Senin, 20 April 2009
Gizi buruk dekat dengan kemiskinan dan kebodohan
JAKARTA - Supriyadi (1,6 tahun) balita asal Desa Kalasan RT13/14, Kecamatan Kasemen Kota Serang pada awal Maret lalu akhirnya meninggal dunia di rumahnya setelah sempat selama tiga pekan dirawat di RSUD Serang karena menderita gizi buruk.
Sarmawi (35 th), orang tua anak balita tersebut mengatakan, bayinya hanya memiliki berat badan empat kilogram dari berat ideal pada bayi seusianya yaitu enam kilogram dan Suriyadi selama tiga pekan menderita berbagai penyakit yang disebabkan kondisi gizi buruk.
Supriyadi mengidap berbagai penyakit, antara lain demam tinggi, jantung, liver, dan muntah-muntah. Bahkan selama dalam perawatan di rumah sakit, anak itu tidak mau makan dan minum susu, kata Samawi.
Kasus balita yang meninggal karena kekurangan gizi senantiasa menjadi pemberitaan media massa, karena mampu mengundang perhatian dan kepedulian masyarakat luas terhadap kondisi ironis yang menimpa anak-anak penderita gizi buruk di zaman modern seperti sekarang ini.
Apalagi kasus kematian balita dan anak-anak tersebut terjadi di daerah-daerah yang jaraknya tidak jauh dari ibukota kabupaten, provinsi dan ibukota negara.
Sarmawi hanya salah satu potret dari ribuan orang tua dengan balita penderita gizi buruk yang berada di pelosok Tanah Air dan juga wilayah-wilayah lain di dunia khususnya di negara-negara berkembang, seperti Filipina, Srilanka.
Malnultrisi telah mengancam kesehatan dan kesejahteraan dan masa depan banyak anak-anak di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Menurut data nasional, terdapat 18,4 persen anak-anak di bawah usia lima tahun yang mengalami kekurangan berat badan dengan angka pertumbuhan di bawah normal (stunting) sebesar 36,8 persen yang merupakan indikator adanya kekurangan nutrisi yang kronis.
Malnultrisi pada anak erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan serta adanya faktor budaya yang memengaruhi pemberian makanan tertentu meski belum layak di konsumsi di usianya.
Banyaknya anak-anak penderita kekurangan gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di Tanah Air disebabkan ketidaktahuan orang tua akan pentingnya gizi seimbang bagi anak-anak mereka karena umumnya pendidikan rendah dari orang tua serta faktor kemiskinan.
Sementara faktor budaya juga turut andil melalui kebiasaan turun-temurun untuk memberikan nasi lembek dan buah pisang yang dilembutkan kepada bayi-bayi masih berusia di bawah empat bulan untuk alasan agar anak menjadi cepat besar.
Bahkan, karena alasan kemiskinan maka banyak anak balita yang sehari-hari mengkonsumsi makanan yang sama dengan makanan orang tua mereka dan makanan dengan lauk kerupuk atau jenis makanan ringan yang memiliki bahan perasa sangat kuat.
Entin (20 th ) ibu seorang balita yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di Bekasi mengaku karena keterbatasan penghasilan setiap hari hanya mampu memberikan satu kali susu untuk anak balitanya, Yanti (2,5 th) .
Susu yang diberikan kepada Yanti bukan merupakan susu bayi tetapi susu kental manis yang tidak cocok untuk anak balita.
Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Jabar, Alma Luciati mengakui, ada 1,01 persen balita di Jabar menderita gizi buruk. Anak balita yang masuk dalam kategori gizi kurang mencapai 380.673 orang dari 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu.
"Masalah gizi memang banyak ditemukan dalam kehidupan, termasuk di Jabar. Karena masalah gizi ini memang terjadi dalam setiap siklus kehidupan, bayi, balita, anak-anak, remaja, maupun orang dewasa pasti mengalami kekurangan gizi. Oleh karena itu, ini menjadi masalah yang harus ditanggulangi bersama secara komprehensif, " katanya.
Kasus gizi buruk dan kurang gizi di Jawa Barat, di antaranya di Indramayu, Bekasi, Karawang, Sumedang, Tasikmalaya, dan Kabupaten Bandung.
Melalui sosialisasi soal pola hidup sehat, maka tahun ini juga kasus gizi buruk dan kurang bisa ditekan. Luciati mengatakan, salah satu kendala dalam mengatasi kasus gizi buruk saat ini, adalah belum maksimalnya partisipasi masyarakat terhadap program kesehatan pemerintah.
Namun pihaknya menargetkan, kasus gizi buruk dan kurang bisa tertangani seluruhnya hingga tahun 2010.
Penyebab
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus malnutrisi. Badan Dunia untuk pendanaan bagi anak-anak atau UNICEF (United Nations Children's Fund) menyatakan ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi.
Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yakni kemiskinan.
Sedangkan malnutrisi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.
Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat menjadi unsur penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak.
Pengelolaan lingkungan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi penyebab turunnya tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan, ada tiga faktor penyebab anak menderita gizi buruk khususnya balita. Faktor-faktor itu adalah keluarga miskin, faktor ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak, dan faktor penyakit bawaan pada anak, seperti jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare.
Donasi
Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman.
Save the Children Internasional merupakan sebuah organisasi nirlaba dalam bidang bantuan dan pengembangan kemanusiaan yang telah bekerja di lebih dari 45 negara di dunia ikut mengambil bagian dalam penanganan masalah kekurangan gizi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Sejumlah kecamatan dan kabupaten rawan gizi di Jawa Barat menjadi fokus perhatian organisasi tersebut. Save the Children yang memperoleh dukungan dari Kraft Foods Indonesia (KFI) melalui program tanggung jawab sosial perusahaan(Corpoate Social Responsibility) atau CSR menyalurkan dana dan asistensi kepada masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi gizi buruk.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, Alma Luciati , konsumsi makanan anak-anak di sejumlah kecamatan di Karawang masih jauh dari kondisi sehat yang mengakibatkan terjadi anemia gizi.
"Dari 3,7 juta balita di Jabar sebanyak 10,8 persen mengalami gizi kurang dan 1,01 persen mengalami gizi buruk. Biasanya penyakit gizi buruk selalu diikuti dengan sejumlah penyakit mulai dari diare, campak hingga penyakit parah lainnya," katanya.
Sejumlah pendekatan telah dilaksanakan bersama dengan dukungan LSM yang bergerak di bidang kesehatan. Save the Children melaksanakan pendekatan untuk mengatasi masalah gizi dengan konsentrasi di wilayah Jawa Barat, yakni Kecamatan Cikarang di Kabupaten Bekasi, Kecamatan Padalarang di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Karawang.
Direktur Save the Children untuk Indonesia, Mark Fritzler mengatakan, upaya intersektoral tersebut difokuskan dengan target 525 posyandu yang menghadapi pasien malnutrisi yang makin parah setelah terjadinya krisis global.
"Kami menerima dana bantuan senilai 1,9 juta dolar AS (Rp22 miliar) untuk membantu lebih dari 150 ribu orang yang mengalami masalah kekurangan gizi, khususnya di sejumlah kecamatan dan kabupaten di Jawa Barat," katanya.
Dibutuhkan lebih dari sekadar makanan untuk memberantas kekurangan gizi dan dibutuhkan dukungan untuk mengembangkan hasil kerja yang telah dilakukan sebelumnya, yakni membantu pemerintah Indonesia dalam merevitalisasi posyandu dan peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, kata Mark Fritzler.
Bantuan berupa komitmen tiga tahun tersebut untuk membantu distribusi makanan yang berbasis komunitas dan meningkatkan pembelajaran mengenai gizi di Indonesia.
Ia mengatakan, upaya intersektoral tersebut difokuskan dengan target 525 posyandu yang menghadapi pasien malnutrisi yang makin parah setelah terjadinya krisis global.
Seluruh posyandu tersebut tersebar di tiga kabupaten yakni Kabupaten Karawang, Kabu
paten Bandung Barat dan Kabupaten Bekasi. Pemberian dana tersebut dalam rangka untuk meningkatkan kondisi kesehatan maupun gizi ibu dan anak di Provinsi Jawa Barat yang dinilai masih jauh dari angka baik.
"Bantuan ini sengaja kami fokuskan di Provinsi Jawa Barat juga karena jumlah anak di Provinsi Jawa Barat sangat besar," ungkap Mark Fritzler. Oleh karena itu, lanjutnya, Save The Children bersama dengan Kraft Food Indonesia pun memutuskan bahwa target mereka untuk menyelamatkan anak Indonesia dari malnutrisi ini dimulai di Provinsi Jabar.
"Kami tidak akan mengintervensi sistem kebijakan kesehatan pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, yang akan kami lakukan adalah merevitalisasi posyandu dan mendukung kegiatan mereka," ujarnya.
Sementara, Presiden Direktur Kraft Food Indonesia Steven Tan mengatakan, bantuan tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan dan kepedulian terhadap persoalan gizi yang terjadi di kawasan Asia, khususnya di Indonesia.
"Program di Indonesia sama dengan program kemitraan senilai 1,1 juta dolar AS yang telah diserahkan kepada masyarakat Filipina. Program di Indonesia dan Filipina mewakili komitmen tiga tahun senilai tiga juta dolar yang diserahkan kepada Save the Children untuk memerangi malnutrisi di Asia," katanya./ant/itz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar