14 Mei 2009

Kebiasaan Jajan pada Anak Picu Gizi Buruk

Rabu, 13 Mei 2009

Jakarta - SURYA— Salah satu hal yang paling digemari anak kecil adalah mengudap. Sepertinya para pedagang selalu menemukan cara baru untuk menciptakan makanan dan minuman dengan berbagai warna dan rasa.


Dari sekian banyak jajanan yang tersedia di sekitar sekolah atau rumah, tak sedikit yang bisa membuatnya menderita gizi buruk. Penting bagi para orangtua untuk mau turun tangan mengatasi masalah ini.


Jajan atau penganan merupakan suatu kebiasaan (habit) yang merupakan suatu hasil belajar, yang artinya masih bisa dimodifikasi. Bagi anak, kegiatan jajan merupakan pengalaman yang menyenangkan. Kadang kala jajan untuk anak merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap orangtua, atau sebagai "lambang pergaulan" bersama teman-teman sebayanya, atau untuk "membeli" pertemanan.


Padahal, kebiasaan jajan pada anak bisa berpengaruh terhadap gizi buruk. Karena ini berarti si kecil memiliki kekuasaan untuk memutuskan apa yang ingin ia makan. Padahal, apa yang ingin ia makan tidak selalu bagus untuk tubuhnya.


Survei Badan Pengawas Obat dan Makanan pada 4.500 sekolah di Indonesia selama 2007 membuktikan bahwa 45 persen jajanan anak tercemar bahaya pangan mikrobiologis dan kimia. Bahaya utama berasal dari cemaran fisik, mikrobiologi, dan kimia seperti pewarna tekstil. Jenis jajanan berbahaya ini termasuk makanan utama, makanan ringan, dan minuman.


Dr Fiastuti Witjaksono MS, SpGK mengatakan bahwa saat ini ada tiga masalah gizi anak, yakni kurang gizi (kekurangan gizi, kalori, dan protein), kelebihan gizi (kegemukan, ditemukan pada 11% anak di Jakarta), dan salah gizi yang memiliki indikasi dan akibat yang berbeda-beda. Untuk menghindarinya, atur komposisi seimbang antara karbohidrat (45%-65%), protein (10%-25%), dan lemak (sedikitnya 30%). Selain itu, tambahkan juga berbagai vitamin lain untuk mengoptimalkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kepandaian, dan kematangan sosial.


Diterangkan oleh Dra Mayke S Tedjasaputra, Psikolog dan Play Therapist, pada diskusi yang dilakukan di Melt Restaurant, Sudirman, Jakarta, Rabu (6/05), bahwa setiap anak memiliki karakteristiknya masing-masing. Beda anak, beda karakteristik. Sehingga, bagaimana jajan menjadi pola kebiasaan buruk anak adalah akibat orang-orang yang ada di sekitarnya juga.


Misalnya, tetangga yang mengajak Si Kecil jajan, teman-teman di sekolah (termasuk juga kantin dan penjual yang ada di sekitarnya), iklan yang sangat persuasif di sela-sela tontonan anak, juga pola makan keluarga (orangtua adalah role model anak). Namun yang terutama adalah faktor kelekatan anak kepada orangtuanya (termasuk kepatuhan).


Dra. Mayke menyatakan, bahwa kebiasaan jajan harus dimulai dari pola makan keluarga, dan salah satu cara mengganti kebiasaan tersebut adalah dengan membuat "kudapan tandingan" yang tak kalah enak dari jajanan yang dapat dibeli di luar.


Sebagai upaya preventif, anak harus dikenalkan pada pola makanan sehat dan orangtua harus menjadi panutannya. Jika sudah telanjur, upaya kuratif, orangtua harus dapat menata kegiatan makan, membuat penganan bersama dengan anak, dan memperkenalkan anak pada berbagai jenis makanan.

Tentunya ini perlu dikaji lagi, seberapa dekat anak dengan orangtua, semakin dekat, semakin anak akan mau bekerja sama dengan para orangtua. Faktor kelekatan anak dan orangtua akan menciptakan suatu hubungan interaktif (timbal balik).


Dr Fiastuti dan Dra Mayke memberikan solusi bahwa untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan menghindari penyakit, sebaiknya orangtua membuatkan bekal untuk anak. Tentunya, agar anak tidak bosan, orangtua juga harus pandai-pandai membuatkan variasi, baik dalam bentuk, penataan, dan rasa.

Dr Fiastuti memberikan menu sehari yang bisa dijadikan contoh:


Pagi: Roti, telur rebus, daun selada, tomat, timun, saus tomat, dan susu.
Snack: Buah potong.
Siang: Nasi, tim ikan, sup kacang merah-wortel, buah.
Snack: Agar-agar susu + saus buah.
Malam: Nasi, sup ayam-sayur-kacang polong, buah.
Snack: Susu. NAD/kcm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar