01 April 2009

Membangun Tanpa Menggusur

Membangun Tanpa Menggusur
Kamis, 2 April 2009 | 03:32 WIB

Sekitar 80 persen pasar tradisional berusia tua dan tidak layak lagi. Padahal, di pasar tradisional itulah sebagian besar produk usaha kecil dan menengah dipasarkan dan pedagang kecil menggantungkan kehidupannya. Di sisi lain, ritel modern terus meluaskan jaringannya. Mampukah stimulus fiskal Rp 100 miliar merevitalisasi pasar tradisional?

Pasar tradisional Manggis, Ciputat, Banten, Kamis (26/3), pukul 22.00, mulai menggeliat. Satu demi satu lampu pijar berkekuatan 40 watt dipasang, menerangi barang dagangan yang baru diturunkan dari mobil-mobil bak terbuka.

Sayuran segar dan aneka bumbu dapur mulai ditata di meja. Peti-peti kayu berisi buah-buah segar pun mulai dibuka untuk dijajakan.

Hujan deras yang baru saja mengguyur kawasan Ciputat membuat saluran air yang sudah mampat tak mampu menampung curahan air hujan.

Air hujan pun meluap ke lantai pasar, berbaur dengan air yang disiramkan pedagang untuk menyegarkan sayuran yang dijualnya. Belum lagi tetesan air dari ember pedagang ikan. Lantai pasar pun menjadi semakin becek.

Situasi itu membuat pengunjung harus berjalan hati-hati dan mengangkat celana panjangnya agar tidak terkena lumpur yang menempel di lantai pasar.

Di sudut pasar, pedagang kelapa sibuk mengupas batok kelapa. Mereka membiarkan potongan batok kelapa berserakan ke tanah.

Sementara itu, pedagang sayur-mayur sibuk memilah daun kol dan sawi yang busuk. Kekumuhan itu masih harus ditambah dengan bau busuk yang menyengat dari bak sampah yang terletak di samping kuburan, di dekat pasar.

Lengkaplah sudah gambaran kesemrawutan, kekumuhan, dan ketidaknyamanan sebuah pasar tradisional. Padahal, pasar ini menjadi andalan kedua konsumen di kawasan itu, setelah Pasar Ciputat yang terletak sekitar 300 meter dari Pasar Manggis.

Kondisi yang nyaris mirip juga ditemukan di Pasar Ciputat. Sampah berserakan, bau busuk, becek, dan kumuh menjadi pemandangan sehari-hari.

Padahal, sekitar 50 meter dari Pasar Manggis berdiri supermarket Tip Top. Hypermarket Carrefour pun telah berdiri megah di kawasan itu, lengkap dengan pelataran parkir.

Persaingan pun semakin ketat. Namun, hasil penelitian The Nielsen Indonesia menunjukkan, pasar tradisional memiliki konsumen yang setia dan pangsa pasar tersendiri.

Di tengah krisis keuangan global yang kini melanda dunia, berbagai kiat dilakukan untuk menyiasati keadaan agar bisa bertahan. Begitu pula konsumen. Dalam karikatur tentang tingkat kepercayaan konsumen, Nielsen mengutip kiat sebagian konsumen dalam menyiasati sulitnya keadaan.

"Harus pintar-pintar masak, mengolah bahannya, biar dapat banyak tapi enggak usah sering-sering ditumis pakai minyak goreng. Kalau perlu, direbus atau dikukus saja, entar dicocol pakai sambal," ungkap seorang konsumen dalam menyiasati mahalnya harga kebutuhan sehari-hari.

Ada pula yang menyatakan, "Kalau minta ayam Kentucky, kita beli saja kentucky-kentucky-an."

Ada pula yang menuturkan, "Anak-anak suka jajan. Kalau saya sudah enggak ada duit, akhirnya saya tutup pintu, setelin TV biar (dia) enggak jadi jajan." Kiat ini untuk mengurangi pengeluaran untuk jajan anak.

Penghematan dilakukan di berbagai pengeluaran. "Dulu biasa beli pembalut yang isinya 12, sekarang yang isinya sedikit. Dan lebih irit pakai sampo sachet soalnya kalau pakai botol suka kelebihan. Kalau sachet tinggal gunting, jadi pas ukurannya."

Dengan berbagai kiat dan perubahan sikap konsumen, Nielsen meyakini tahun 2008 terjadi perpindahan sebagian konsumen, dari belanja di toko modern ke toko tradisional dan pasar tradisional.

Dalam Shoppertrend 2009, Nielsen mengungkapkan, masih tingginya minat masyarakat berbelanja di pasar tradisional terutama bahan makanan segar.

Tahun 2006-2008, sebesar 36-45 persen konsumen berbelanja buah dan sayur segar di pasar tradisional. Sebanyak 62-65 persen konsumen berbelanja daging segar di pasar tradisional. Adapun 53-61 persen konsumen berbelanja ikan segar di pasar tradisional.

Karakteristik tradisional

Menurut Ketua Dewan Pengawas Federasi Organisasi Pedagang Pasar Indonesia (FOPPI) Irfan Melayu, atmosfer pasar tradisional menumbuhkan keakraban antara pedagang dan pembeli, terutama saat proses tawar-menawar.

Keakraban itu acap kali hilang saat pasar tradisional direnovasi. Pasar tradisional diubah menjadi bangunan megah dan mewah, menghilangkan karakteristik ketradisionalannya.

"Padahal, yang dibutuhkan konsumen bukan bangunan fisik yang mewah, tetapi yang bersih, rapi, nyaman, dan aman. Komposisi biaya renovasi pasar tradisional harus menghasilkan keunggulan komparatif, terutama dari sisi harga jual barang. Bukan malah menjadi lebih mahal," kata Irfan.

Irfan mengakui, lokasi penyebaran pasar tradisional membuat biaya distribusi barang menjadi bervariasi. Hal ini membuat ada selisih harga jual barang antara pasar tradisional dan ritel modern. Harga di ritel modern relatif murah, yang membuat konsumen beralih ke ritel modern.

Oleh karena itu, Irfan mengharapkan renovasi pasar hendaknya diarahkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Ini bisa dilakukan bila lokasi pasar tradisional dekat dengan konsumennya.

"Tidak ada salahnya renovasi pasar tradisional dipadukan dengan pembangunan rumah susun. Jadi, daya beli akan meningkat karena penghuni rusun menjadi konsumen tetap dari pasar itu," tutur Irfan.

Bahkan, lanjut Irfan, lokasi pasar tradisional akan sangat strategis bila dipadukan dengan apartemen. "Dengan catatan, persyaratannya tetap sama, pedagang lama tetap harus bisa menjangkau harga kios atau los untuk bisa berdagang," katanya.

Oleh karena itu, Irfan mengingatkan agar renovasi pasar tradisional tidak menggusur pedagang lama.

Hal itu pula yang dikemukakan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Suryadharma Ali. Ia mengatakan, di tengah krisis finansial global, renovasi pasar menjadi salah satu pilihan pemerintah dalam pengucuran stimulus fiskal tahun 2009. Namun, nilainya relatif kecil, Rp 100 miliar.

Dengan demikian, "uang perangsang" itu tidak akan banyak bermanfaat tanpa peran pemerintah daerah. Lahan-lahan dan biaya perizinan renovasi pasar harus disiapkan oleh pemda. Dengan demikian, harga lahan tidak dimasukkan sebagai komponen yang harus dibiayai oleh stimulus fiskal.

Rencananya, 91 pasar tradisional dan 13 kawasan usaha mikro dan kecil, seperti pedagang kaki lima (PKL), menjadi target penyaluran stimulus fiskal. Jumlah ini jauh dari jumlah pasar tradisional di Indonesia.

"Komitmen pemerintah, renovasi atau pembangunan pasar tidak boleh menggusur pedagang lama. Apalagi, muncul broker penjual kios," tegas Suryadharma.

Deputi Pemasaran Kementerian Negara Koperasi dan UKM Ikhwan Asrin mengingatkan bahwa stimulus fiskal memiliki prosedur pertanggungjawaban dan mekanisme renovasi pasar tetap berasal dari masyarakat.

Semoga rencana manis itu dapat berbuah manis sehingga pedagang tak harus menerima beban lebih berat karena renovasi pasar tradisional tempatnya berdagang. Dengan demikian, konsumen tetap mendapat harga yang murah. (Stefanus Osa Triyatna)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/02/03323796/membangun.tanpa.menggusur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar