21 Mei 2009

JANJI KOSONG BROKER TKI KE KOREA [Bag III]


Tempo Interaktif


Bertabur Uang di Selapajang
ORANG-ORANG DEKAT JUMHUR DITENGARAI SIBUK "BERBISNIS" KUOTA ANGKUTAN TKI. SEORANG PENGUSAHA BUKA SUARA.

SELARIK pesan pendek mampir ke telepon seluler Syafrida Isnaini Daulay. Isinya antara lain meminta Direktur Utama PT Victory Asia Perkasa itu mengirim sejumlah uang ke rekening atas nama Muhammad Pasha Nasution di BNI cabang Kramat.

Si pengirim pesan, Syawal Nasution, tak lain adalah ayah Pasha. Sehari-hari ia bekerja sebagai anggota staf protokoler Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) M. Jumhur Hidayat.

Syafrida baru dapat memenuhi permintaan itu tiga hari kemudian. Dari total Rp 13 juta yang ditransfer, Rp 10 juta dikirimkan sekitar pukul 08.00. Sedangkan sisanya, Rp 3 juta, menyusul lima menit kemudian.

Transfer dilakukan dari anjungan tunai mandiri Buaran, Klender, Jakarta Timur. Selain mengeruk ATM, Syafrida mengaku telah merogoh duit tunai dari koceknya sebesar Rp 703 juta selama September 2007 hingga pertengahan Januari 2008.

Uang sebanyak itu ia berikan antara lain kepada Buche Rahman, Husnu, dan Syawal. Dua nama pertama masing-masing menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Subdirektorat Pemulangan TKI Luar Negeri BNP2TKI.

"Kami serahkan kepada Pak Syawal yang diketahui oleh Pak Jumhur, Pak Dodi, dan Pak Hendra S.," kata Syafrida dalam pernyataan tertulisnya di atas meterai tertanggal 30 Januari 2009.

Dodi dan Hendra masing-masing adalah sekretaris pribadi dan anggota staf profesional Jumhur. Sebelumnya, Hendra bekerja sebagai wartawan sebuah radio swasta di Jakarta.

Semua uang itu disetor Syafrida dalam upaya mendapatkan tambahan kuota angkutan di terminal khusus TKI Selapajang di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, dari delapan menjadi 20 buah kendaraan.

Sejak 20 Juli 2007, PT Victory menjadi satu dari belasan perusahaan jasa angkutan pemulangan TKI dari Selapajang ke berbagai daerah.

Syafrida mengaku telah mengajukan permohonan penambahan kuota lengkap dengan berbagai persyaratan sejak Agustus 2007. Dengan menebar banyak duit kepada anggota staf dan orang-orang kepercayaan Jumhur, ia berharap permohonannya cepat dikabulkan.

"Tapi sampai hari ini kuota itu tak pernah kami dapatkan," katanya. Padahal setiap bulan ia harus merogoh Rp 54 juta untuk mencicil 12 kendaraan jenis ELF yang telanjur dibelinya.

Kejengkelan Syafrida belakangan kian membludak ketika tahu bahwa BNP2TKI pada 5 Maret 2008 malah memutuskan menambah lima perusahaan operator jasa angkutan. Dua dari lima perusahaan itu mendapat kuota lebih banyak dari Victory.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pelayanan Pemulangan TKI (AP3TKI) Erwindra, sehari kemudian, langsung menyurati Jumhur. Isinya antara lain meminta agar jumlah 21 perusahaan angkutan tak ditambah lagi. Begitu pula dengan jumlah kuota angkutan yang sudah mencapai 333 unit. Kantor Jumhur bergeming. Merasa diperlakukan tak adil, Syafrida lantas melayangkan surat somasi kepada Jumhur pada 10 dan 12 Maret 2008.

Salah satu tuntutannya, yaitu meminta agar keputusan penambahan jumlah perusahaan angkutan dan kuota armada dibatalkan.

Upaya ini ternyata juga nihil. Jumlah perusahaan angkutan dan armada bahkan terus bertambah. Dalam surat ketetapan yang dikeluarkan Jumhur per 6 Februari 2009, operator angkutan di Selapajang membengkak menjadi 29 buah dengan total kuota 368 armada.

Syafrida kian meradang. Amarahnya meledak. Didampingi Direktur Operasional PT Victory Immanuel Djoeang, Syafrida akhirnya membeberkan persoalan yang dihadapinya kepada pers pada pertengahan Maret lalu.

"Karena cara halus tak digubris, saya berbicara kepada pers," ujarnya. "Mudah-mudahan cara ini dapat membantu menyelesaikan persoalan kami."

Reaksi langsung datang dari Buche Rachman dan Syawal, ketika dihubungi Tempo akhir Maret lalu. Ia menilai pengakuan Syafrida sangat tidak masuk akal. Alasannya, masalah kuota angkutan merupakan wewenang penuh Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat. "Jadi mau kasih uang berapa pun ke saya, izin penambahan kuota tak akan keluar," ujar Buche, Kamis pekan lalu.

Ia pun menegaskan, andai setiap permintaan penambahan kuota dikabulkan, akan terjadi rebutan penumpang antarperusahaan angkutan.

Sebab, jumlah TKI dari luar negeri yang tiba di Selapajang per hari rata-
rata cuma 800 orang. Menurut pengakuannya, keterlibatannya dalam urusan pemulangan TKI dari luar negeri pun semata-mata karena mendapat penugasan dari instansinya, yaitu Badan Intelijen Negara.

Jabatannya sebagai Kepala Subdirektorat Pemulangan TKI Luar Negeri BNP2TKI diembannya sejak Mei 2007. Tapi 11 bulan kemudian, ia mengundurkan diri karena merasa tidak cocok dengan iklim birokrasi di Selapajang. "Saya mundur sama sekali," ujarnya, "dan tak terkait dengan isu duit."

Reaksi lebih galak datang dari Syawal. Ia mengancam akan menuntut balik Syafrida karena dianggap telah memfitnahnya. Dia mengaku pernah dimintai tolong untuk membantu memfasilitasi penambahan kuota armada. Tapi hal itu tak mungkin dipenuhinya karena ia cuma anggota staf di bagian protokoler. "Lantas dia lempar fitnah," katanya. "Saya tuntut balik dia kalau begitu!"

Anehnya, nada berbeda disampaikanSyawal kepada Syafrida pada 1 April lalu. Siang itu, ketika Tempo kembali menemui Syafrida untuk mengkonfirmasi ulang semua sanggahan itu, ia langsung menelepon Syawal dan sengaja membuka pengeras suara dari telepon selulernya. Kepada Syafrida, Syawal justru menjanjikan bahwa jumlah kuota yang diminta Syafrida akan segera keluar setelah ada salinan putusan Mahkamah Agung soal uji materi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2008.

  "Insya Allah setelah salinan MA keluar, kuota ibu juga bisa keluar," ujarnya. "Ah, saya sudah bosan dengar janji," kata Syafrida. "Begini saja, sebagai itikad baik, tolong semua uang itu dikembalikan ke saya."

Mendengar tuntutan itu, nada bicara Syawal berubah tinggi. Ia menyatakan akan berembuk dengan Dody dan Hendra untuk mengembalikan uang yang telah diterima.

"Tapi saya harapkan juga ibu membersihkan nama baik kami pada seluruh wartawan," kata Syawal.

Lantas, apa kata Jumhur soal gonjangganjing anak buahnya itu? Ketika diwawancarai pada akhir Maret lalu, ia mengaku anak buahnya memang kerap diisukan menerima uang dari mitra kerjanya.

Ia pun berjanji akan langsung memecat mereka kalau memang ada bukti-bukti kuat bahwa anak buahnya telah meminta atau menerima uang. Bukan sekadar meramaikannya ke media massa. "Kalau lapor ke pers, itu namanya negative campaign," ujarnya.

Jika begitu, aparat Komisi Pemberantasan Korupsi ada baiknya segera turun tangan.●



Perkara Sepuluh Ribu Perak

SURAT somasi mendarat di meja M. Jumhur Hidayat pada 12 Maret 2008. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) itu mendapat ultimatum dari dua direktur utama.

Yang satu berasal dari Syafrida Isnaini Daulay, Direktur Utama PT Victory Asia Perkasa. Satunya lagi dilayangkan oleh Hj Adjidah, Direktur Utama PT Raanan Loka Sejahtera.

"Seluruh kegiatan pengelolaan pelayanan di Selapajang harus bebas dari campur tangan swasta, bebas pungutan liar, baik terhadap TKI maupun perusahaan operator angkutan," tulis Syafrida dan Adjidah dalam surat somasi mereka.

Adapun yang dipersoalkan keduanya adalah penunjukan Perusahaan Umum Damri pada 4 Maret lalu sebagai perusahaan yang melayani angkutan khusus tenaga kerja Indonesia dari Lounge Terminal TKI di terminal 2D ke gedung Pendataan Kedatangan TKI di Selapajang Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Penunjukan itu dinilai melanggar peraturan yang telah dikeluarkan sendiri oleh BNP2TKI dua bulan sebelumnya, yaitu pada 23 Januari 2008. Sebab, dalam Bab I peraturan itu disebutkan bahwa PT Angkasa Pura II merupakan pihak yang bertugas melayani pengangkutan TKI ke Selapajang.

Yang kemudian paling membuat sewot mereka, dalam dokumen perjanjian kerja sama antara BNP2TKI dan Damri disebutkan bahwa jasa atau biaya pengangkutan itu harus ditanggung oleh Asosiasi Perusahaan Pelayanan Pemulangan TKI (AP3TKI). Besarnya Rp 10 ribu per TKI, kecuali TKI bermasalah. Kesepakatan diteken oleh Jumhur dan Direktur Utama Perum Damri Twidjara Adji pada 11 Maret 2008.

Mereka langsung menolak beleid ini. Alasannya, dalam peraturan yang dikeluarkan BNP2TKI, jelas-jelas disebutkan bahwa pengangkutan TKI dari terminal 2D ke Selapajang gratis alias tak dipungut biaya seperak pun.

Atas dasar itu, keduanya kemudian melayangkan somasi dan meminta Jumhur membatalkan kesepakatan tersebut.

Saat dimintai konfirmasinya, Jumhur berkilah anggaran pendapatan dan belanja negara tidak menganggarkan sama sekali biaya pengangkutan TKI ke Selapajang. "Anggarannya nol, satu rupiah pun tidak ada," ujarnya. Itu sebabnya, Asosiasi diminta membayar.

Toh, kata Jumhur, mereka pula yang selanjutnya akan mengantarkan para TKI ke berbagai daerah asal dengan mematok tarif ratusan ribu rupiah.

Para pengusaha angkutan diminta menyisihkan Rp 10 ribu untuk Damri. "Kalau tidak ada Damri, (para TKI) tidak akan sampai ke sana (Selapajang) kan," ujar Jumhur.

Soal penunjukan Damri, menurut Jumhur, selain kualitas dan desain busnya bagus, perusahaan angkutan pelat merah itu mematok harga paling murah. Mereka bersedia dibayar Rp 10 ribu per TKI untuk jarak angkut 5-6 kilometer. Sedangkan Koperasi Satya Ardhia Mandiri (Kosami) milik koperasi pegawai Angkasa Pura II mengajukan tarif hingga Rp 12.500 dan kondisi busnya kurang nyaman.

"Maaf saja, Kosami mobilnya kayak busbus biasa dan harganya mahal," kata Jumhur. Itu sebabnya, "Kami ambil yang pasti-pasti saja. Apalagi Damri kan BUMN, lebih enak kerja samanya."

Mendengar argumen Jumhur, giliran Manajer Kosami Bambang Akdianto yang geleng-geleng kepala. Ia menegaskan perusahaannya tidak pernah mengajukan penawaran harga.

Ketua Umum Kosami M. Hasanuddin, kata Bambang, memang pernah mengajukan surat permohonan menjalin kerja sama pengangkutan TKI ke Selapajang pada 27 Februari 2008.

Tapi, saat itu, tidak menyebut soal angka penawaran. Permohonan diajukan dengan mempertimbangkan jejak rekam Kosami, yang telah berpengalaman menangani angkutan TKI dari terminal II Bandara Soekarno-Hatta sejak 1999. "Surat itu tak pernah direspons," ujar Bambang,

"tiba-tiba pengelolaan diserahkan ke Damri." Menurut Bambang, saat Kosami mengangkut sekitar 800 TKI dari terminal II ke terminal III, yang masih di lingkungan bandara dengan jarak sekitar dua kilometer, biaya operasional sepenuhnya ditanggung oleh Angkasa Pura II. "Angkasa membayar kami Rp 148 juta per bulan untuk empat bus yang dioperasikan," ujarnya.

Ketika ditanyakan soal kerja sama antara BNP2TKI dan Damri serta sudah proporsionalkah biaya yang diberikan kepada Damri dibandingkan dengan jarak tempuh pengangkutan TKI, Bambang menolak berkomentar. "Itu urusan internal mereka, tak etis kami mengomentari," ujarnya menutup pembicaraan.●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar