Kompas Cetak
Surabaya, Kompas - Warga usia produktif, tanpa memandang tingkat pendidikan di wilayah selatan Jawa Timur, umumnya lebih berminat mengadu nasib menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Alasan mereka menjadi pahlawan devisa adalah daerah asal mereka, seperti Banyuwangi, Jember, Lumajang, Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar, minim industri.
Hal itu terungkap dari perbincangan Kompas dengan Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Jatim Eddy Widarto dan Direktur Regional Economic Development Institute (REDI) Indra N Fauzi, pekan lalu di Surabaya.
Menurut Eddy, jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jatim yang ditempatkan di berbagai negara rata-rata 4.000 orang setiap bulan. TKI perempuan mendominasi pekerjaan di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Mayoritas TKI laki-laki justru bekerja di sektor formal di berbagai negara, seperti Korea Selatan, Jepang, da Malaysia, serta kawasan Timur Tengah. Pekerjaan di sektor formal umumnya adalah kuli bangunan, sopir, dan pekerja pabrik.
Sejak Januari 2009, kata Eddy, jumlah TKI di sektor formal mengalami penurunan. "Kemungkinan banyak pabrik kolaps akibat krisis keuangan global sehingga permintaan dari Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia turun hingga 15 persen," ucapnya.
Indra mengemukakan, jika berbagai industri berbahan baku lokal dikembangkan di wilayah selatan Jatim, minat warga usia produktif untuk bekerja di luar negeri diperkirakan menurun.
"Sekarang mau bertahan di kampung, lahan sempit dan kalaupun ada tidak produktif. Pilihan lain adalah menjadi TKI karena industri dalam negeri tidak mampu menampung lonjakan jumlah tenaga kerja," tutur Indra.
Padahal, kata Indra, Tulungagung menjadi pusat konfeksi terbesar di wilayah Jatim, termasuk industri marmer dan logam. Wilayah tersebut sangat kaya kandungan bahan baku untuk berbagai industri, tetapi sampai sekarang belum dieksploitasi secara maksimal.
Eddy menambahkan, hal yang perlu diwaspadai justru kehadiran beberapa industri di wilayah selatan setelah akses ke berbagai daerah dibuka secara bertahap. Pasalnya, saat ini banyak lahan dikuasai segelintir pemilik modal.
Bahkan, jika pemerintah setempat tidak peduli, sepanjang garis pantai akan dipenuhi bangunan dan industri. Hal itu akan mengganggu ekosistem perairan jika tidak ditertibkan sejak dini. (ETA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar