Wakil Ketua Badan Kehormatan Profesor Gayus T. Lumbuun tak habis pikir melihat sikap Ardy Muhammad. Sebab, Wakil Ketua Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi itu mengaku hanya pernah membuat kop surat sewaktu pertama kali duduk di Komisi XI (keuangan dan perbankan). Ketika pindah ke Komisi IX, yang membidangi soal ketenagakerjaan, dia tetap menggunakan kop surat sebagai anggota Komisi XI. "Ini janggal," kata Gayus kepada Tempo kemarin. Seharusnya, kata anggota Komisi Hukum dan HAM itu, jika seorang anggota Dewan sudah pindah komisi, semua identitas maupun kop surat diganti atau dicetak ulang. "Nanti akan kami verifikasi, kami lihat tujuannya apa tidak mengubah kop surat itu," katanya. Persoalan kop surat ini menjadi salah satu pembelaan Ardy atas tudingan terlibat kasus penipuan 498 calon tenaga kerja Indonesia yang gagal berangkat ke Korea. Ia dilaporkan ke Badan Kehormatan oleh Serikat Buruh migran Indonesia pada 27 November 2008, dan Hermansyah Dulaimi dari kantor pengacara Henry Yosodiningrat atas kuasa dari Komisaris PT Mitra Munara Kencana Lestari Abdullah Ali pada 10 Desember 2008. Abdullah Ali berpendapat, seharusnya Ardy ikut bertanggung jawab. Sebab, proses rekrutmen calon TKI ke Korea terjadi atas permintaan dan sokongan Ardy sebagai anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR. Tapi Ardy sama sekali tak tersentuh hukum. Padahal Abdullah Ali bersama direksi PT Mitra divonis penjara rata-rata 2-3 tahun oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 5 Agustus 2008 (baca: rubrik Selusur Koran Tempo terbitan 8 April). Semula, Badan Kehormatan akan memeriksa Ardy besok. Namun, hal itu ditunda karena Badan Kehormatan baru akan menggelar sidang pada 23 April. "Di situ baru akan kami tentukan jadwalnya," kata Gayus. Ia mengaku sudah mengumpulkan berbagai informasi serta dokumen yang berkaitan dengan kasus tersebut. Salah satunya adalah soal kejanggalan kop surat Ardy. Pada Senin petang, Ardy bersama tim kuasa hukumnya—Mardiansyah, Suprianus Kandoli, dan Agil Aziz—bertandang ke Tempo. Ia kembali menegaskan sama sekali tak terkait dengan kasus ini. "Saya tidak pernah meminta dicarikan calon TKI untuk dikirim ke Korea seperti disampaikan oleh Imron Haji Tavadjio (Komisaris II PT Mitra)," ujarnya merujuk pada pemberitaan koran ini terbitan 8 April. Ardy mengaku hanya pernah sekali bertemu dengan Imron di sebuah kafe. Selebihnya ia menolak bertemu. Ia juga menepis pernyataan Direktur Utama PT Mitra Ade Rully Agustina bahwa dirinya pernah berhubungan dengan Ferry Joko Juliantono, yang dikenal bersahabat dekat dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI M. Jumhur Hidayat. "Saya tidak pernah berhubungan dan tidak pernah bertemu," ujarnya. ● | | ARDY MUHAMMAD: Tanda Tangan dan Kop Surat Itu Palsu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, Ardy Muhammad, membantah disebut terkait dengan kasus penipuan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Korea Selatan. Ia menyatakan tanda tangan dan kop surat miliknya, seperti dimuat koran ini pada 8 April lalu, telah dipalsukan oleh manajemen PT Mitra Munara Kencana Lestari. Saat bertandang ke kantor Tempo, Senin lalu, Ardy bersama tim kuasa hukumnya menjelaskan seputar masalah itu. Berikut petikannya. Anda akan diperiksa Badan Kehormatan karena dituding terlibat penipuan calon TKI ke Korea? Sayalah yang seharusnya melaporkan para pengusaha yang menipu calon TKI itu karena telah memalsukan kop surat dan tanda tangan saya. Mereka sekarang sudah dipenjara di Tangerang, seperti Abdullah Ali dan kawan-kawan. Dia itu pensiunan kombes (komisaris besar) dari PT Mitra Munara Kencana Lestari. Dia mengirim utusan ke kantor saya meminta rekomendasi untuk membuka pelatihan bahasa Korea, Inggris, dan lainnya dalam rangka mencerdaskan bangsa. Sebagai anggota DPR, tentu saya mendukung kalau tujuannya itu. Tapi kemudian tanda tangan saya mereka pergunakan untuk kop surat yang lain-lain. Apa indikasi pemalsuan? Jadi surat di Koran Tempo itu palsu. Saya cuma punya kop surat sewaktu saya pertama kali duduk sebagai anggota Komisi XI. Begitu pindah ke Komisi IX, saya tak buat lagi, karena kop surat yang lama pun masih banyak. Kedua, tanda tangan saya tak pernah di kiri. Dari muda sampai sekarang selalu di kanan. Ketiga, tak pernah saya buat nomor anggota di bawah nama dan tanda tangan saya, karena di kop surat sudah ada nomor anggota. Untuk apa dobel-dobel. Anda pernah ke kantor PT Mitra? Memang pernah ada undangan per telepon agar saya datang meninjau karena pelatihan sudah berjalan. Saya pun datang dengan lugu dan polosnya. Sampai di sana, rupanya ratusan calon TKI itu lagi pada ribut, ngamuk. Rupanya perusahaan telah mengambil uang belasan miliar, tapi mereka tak bisa berangkat. La, saya kan kaget. Tapi akhirnya, saya bilang, "Sudahlah tak usah ribut, pasti ada solusinya." Sudah, itu saja. Jadi tidak pernah saya menyelenggarakan pengiriman TKI. (Budiyanto, Nur Sholikhin, dan Bambang Joko Winardi, saat dihubungi melalui telepon menyatakan tak pernah ada keributan. "Malah kami senang begitu melihat Pak Ardy dating, karena berarti benar dia mem-backup perusahaan dan yayasan," kata Bambang.) Abdullah Ali mengaku menyerahkan uang hampir Rp 1,2 miliar kepada Anda? Bukan cuma itu, Rp 19 miliar saya digosipkan terima. Kalau saya terima uang begitu banyak, kantor saya sudah dirusak oleh mereka (para calon TKI). Jadi, tak ada itu. Mana dong buktinya, tanda terimanya? Kalau ditransfer, mana bukti kirimnya? Uang memang tak langsung ke Anda, tapi lewat staf ahli Anda bernama Fahmi? Fahmi itu memang menerima Rp 500 juta sebagai ketua yayasan. Tapi itu diberikan lagi ke orang Korea untuk job order di sana. Dia terima Rp 500 juta, tapi keluar uang Rp 1 miliar lebih untuk bikin pelatihan. Fahmi sekarang dipenjara bersama mereka. Dan sejak kasus ini mencuat, saya buat pernyataan keluar dari yayasan. Saya tak mau ikut tercemar. Dari surat yang anda berikan ke kami, ada yang berkop Komisi IX dengan tanda tangan di kanan? (penjelasan via telepon, Selasa malam) Itu tidak mungkin. Tanda tangan saya memang selalu di kanan. Tapi bagimana dengan tulisan Komisi IX nya itu, kok seperti ditulis ballpoin. ● | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar