13 Mei 2009

Kerusakan Terumbu Karang Ancam Keamanan Pangan

Rabu, 13 Mei 2009

MANADO, KOMPAS.com — Tekanan perubahan iklim terhadap terumbu karang mengancam keberlanjutan ketersediaan pangan dan akan memaksa masyarakat di daerah pesisir berpindah karena kehilangan sumber makanan dan sumber pendapatan.


Studi yang dilakukan World Wildlife Fund (WWF) Internasional juga menyebutkan bahwa jika dunia tidak mengambil tindakan efektif untuk menekan dampak perubahan iklim maka kawasan terumbu karang di Segitiga Karang (Coral Triangle) akan hilang pada akhir abad ini. Hal itu membuat kemampuan daerah pesisir untuk menghidupi populasi di daerah sekitarnya akan berkurang 80 persen.


Direktur Jenderal WWF Internasional James Leape mengatakan, hal itu bisa terjadi karena keberadaan terumbu karang sangat memengaruhi kelangsungan ekosistem laut, termasuk kehidupan sumber daya hayati di dalamnya. Segitiga Karang yang meliputi kawasan Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste mencakup 30 persen dari terumbu karang di dunia dan 76 persen dari spesies karang yang membentuknya merupakan tempat bertelur jenis ikan strategis, seperti ikan tuna.


"Jika terumbu karang, mangrove dan rumput laut dibiarkan rusak dan tidak diperhatikan, sumber daya hayati laut yang tersisa untuk dinikmati akan tinggal 10 persen dari yang ada sekarang," kata Prof Ove Hoegh-Guldberg dari University of Queesnsland di Manado, di sela Konferensi Kelautan Dunia (WOC), Rabu.


Hoegh-Guldberg, yang memimpin penelitian tentang perubahan iklim dan terumbu karang, mengatakan bahwa 300 publikasi ilmiah di bidang biologi, ekonomi, dan perikanan menunjukkan dua kemungkinan masa depan bagi lingkungan laut pada abad ini.


"Kemungkinan terburuk terjadi jika kita tetap saja hidup dalam jalur iklim, seperti sekarang atau melakukan sedikit hal untuk melindungi kawasan pesisir dari serangan gencar ancaman lokal," katanya.


Menurut Leape, saat ini komunitas dunia mesti berusaha mencari cara untuk secepatnya menurunkan emisi gas rumah kaca serta mencari tahu bagaimana melakukan adaptasi dan mitigasi untuk mengatasi masalah itu.


"Dukungan finansial untuk adaptasi dan mitigasi harus tersedia. Juga harus ada komitmen politik untuk menggerakkan upaya ini," katanya.


Menurut Hoegh-Guldberg, dalam kondisi seperti sekarang ini masyarakat di negara-negara berkembang yang paling berisiko terkena dampak mesti menyatukan suara supaya para pemimpin dunia mendukung upaya adaptasi dan mitigasi mereka.


Para pemimpin dunia, kata dia, harus mendukung negara-negara Segitiga Karang melindungi masyarakat paling rentan terhadap kenaikan muka air laut dengan membantu memperkuat pengelolaan sumber daya alam kelautan dan menempa kesepakatan yang kuat pada penurunan gas rumah kaca di Konferensi Iklim PBB di Kopenhagen bulan Desember mendatang.


"Negara-negara maju harus membantu negara berkembang. Dalam kondisi seperti sekarang, krisis global akan menjadi alasan bagi mereka untuk tidak melakukannya, karena itu negara-negara berkembang harus menyatukan suara di Kopenhagen nanti," katanya.


Selain itu, pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat mesti fokus dalam memetakan daerah, sektor dan kelompok masyarakat yang akan terkena dampak perubahan iklim paling parah serta kemudian mencoba membuat program, penganggaran, dan rencana aksi untuk menanganinya. "Harus ada tindakan terpadu dengan memberdayakan masyarakat," katanya.


WAH
Sumber : Antara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar