Reklamasi Pantura Jakarta, Berkah atau Bencana? Pengantar Redaksi: Reklamasi pantai utara (pantura) Jakarta kembali dilanjutkan tahun 2009 ini. Upaya itu sah-sah saja, namun Pemda Jakarta juga harus mempertimbangan berbagai aspek, terutama dampak reklamasi itu. Berikut laporan khusus tentang hal itu yang juga tersaji di halaman 10. JAKARTA – Pemda Jakarta kembali menggiatkan rencana reklmasi pantura Jakarta. Kepala Dinas Tata Ruang Jakarta Wiryatmoko dalam seminar "Awal Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pantura Jakarta" di Balai Kota Jakarta, Selasa (14/4), menyebutkan bahwa reklamasi pantura Jakarta dimulai tahun 2009. Jujur saja, reklamasi pantura Jakarta sebenarnya bukan barang baru jika kini didengungkan kembali. Wiryatmoko tahu bahwa proyek ini sebenarnya proyek lama yang pernah digagas ketika Jakarta dipegang Gubernur Surjadi Soedirdja. Ketika itu, Wiryatmoko adalah anggota Seksi Teknik dan Pelaporan Tim Penyusunan Studi Pengembangan Kawasan Khusus Pantura Jakarta. Tim dipimpin oleh Udin Abimanyu yang saat itu juga adalah Kepala Dinas Tata Kota Jakarta. Bahkan, untuk mematangkan proyek reklamasi pantura Jakarta itu– karena ketika itu Jakarta berangan-angan menjadi kota pantai atau waterfront city–sejumlah anggota DPRD Jakarta pun telah mengadakan studi banding ke beberapa kota pantai di kawasan Asia Tenggara. DPRD Jakarta yang ketika itu diketuai MH Ritonga yang mantan Kapolda Metro Jaya pun telah mengeluarkan keputusan DPRD Jakarta Nomor 30 Tahun 1994 tentang Pokok-pokok Pikiran DPRD Jakarta mengenai Pembangunan Kota Pantai Utara Jakarta. Namun, seperti kebiasan bangsa ini yang mudah menjadi pelupa, proyek reklamasi pantura Jakarta dalam kaitan pengembangan kota pantai tersebut pun terlupakan. Ganti gubernur, ganti pula kebijakan dan arah pembangunan Jakarta. Ketika Jakarta dijabat Gubernur Sutiyoso, rencana reklamasi Pantura Jakarta pun mandek di tengah jalan. Alasannya cukup masuk akal, yaitu negeri ini terkena imbas krisis ekonomi yang berakhir dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Jujur saja, proyek ini sebenarnya diwarnai unsur kepentingan bisnis Keluarga Cendana. Kini Pemda Jakarta di masa Gubernur Fauzi Bowo kembali berencana menghidupkan kembali megaproyek itu. Dalam Perda Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012, terutama dalam implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jakarta, khususnya di Jakarta Utara direncanakan pengembangan reklamasi Pantura Jakarta. Proyek itu dimaksudkan selain untuk memperbaiki kualitas lingkungan juga untuk pusat niaga dan jasa skala internasional, perumahan, dan pariwisata. Pemda Jakarta boleh-boleh saja memulai proyek reklamasi pantura tersebut. Apalagi dengan melibatkan sejumlah pihak swasta, seperti pengembang Pantai Indah Kapuk, PT Kapuk Naga Indah, PT Jaladri Kartika Eka Paksi, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelindo II, PT Dwi Marunda Makmur, dan PT Jakarta Propertindo. Namun, harus disadari pula bahwa reklamasi pantura Jakarta bukan hanya sekadar mengeruk, kemudian memunculkan daratan baru atau untuk kepentingan komersial semata. Lebih dari itu, yang harus dipikirkan bagaimana dampak ekologis kawasan pantai dengan reklamasi tersebut. Contoh saja ketika Pantai Indah Kapuk dibangun, yang terjadi kemudian adalah akses jalan tol ke bandara tergenang air sehingga banjir. Lalu, saat PT Mandara Permai membangun Perumahan Pantai Mutiara di Muara Karang, PLTU Muara Karang pun terganggu. Padahal, pasokan listrik untuk Jakarta dan sekitarnya berasal dari PLTU Muara Karang, Jakarta Utara. Kasus penyelundupan narkoba pun juga melalui perumahan-perumahan yang dibangun di pinggir pantai tersebut. Sejumlah Catatan Dalam mereklamasi pantura Jakarta, Pemda setidaknya harus memperhatikan sejumlah hal penting, di antaranya sumber dan bahan material reklamasi tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan, termasuk dalam hal ini Kepulauan Seribu. Selain itu, arus air dan biota laut jangan sampai terganggu sehingga berbagai fungsi kegiatan strategis yang ada di sepanjang pantura Jakarta, seperti pelabuhan, alur pelayaran, serta PLTU tetap berlangsung baik dan lancar. Hutan bakau (mangrove) harus dapat dilestarikan sehingga tidak mengganggu keseimbangan lingkungan (ekosistem). Lainnya, suhu udara, arah, dan kecepatan angin harus sedapat-dapatnya terjamin agar tidak mengganggu kegiatan kehidupan kota dan sekitarnya. Kadar kerawanan banjir tidak boleh meningkat. Bahkan, justru diupayakan agar menurun di seluruh "existing" Jakarta. Aliran air dari 13 sungai yang bermuara ke laut di sepanjang pantura Jakarta harus terjamin kelancarannya sehingga tidak menimbulkan banjir. Di samping persoalan itu, Pemda Jakarta pun harus berkoordinasi dengan TNI atau Polri mengingat potensi kerawanan yang timbul sebagai akibat adanya peluang akses langsung ke laut dan pantai yang bersifat terbuka untuk umum (public beach). Singkat kata, silakan saja Pemda Jakarta menghidupkan kembali gagasan untuk menjadikan Jakarta sebagai kota pantai. Namun, pertimbangan dampak lingkungan, termasuk di dalamnya aspek keamanan di pantura Jakarta. Jujur saja, ketika aspek bisnis dengan melibatkan pihak pengembang swasta masuk dalam proyek pengembangan, sebenarnya yang terjadi kemudian adalah petaka bagi warga di sekitar pantura Jakarta. Banyak contoh di depan mata untuk mengaminkan hal itu. (norman meoko)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/20/jab05.html |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar