21 Mei 2009

Duh, Bayi Gizi Buruk Meningkat!

Jumat, 15 Mei 2009

MOJOKERTO, KOMPAS.com - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mojokerto mencatat angka bayi di bawah lima tahun (balita) penderita gizi buruk meningkat hingga 60 penderita dalam triwulan pertama tahun 2009.
    
"Pada triwulan pertama ini tercatat 60 balita di Kabupaten Mojokerto menderita gizi buruk," kata Kepala Dinkes Kabupaten Mojokerto, Noer Windijantoro saat dikonfirmasi di Mojokerto, Jatim, Kamis.

Ia mengemukakan, indikasi gizi buruk yang dimaksud yakni balita yang memiliki tubuh tidak sesuai antara ketinggian dan berat badan. "Jumlah tersebut lebih banyak dibanding periode yang sama tahun 2008  yang mencapai 45 balita," katanya.

Balita yang menderita gizi buruk, dialami balita yang berusia antara satu hingga lima tahun. Namun, dari pendeteksian Dinkes di 27 puskesmas pembantu, balita gizi buruk hingga saat ini belum diketahui satupun yang mendapat perawatan intensif.

"Penyebabnya rata-rata karena berat badan menurun, sakit diare atau mengonsumsi makanan yang tidak sehat," katanya.

Untuk menyatakan seorang balita menderita gizi buruk, tidak hanya ditentukan pada indikator berat badan semata, melainkan juga diukur secara proporsional, antara berat dan ketinggian badan.

Dari situ, jika ada balita yang dicurigai kesehatan tubuh balita berangsur terus menurun, maka bisa dikategorikan masuk dalam stadium tiga.

Kasus di Semarang

Sementara itu kasus gizi buruk di Kota Semarang berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, dalam periode Januari hingga pertengahan Mei 2009 ditemukan sebanyak 44 kasus atau melonjak dibandingkan selama 2008 hanya 30 kasus.
    
"Kasus gizi buruk yang ditemukan ini tersebar di 15 kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di kota ini. Hanya Kecamatan Mijen yang tidak ditemukan kasus tersebut," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Tatik Suyarti, di Semarang, Selasa.

Peningkatan jumlah kasus gizi buruk tersebut, menurutnya, justru menunjukkan semakin meningkatnya upaya pengawasan kasus tersebut karena kasus-kasus yang selama ini luput dari perhatian pihaknya dapat ditangani lebih serius.

Kasus gizi buruk yang berhasil didata tersebut, lanjutnya, berasal dari puskesmas dan bantuan dari masyarakat yang melaporkan adanya kasus gizi buruk di daerah asalnya.

"Dalam pendataan di lapangan, puskesmas menjadi 'ujung tombak' Dinas Kesehatan karena mereka yang memiliki intensitas lebih banyak dalam interaksi langsung dengan masyarakat. Selain itu, peran masyarakat yang melapor sangat berarti bagi kami," tegasnya.

Menurutnya, dari pendataan tersebut pihaknya akan memproses sesuai prosedur yang ada dari pengecekan di lapangan, pemeriksaan di laboratorium, pengobatan, hingga pemberian makanan tambahan.
    
"Tahapan-tahapan dalam proses penanganan tersebut kami lakukan bersama dengan dokter spesialis anak, psikolog, ahli gizi dari Universitas Diponegoro, serta salah satu laboratorium yang ada di daerah ini," ucapnya.
    
Kota Semarang termasuk daerah yang lebih beruntung dalam penanganan gizi buruk karena banyak pihak yang ikut berpartisipasi aktif dalam menuntaskan gizi buruk.
    
Beberapa daerah lain yang tidak memiliki mitra kerja memiliki lebih banyak kendala dalam penanganan gizi buruk, sehingga sering terjadi keterlambatan penanganan.
    
Disinggung tentang dampak dari keterlambatan penanganan, dia mengatakan, gizi buruk memiliki dampak buruk terhadap penderita, khusunya anak-anak.
    
"Anak-anak yang masih dalam proses perkembangan memiliki risiko yang lebih besar karena berpengaruh pada masa depan mereka," katanya.
    
Dia mengatakan, gizi buruk akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan dan fisik anak, dan memiliki penyakit bawaan, seperti jantung, paru-paru, dan lain-lain.
    
"Oleh karena itu, komitmen kami adalah menangani kasus kurang gizi secepatnya karena anak-anak merupakan masa depan bangsa yang harus kita jaga," katanya.


ABD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar