasa getir terasa kian dalam karena ayahnya yang menjadi pekerja bangunan tak pernah pulang ke rumah sejak Rita berusia sembilan tahun. "Ibu dan kakak saya juga tidak selalu pulang kampung tiap tahun," lanjutnya.
Meski demikian, Rita berusaha tegar menghadapi semua itu. Ia menyadari keputusan keluarganya itu dipicu kondisi kampung halaman yang tak bisa memberikan jaminan kehidupan yang layak akibat terbatasnya lapangan pekerjaan di sana.
Kondisi tanah perbukitan yang tandus di sebagian besar wilayah selatan Tulungagung membuat warga tak punya banyak pilihan. Mereka hanya
Karena itu, tidak sedikit warga yang rela menempuh jarak ratusan ribu kilometer ke negeri tetangga untuk mencari nafkah. Di sana pada umumnya mereka bekerja sebagai kuli bangunan atau pembantu rumah tangga.
Pendidikan SD atau SLTP yang mereka enyam menjadikan para TKI tersebut tak mampu menembus lapangan pekerjaan di sektor formal meski sudah mengorbankan banyak hal penting dalam hidup ini, seperti meninggalkan anak, orangtua, dan kerabat lain.
Mereka bisa dikatakan telah kehilangan momen paling membahagiakan, seperti melihat
Rita, misalnya. Ia merasa sangat kekurangan pendamping dalam melanjutkan hidup ini. Gadis berkulit kuning langsat itu tak meneruskan sekolah setelah lulus dari SMP Negeri 1 Banyu Urip, Kalidawir, Tulungagung. Ia mengaku enggan melanjutkan pendidikan karena tidak ada yang mendampingi. Apalagi, ia juga harus
"Seandainya ada angkutan umum, mungkin saya tetap melanjutkan sekolah. Nenek melarang saya naik sepeda motor sendiri," paparnya.
Rita mungkin tak menyadari bahwa keterbatasan kondisi kampung halamannya diam-diam telah merenggut masa depannya. Andai pembangunan infrastruktur, seperti jalan lintas selatan (JLS) Jawa yang melalui wilayah Tulungagung bagian selatan sudah terealisasi, mungkin cerita Rita akan lain.
Kepala Desa Kalibatur Widodo optimistis pembangunan JLS akan membuka belenggu warga dari jaring kemiskinan dan ketertinggalan. Walaupun bukanlah solusi, setidaknya JLS mampu memperlancar aksesibilitas sehingga pada akhirnya mendorong tumbuhnya riak-riak kegiatan ekonomi.
"Kami bisa berdagang, membuka warung atau kios-kios
Hingga kini warga hanya bisa bekerja di ladang karena tidak ada industri apa pun di sana. Bekerja sebagai TKI dengan sendirinya menjadi rujukan
JLS memang diharapkan akan memberikan manfaat berarti bagi masyarakat sekitar. Namun, yang tidak kalah penting dipertimbangkan adalah akses terhadap dunia pendidikan, termasuk ke perguruan tinggi.
Jika itu terwujud, bukan mustahil peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sektor formal akan terbuka.
Kalaupun mereka harus
Sumber : Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar