Senin, 4 Mei 2009 | 04:25 WIB
Oleh Hamzirwan
Perayaan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada Jumat (1/5) lebih sepi dibandingkan dengan perayaan tahun sebelumnya. Ini antara lain karena pengaruh krisis global yang menghantam industri dan makin "panasnya" suhu politik menjelang pemilu presiden.
Kehidupan buruh tak bisa dilepaskan dari isu ekonomi dan politik negeri ini. Buruh pun menaruh harapan besar terhadap proses politik di negeri ini.
Buruh berharap pemilu kali ini bisa benar-benar menghasilkan pemimpin yang peduli dengan nasib mereka. Nasib buruh, bukan nasib pemimpin dan kroni-kroninya semata.
Dari 105 juta angkatan kerja, sebanyak 67 juta di antaranya bergulat di sektor informal, yakni berwirausaha, menjadi buruh migran, atau buruh tani dengan penghasilan yang minim. Hanya 37 juta orang menjadi pekerja formal. Namun, dari para pekerja formal itu, kurang dari 3 juta orang yang berpenghasilan lebih dari Rp 4 juta per bulan.
Buruh di negeri ini seolah memang tanpa masa depan. Mereka bertahan hidup dengan penghasilan yang hanya sedikit di atas upah minimum. Inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan membubung membuat buruh seolah tak boleh hidup tenang.
Setiap hari kaum buruh berharap ada tambahan lembur untuk menambal defisit uang belanja rutin atau sekadar mencicil utang belanja kebutuhan pokok di warung tetangga.
Pertumbuhan ekonomi yang diklaim positif oleh pemerintah ternyata belum mampu mengubah nasib buruh. Mereka tetap tersudut di pojok ruang gelap dalam pembangunan bangsa ini.
Pembentukan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional oleh Presiden Susilo Yudhoyono, yang terdiri atas 15 wakil buruh, 15 wakil pengusaha, dan 15 wakil pemerintah, seharusnya bisa jadi titik awal kebangkitan dunia usaha dan buruh Indonesia.
Kompetensi diri
Pengusaha dan buruh harus mengoptimalkan dialog sosial dalam forum bipartit untuk mencari solusi seimbang bagi perekonomian bangsa.
Sudah bukan waktunya pengusaha memandang buruh sebelah mata dan merasa mereka hanya memberatkan. Pengusaha harus berperan aktif mendorong pekerjanya meningkatkan kompetensi diri, produktivitas untuk menggenjot laba perusahaan, dan bersama membawa perusahaan menjadi lebih maju.
Pengusaha dan buruh harus mampu dan mau bersikap adil menurut peranan masing-masing untuk memajukan perusahaan.
Sikap saling ngotot dalam suatu dialog tak akan pernah menghasilkan solusi. Ibarat pepatah, kalah jadi abu, menang jadi arang. Keduanya sama-sama berubah dari wujud aslinya setelah api yang membakar padam.
Buruh juga harus menyadari bahwa mereka harus meningkatkan kemampuan kerja untuk pengembangan perusahaan, baik diminta maupun tidak diminta oleh perusahaan. Kesadaran ini akan membuat buruh semakin profesional.
Pengusaha pun demikian. Mereka harus memperlakukan buruh sebagai aset usaha. Yang dalam bahasa Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, buruh adalah aset sumber daya manusia. Bukan semata sebagai pekerja, yang bila tak dibutuhkan segera dicari penggantinya.
Apabila forum bipartit berhasil, tentu pemerintah tinggal mengoptimalkan kebijakan makro.
Saat buruh dan pengusaha menjadi lebih akur dalam memecahkan masalah, pemerintah bisa berkonsentrasi menyusun kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja, berpihak kepada kaum miskin, dan memicu pertumbuhan ekonomi riil yang bermanfaat bagi semua pihak.
Pilih presiden
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Rekson Silaban dari Brussel, Belgia, Kamis (30/4), menyerukan agar buruh memilih presiden yang mau menghapus pola kerja kontrak dan buruh outsourcing. Kebijakan yang muncul akibat penerapan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang timpang telah memiskinkan buruh.
Dalam lima tahun, buruh kontrak menjadi miskin akibat implementasi sistem kerja kontrak dan waktu tertentu yang melanggar aturan dan hak asasi manusia. Pengusaha seenaknya memutus kontrak pekerja.
Kondisi tersebut semakin mengekang buruh dan nasib buruh pun semakin terpuruk.
Perayaan Hari Buruh tahun lalu di Magelang, Jawa Tengah, relatif lebih semarak. Perwakilan buruh dan pengusaha menyanyikan lagu Koes Plus, "Buat Apa Susah", bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para menteri. Tahun ini, buruh merayakannya dalam "sepi", dibayangi pemutusan hubungan kerja, dengan dalih perusahaan sepi pesanan akibat krisis keuangan global.
Biarlah hari buruh "sepi di luar", tetapi bergelora "di dalam", karena tekad yang kuat meningkatkan profesionalisme buruh. Perbaiki produktivitas dan kompetensi diri demi memenangi kompetisi karena inilah inti perjuangan kaum buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar