21 Mei 2009

JANJI KOSONG BROKER TKI KE KOREA [Bag I B]


Restu Berbuah Perkara Telunjuk Haris Aritonang kini mengarah ke M. Jumhur Hidayat. Kuasa hukum lebih dari 100 calon tenaga kerja Indonesia ke Korea Selatan yang tergabung dalam Paguyuban Persatuan Tenaga Kerja Wijaya Kusuma ini meminta Jumhur tak lepas tangan.

Jumhur dinilai mesti ikut bertanggung jawab atas meruyaknya kasus dugaan penipuan terhadap ratusan calon tenaga kerja Indonesia ke Korea yang kini tengah disidik Kepolisian.

Selaku Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, menurut Haris, Jumhur telah memberikan rekomendasi
kepada Yayasan Persada Nusantara dan PT Kosindo, dua perusahaan jasa penyalur tenaga kerja ke Korea.

Restu Jumhur kepada Kosindo keluar pada 2 Juli 2008. "Kami mendukung kegiatan penyeleksian yang akan dilakukan oleh tenagatenaga ahli dari Korea," tulis Jumhur dalam surat persetujuan.

Restunya inilah yang kini dipersoalkan. Sebab, sejak dua tahun lalu, penempatan tenaga kerja ke Korea Selatan ternyata harus didasarkan pada persetujuan pemerintah kedua negara alias G to G.

Biayanya sekitar Rp 5,5 juta per orang, mencakup biaya pelatihan, visa, hingga tiket pergi-pulang Jakarta-Seoul.

Dengan program G to G, otomatis tertutup peluang bagi swasta mengirimkan calon tenaga kerja ke Korea. Karena itu, "Jumhur seharusnya menegur Kosindo karena menyalahi aturan," ujarnya, "bukan malah memberikan dukungan."

Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja Abdul Malik Harahap mendukung argumen itu. Menurut dia, sebelum ada nota kesepahaman antara pemerintah Indonesi dan Korea, penempatan tenaga kerja ke Korea memang dilaksanakan melalui sistem pelatihan (industrial trainee system).

Pemerintah Korea dalam hal ini menunjuk langsung perusahaan swasta dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di negerinya.

Persoalannya, sistem itu ditengarai meningkatkan jumlah tenaga kerja ilegal. Untuk membendungnya, "Pemerintah Korea kemudian mengeluarkan kebijakan penempatan tenaga kerja berdasarkan perjanjian antarnegara," ujar Abdul Malik.

Apa kata Jumhur? Dia pun bergeming, dan mengatakan tak ada yang salah pada kebijakannya. Peraturan G to G, kata dia, hanya berlaku buat tenaga kerja semi-terlatih. Mereka disyaratkan minimal lulusan sekolah menengah pertama, bisa berbahasa Korea, dan bisa berangkat ke sana.

Nah, kalau pihak Korea butuh tenaga terlatih atau high skilled, seperti suster atau perawat dan tukang las, "Itu tidak termasuk dalam aturan tersebut," tuturnya.

Apa pun kata Jumhur, yang jelas ratusan calon tenaga kerja Indonesia hingga kini tak bisa menguras keringat di Korea. Dua instansi berselisih, tenaga kerja apes di tengah tengah.●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar