21 Mei 2009

JANJI KOSONG BROKER TKI KE KOREA [Bag II]

Tempo Interaktif

Tudingan Mengarah ke Senayan
ANGGOTA DPR ARDY MUHAMMAD DIADUKAN KE BADAN KEHORMATAN.
KEDEKATANNYA DENGAN JUMHUR MEMBUAT FERRY JULIANTONO JUGA TERSERET.

Selepas sibuk berkampanye, Ardy Muhammad harus berurusan dengan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 April mendatang.
Gara-garanya, anggota Dewan asal Nusa Tenggara Barat yang kini mencalonkan diri kembali dalam pemilihan calon anggota legislatif ini diadukan ke badan terhormat itu.

Pengaduan datang dari Mochamad Arc han dan beberapa rekannya yang mewakili 498 calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Korea Selatan.Mereka menuding Ardy ikut terlibat dalam aksi penipuan program pengiriman tenaga kerja ke Negeri Ginseng.

Tudingan terhadap Ardy juga datang dari Abdullah Ali, Komisaris PT Mitra Munara Kencana Lestari, perusahaan yang merekrut para calon tenaga kerja Indonesia. Ia tak mau disalahkan sendirian. Karena itu, ia didampingi
kuasa hukumnya, Herman Dulaimi, melaporkan Ardy.

Menurut Ali, salah seorang wakil rakyat di Senayan itu telah mengingkari janjinya akan membantu memberangkatkan para calon tenaga kerja. Padahal, kata Ali, "Saya sudah menyerahkan uang Rp 1,1 miliar kepada Pak Ardy melalui stafnya, Fahmi, sebanyak 16 kali."

Yang membikinnya tambah jengkel, Ardy bak sakti mandraguna. Ia sama sekali
tak tersentuh jerat hukum, sementara Ali dan kawan-kawan sudah divonis hakim pada Agustus 2008 dengan hukuman penjara 2-3 tahun. Hakim menilai
PT Mitra Munara bertanggung jawab penuh atas kasus dugaan penipuan pengiriman tenaga kerja ke Korea ini.

Ketua Badan Kehormatan Irsyad Sudiro menyatakan bakal segera memanggil Ardy begitu masa reses anggota Dewan berakhir, pertengahan bulan ini. "Kami akan meminta klarifikasi atas semua pengaduan itu kepada yang bersangkutan," katanya kepada Tempo, Jumat lalu.

Kisruh ini menyeruak ketika para calon tenaga kerja Indonesia ke Korea mendatangi Markas Besar Kepolisian RI sejak awal tahun lalu. Sebanyak 604 calon tenaga kerja mengaku telah menjadi korban "penipuan" bisnis pengiriman jasa tenaga kerja ke Korea. Belasan miliar rupiah telah mereka gelontorkan.

Tak sudi menerima perlakuan itu, Mochamad Archan dan sejumlah rekannya,
mewakili 498 calon tenaga kerja, melaporkan kasus ini ke kepolisian pada awal 2008.

Pengaduan serupa datang dari Gunawan Johan, Ketua Paguyuban Persatuan Tenaga Kerja Wijaya Kusuma Cilacap, Jawa Tengah, yang mewakili 106 calon tenaga kerja, pada Maret lalu. Perusahaan yang diadukannya bernama PT Kosindo Pradipta, unit bisnis Kosgoro di bidang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia.

Berkat pengaduan Archan dkk itulah, kasus ini kemudian bergulir ke meja hijau. Yang menarik, pada salinan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis Abdullah Ali bersalah, diungkap pula jejak Ardy dalam kasus tersebut.

Di situ disebutkan bahwa Ardy bersama staf ahlinya, Fahmi, membentuk Yayasan Persada Nusantara Jaya pada 14 Agustus 2007. Dalam struktur organisasi, Ardy dan Fahmi masing-masing menjabat pembina dan ketua.
Masih menurut dokumen Pengadilan itu, Ardy ternyata telah menjalin hubungan
dengan Imron Haji Tavadjio, Direktur Utama PT Mitra Maju Mulyo Lestari.

Perusahaan yang telah bertahun-tahun merekrut calon tenaga kerja untuk diberangkatkan ke berbagai negara inilah yang kabarnya semula "dimintai tolong" oleh Ardy untuk menyiapkan calon tenaga kerja Indonesia ke Korea.

Dalam perjalanannya, Imron ternyata terjerat utang kepada Abdullah Ali. Untuk
menyelesaikan urusan utang-piutang itulah, ia kemudian mengalihkan proyek "pesanan" Ardy tersebut kepada PT Mitra Munara Kencana Lestari, yang dibentuk bersama oleh Imron dan Ali.

Di perusahaan ini, Imron dan Ali duduk sebagai komisaris. Sedangkan posisi direktur utama dipercayakan kepada Ade Rully Agustina, putri Ali.

Meski belum memiliki Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan tidak menerima penunjukan dari pemerintah untuk pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Korea Selatan, PT Mitra Munara berhasil menjaring 498 calon tenaga kerja, termasuk limpahan dari PT Mitra Maju. Biaya yang dikenakan kepada para calon tenaga kerja sebesar Rp 35-60 juta.
Archan, misalnya, mengaku harus menyetor Rp 52 juta agar bisa bekerja di Korea.

"Saya dijanjikan bakal mendapat gaji Rp 20 juta per bulan untuk menjadi operator di pabrik," ujar sarjana ekonomi dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini.

Kenyataannya, angan-angannya baru sebatas mimpi. Ia kini malah harus bekerja serabutan untuk mencari nafkah. Padahal, sebelumnya, Archan sudah bekerja di sebuah lembaga pembiayaan kredit di Malang dengan gaji memadai.

Besarnya ongkos untuk bekerja di Korea antara lain digunakan untuk memberikan pelatihan keterampilan dan kemampuan berbahasa Korea. Nah, dalam soal ini, PT Mitra Munara menjalin kerja sama dengan Yayasan Persada milik Ardy.

Kerja sama juga mencakup upaya yayasan menjembatani pemberangkatan tenaga kerja Indonesia ke Korea.

Keterlibatan Yayasan Persada diakui Fahmi di persidangan. "Saya sudah mengadakan kerja sama dengan pengusaha Korea," ujar staf Ardy itu. Lewat kerja sama tersebut, pengusaha Korea yang diketahui bernama Jo Yeon-sub akan mencarikan peluang kerja bagi para calon tenaga kerja di sana. Untuk keperluan itu, Fahmi mengaku telah menyerahkan duit Rp 500 juta yang diterimanya dari PT Mitra Munara kepada Yeon Sub.

Yeon Sub pun pernah menyurati Ardy agar segera mengeluarkan rekomendasi
program pengiriman tenaga kerja ke BNP2TKI bagi 498 calon TKI yang sudah
terdaftar di 266 perusahaan di Korea.

Masalahnya, ya, itu tadi, para calon tenaga kerja Indonesia tak kunjung bisa berangkat ke Korea karena ternyata pengiriman tenaga kerja ke sana
harus dalam skema kerja sama antarpemerintah alias G to G, bukan melibatkan pihak swasta.

Untuk mencari jalan keluar, Imron dan Ade Rully kemudian meminta bantuan
Ferry Joko Juliantono, yang dikenal punya hubungan dekat dengan Kepala
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) M. Jumhur Hidayat.

 

Kepada polisi yang memeriksanya pada 11 Februari 2008, Ferry mengaku telah menerima uang Rp 250 juta dari Imron dan Ade Rully. Sekitar Rp 50 juta ia gunakan untuk pergi ke Korea guna mengetahui mekanisme pemasaran tenaga kerja Indonesia ke Korea. "Tapi hasilnya tetap harus G to G," kata Ferry.
Ia lantas mengembalikan sisa uang Rp 200 juta yang diterimanya.

Ferry juga tak menampik jika dikatakan pertemanannya dengan Jumhurlah yang membuat dirinya dimintai bantuan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ya, mungkin karena Sdr. Imron dekat dengan Sdr. Jumhur," katanya dalam berita acara pemeriksaan polisi.

Di situ dia juga mengaku bahwa perkenalannya dengan Imron bermula pada April 2007 dalam acara kunjungan BNP2TKI ke Korea. "Saya waktu itu diajak
oleh Sdr. Jumhur," kata Ferry.

Saat dihubungi pada 29 Maret malam lalu, Ferry, yang tengah menjalani tahanan kota karena didakwa menjadi provokator unjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak, membenarkan isi berita acara pemeriksaan polisi tersebut. Jumhur pun tak menampik soal kedekatannya dengan Ferry. "Ya, dia memang temen gue, sama-sama orang pergerakan," kata Jumhur.

Meski begitu, Ferry menegaskan tidak pernah memberi janji apa pun kepada Imron. "Lagi pula saya sudah mengembalikan semua uang itu," ujarnya. Selebihnya, Ferry mengaku sudah lupa perihal kasus tersebut.

Ardy juga menepis semua tudingan yang diarahkan kepadanya. Ia menampik
ketika disebut telah meneken surat tertanggal 27 Februari 2007 yang meminta
para calon tenaga kerja Indonesia berangkat ke Jakarta untuk mempersiapkan
keberangkatan ke Korea.

Saat ditemui di kantor PNI Marhaenisme di Jalan Gudang Peluru, Tebet, Jakarta, ia balik menuding Abdullah Ali telah memalsukan tanda tangannya. Ia pun mengaku tak pernah memiliki kop surat saat dirinya duduk di Komisi IX DPR, yang membidangi urusan ketenagakerjaan.

"Semua itu palsu dan dipalsukan. Begitu selesai mereka dipenjara, akan saya adukan ke polisi," Wakil Ketua Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi Indonesia
itu mengancam.

Soal tuduhan menerima uang, lelaki kelahiran Ujung Pandang, 13 Oktober 1949 ini pun tak gentar. Ia meminta si penuduh menunjukkan kuitansi, tanda terima, atau bukti transfer. "Demi Allah, demi Tuhan, biar tak selamat kalau saya ambil uang dari TKI," ujarnya. "Semua itu fitnah!" ●


Mereka Bersaki tentang Ardy

Pengadilan Negeri Tangerang telah menghukum direksi dan komisaris PT Mitra Munara Kencana Lestari serta pengurus Yayasan Persada Nusantara. Hanya Ardy Muhammad, pembina Yayasan itu, yang lolos dari jerat hukum. Padahal anggota Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat ini disebut-sebut telah menerima duit Rp 1,1 miliar dari PT Mitra Munara, yang merekrut para calon tenaga kerja ke Korea. Inilah sejumlah kesaksian tentang jejak Ardy yang terungkap di persidangan.

Ade Rully Agustina
(DIREKTUR UTAMA PT MITRA)

"Saya bersama Pak Imron, Ali Ronjikin, Doddy Matondang (sekretaris pribadi Jumhur Hidayat), dan Ferry Joko Juliantono (orang dekat Jumhur) pernah menemui Ardy Muhammad di DPR pada 14 Mei 2007, dengan membawa berkas para calon TKI dan satu tas berisi uang. Ardy menolak menerima langsung uang yang diserahkan Imron, sehingga tas berisi uang diserahkan kepada Fahmi. Saya tak tahu persis jumlah uang dalam tas karena telah disiapkan sebelumnya. Tapi, dalam sebuah percakapan sebelumnya, Ardy pernah meminta uang Rp 1 miliar. Keping rekaman diserahkan ke pengadilan. Saya juga memberikan uang kepada Ferry Rp 500 juta, yang dikirimkan melalui transfer."

Imron Haji Tavadjio (KOMISARIS PT MITRA)
"Dalam sebuah pertemuan di gedung DPR, Ardy Muhammad sebagai anggota Komisi IX meminta dicarikan calon TKI ke Korea, karena dia bisa membantu memberangkatkan TKI ke Korea. Ketika TKI tak kunjung berangkat, saya berkali-kali meminta Ardy mengembalikan uang, tapi tak pernah dipenuhi."

Abdullah Ali
(KOMISARIS PT MITRA)

"Saya menyerahkan uang Rp 1,1 miliar kepada Ardy Muhammad melalui dr Fahmi, sebanyak 16 kali penyerahan, baik tunai maupun melalui transfer ke rekening Fahmi. Uang tersebut untuk proses calon TKI ke Korea Selatan."

dr Fahmi
(KETUA YAYASAN PERSADA/STAF AHLI ARDY)

Ia mengaku menerima uang Rp 500 juta pada 15 Mei 2007 dari Ade Rully. Uang itu digunakan untuk job order dari mitranya di Korea, yakni Jo Yoen-sup.


Ferry Joko Juliantono
(SAHABAT KEPALA BNP2TKI)

Ia mengaku menerima uang Rp 250 juta dari Ade Rully, yaitu Rp 100 juta pada 13 Juni 2007 dan Rp 150 juta pada 10 Juli 2007. Uang antara lain digunakan untuk kunjungan ke Korea dalam rangka mencari tahu proses pengiriman TKI. Pada 5 September 2007, ia mengembalikan uang Rp 200 juta. Ia merasa tak bisa membantu karena proses pengiriman TKI harus G to G.

 

Palu Sang Hakim

Ketua majelis hakim Supriyono, yang didampingi Halimah Pontoh dan Purwadi, menghukum para petinggi PT Mitra Munara Kencana Lestari dan Yayasan Persada Nusantara Jaya pada 5 Agustus 2008.

1. Ade Rully Agustina (Direktur Utama Mitra) 2 Tahun
2. Abdullah Ali (Komisaris Mitra) 2 tahun 4 bulan
3. Imron Haji Tavadjio (Komisaris Mitra) 3 tahun 10 bulan
4. dr Fahmi (Ketua Yayasan Persada) 2 tahun 4 bulan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar