21 Mei 2009

JANJI KOSONG BROKER TKI KE KOREA [Bag I A]


Tempo Interaktif


Proyek Kader Gotong Royong

RATUSAN CALON TENAGA KERJA KE KOREA MERASA DITIPU. JUMHUR HIDAYAT DIMINTA IKUT BERTANGGUNG JAWAB


Tawaran menggiurkan itu masih diingat betul oleh Gunawan Johan, Ketua Paguyuban Persatuan Tenaga Kerja Wijaya Kusuma Cilacap, Jawa Tengah.
Seorang tamu penting, 6 Februari 2008, datang menyampaikan kabar gembira.

"Ada proyek untuk para kader," ujar sang tamu berapi-api seperti ditirukan Gunawan ketika ditemui di Markas Besar Kepolisian RI, Senin dua pekan lalu. Tamu itu, Tri Suwasto, Wakil Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Koperasi Gotong Royong alias Kosgoro, organisasi sayap Partai Golkar.

Kepada segenap anggota Paguyuban, Tri juga memperkenalkan diri sebagai wakil PT Kosindo Pradipta—unit bisnis Kosgoro di bidang penempatan tenaga kerja Indonesia—wilayah Jawa Tengah.

Ia memang mengantongi dua surat tugas untuk merekrut para calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Korea. Satu surat dari Direktur Utama Kosindo Zeid
Arifin tertanggal 5 Februari 2008. Lainnya dari Ketua Umum Kosgoro H Effendi Jusuf pada 19 Februari 2008.

Tri, kata Gunawan, di forum itu menawarkan kepada mereka yang memiliki keahlian khusus untuk bekerja di sejumlah perusahaan di Korea Selatan. Salah satunya di perusahaan otomotif Daewoo. "Gratis," ujar Tri saat itu. Gaji yang ditawarkan sebagai tukang las, cat, pipa, kayu, dan tukang mengaduk semen pun aduhai: berkisar Rp 7-10 juta per bulan. Siapa tak tergiur?

Tak mau sembrono, Gunawan selepas pertemuan itu bertandang ke gedung Mas Isman, kantor pusat Kosgoro, di Jalan Teuku Cik Ditiro, Jakarta Pusat. Di sana ia antara lain, berkenalan dengan para petinggi Kosgoro.

Gunawan juga diperlihatkan foto-foto Tri bersama direksi Kosindo, anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Ardy Muhammad, dan pengusaha Korea.

Semua itu membuatnya yakin betul terhadap reputasi Kosindo. Anggota Paguyuban pun berbondong-bondong mendaftarkan diri agar bisa bekerja di Negeri Ginseng.

Saat pendaftaran dibuka, sekitar 2.000 calon langsung mendaftar. "Tapi yang akhirnya membayar hanya 106 orang," ujar Gunawan, yang pernah bekerja di Trakindo, Jakarta, selama tujuh tahun sejak 2001.

Janji manis Tri dalam perjalanannya mulai terasa kesat. Ia mematok biaya administrasi Rp 10 juta per orang. Meski begitu, 106 warga dan anggota Paguyuban tetap kepincut dan bersedia membayar meski dicicil. "Total yang saya setor ke dia Rp 800 juta," kata Gunawan.

Diperlihatkannya setumpuk bukti transfer ke Tri melalui Bank BNI dan Mandiri cabang Cijantung. Jumlahnya Rp 5-35 juta sejak akhir Februari hingga Mei 2008. Di luar biaya administrasi, masih bermunculan rupa-rupa biaya lain senilai total sekitar Rp 60 juta.

Telanjur basah, sekitar 20 calon tenaga kerja bahkan nekat mengajukan kredit ke Bank Perkreditan Rakyat BKK Cilacap. Sertifikat tanah, rumah, kendaraan, dan aset lain menjadi jaminannya. Lewat cara itu, mereka memberi kuasa kepada bank tersebut untuk membayarkan biaya keberangkatan ke Korea kepada Kosindo.

Menurut Direktur Utama BPR BKK Slamet Edi Astar, atas kuasa para calon TKI itu, pihaknya langsung mengirimkan uang ke Zeid Arifin. "Totalnya sekitar Rp 1,4 miliar," ujarnya.

Uang antara lain ditransfer ke rekening BNI milik Zeid pada 3 Juli 2008 (Rp 545 juta), 8 Juli (Rp 495 juta), dan 28 Mei (Rp 139 juta). Di Kosgoro, Zeid tercatat sebagai Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Jika ditotal, berarti sudah Rp 2,2 miliar uang yang digelontorkan oleh para calon TKI itu. Tapi, kenyataannya, hingga hari ini tak seorang pun anggota Paguyuban yang berangkat ke Korea.

Itu sebabnya, Gunawan bersama empat anggota Paguyuban lain pada 23 Maret lalu melaporkan kasus ini ke Mabes Polri.

Mereka mewakili 106 orang—dari total 604 calon TKI—yang menyatakan diri sebagai korban penipuan Kosindo. "Kami tidak jadi dikirim, padahal sudah bayar," ujar Gunawan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jumat pekan lalu.

Upaya ini pun mereka tempuh karena Tri dan Zeid seolah raib. Berkali-kali didatangi ke kantor maupun kediamannya, keduanya tak pernah bisa ditemui Gunawan dan kawan-kawan. "Pernah saya datang ke rumahnya sejak subuh hingga sore," kata Gunawan, "tapi Pak Zeid tak pernah tampak."

Tri Suwasto, yang dihubungi Tempo, Kamis dua pekan lalu, mengaku telah menerima setoran uang dari para calon TKI. Tapi semuanya langsung diserahkan ke Kosindo. "Saya ini juga korban," katanya. "Penipunya, ya, Pak Zeid." Sejak kasus ini mencuat, Tri mengaku komunikasinya dengan Zeid terputus.

Telepon selulernya, kata Tri, tak pernah aktif. Didatangi ke rumah dan kantor Kosindo pun Zeid tak pernah ada. "Saya siap bersaksi di polisi," ujarnya tak mau disalahkan.

Zeid memang sulit ditemui. Berkali-kali reporter koran ini mendatangi rumah sekaligus kantor Kosindo di kawasan Perdatam, Kalibata, ia tak pernah
tampak.

Effendi Jusuf, yang menugasi Tri merekrut para calon TKI, pun lepas tangan. Ia mengaku tak tahu-menahu bahwa masalah rekrutmen calon TKI itu bermasalah.

"Nanti akan saya minta laporan dari Pak Zeid kenapa bisa seperti itu," ujarnya. Baru Kamis siang pekan lalu, Zeid akhirnya menghubungi Tempo melalui telepon.

Pria keturunan Arab bermarga Alatas itu berkeras menolak disebut penipu. Kalaupun para calon TKI yang telah menyetorkan uang tak kunjung berangkat, kata Zeid, itu karena perusahaan-perusahaan Korea membatalkan kontrak sepihak.

"Mereka kesulitan akibat krisis keuangan global," ujarnya. Faktor lainnya, dari seratusan orang yang telah menyetorkan uang, cuma 20 orang yang telah memiliki visa untuk bisa bekerja di Korea. "Selebihnya mengundurkan diri," ujarnya.

Pendek kata, Zeid berkeras apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan prosedur. Namun, ia berjanji akan mengembalikan biaya yang telah disetorkan para calon TKI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar