Jumat, 21 Agustus 2009 08:41
Hasil audit sejumlah lembaga independen terhadap LKPJ Gubernur Tahun 2008, disimpulkan bahwa NTT tidak kekurangan dana. Malah mengalami 'busung rupiah' alias kelebihan dana. Tapi ironinya, NTT tetap miskin. Sampai kapan NTT terus mengeluh kekurangan dana. Perlu keberanian pemimpin untuk merubah pola anggaran NTT, bukan meributkan jumlah dananya.
Kupang-Aktualita-ntt. Kemiskinan di NTT ibarat benang kusut yang selalu sulit diurai. Ratusan pertanyaan yang pernah diajukan untuk menjawab soal besar ini selalu saja dipental berbagai jawaban klasik. Dari soal topografi wilayah NTT yang sangat sulit dijangkau, tingginya biaya operasional untuk menjangkau wilayah-wilayah NTT, mentalitas rakyat NTT (budaya kewirausahaan yang rendah) dan SDM yang rendah, serta masih minimnya pemanfaatan sumber daya alam, hingga kurangnya dana atau fiskal yang dikucurkan dari pusat untuk NTT. Namun semua jawaban itu, ternyata bisa ditepis oleh fakta bahwa belasan triliun rupiah dana dari Jakarta dan Luar Negeri setiap tahun masuk ke NTT? Contoh, merujuk pada DIPA tahun 2009, untuk NTT tercatat uang yang masuk adalah Rp13,5 triliun. Tapi mengapa NTT masih tetap miskin? Pantaskah para decesion maker (pengambil kebijakan) berlindung dibalik jawaban klasik bawa NTT ini miskin karena kurang dana? Semuanya sah-sah saja untuk mencari kambing hitam. Yang pasti rakyat NTT yang sejak lama terus memendam tanya, mengapa hidupnya tidak juga berubah-berubah, mulai muak dengan keadaan tersebut.
Pelatihan Advocy Masyarakat Sipil Untuk Tata Pemerintahan Lokal Yang Baik, yang diselenggarakan oleh GTZ (lembaga kemitraan Jerman dan Indonesia), yang bertempat di Hotel Sasando Kupang, beberapa waktu lalu, berhasil menjawab berbagai pertanyaan menggelisakan seputar kemiskinan di NTT tersebut. Dalam diskusi yang penuh adu argumentasi ini, semua tabir tentang mengapa NTT ini miskin, terkuak.
Ternyata ada temuan menarik bahwa dibalik berbagai soal besar yang melilit NTT, ada satu masalah pokok yang bisa dijadikan dasar penyebab kemiskinan di NTT. Penyebab itu ibarat gunung es yang tidak mudah terpantau. Namun dampaknya terlihat jelas di lapangan. Masalah tersebut adalah soal politik anggaran dan pola penyusunan anggaran di NTT yang masih sangat jauh dari mainstream utama sebuah pola anggaran yang baik untuk mensejahterakan rakyat.
Di NTT, sebagaimana yang terkuak dalam hasil diskusi itu, di banyak kabupaten/kota termasuk propinsi, proses penyusunan anggaran masih sangat terpisah antara perencanaan di satu sisi dan penganggaran di pihak lain. Kadang yang terjadi adalah proses baypas untuk mengejar waktu. Banyak dokumen Musrenbang, baik di tingkat Propinsi atau Kabupaten/Kota yang tebalnya bisa disamakan dengan tebal bantal tidur, justru tidak dimasukan dalam dokumen anggaran. "Dokumen Musrenbang itu tebalnya seperti bantal peluk tetapi nol kaboak (besar, red) dalam pelaksanaannya," celetuk salah satu tim penyusun anggaran propinsi. Fakta ini juga diperkuat oleh beberapa mantan staf Bappeda Porpinsi NTT yang hadir saat diskusi.
Kegiatan yang sangat jauh dari kesan formal ini memang sangat membantu para peserta. Hadir saat itu unsur pemerintah, LSM, Pers dan masyarakat serta unsur perempuan. Mereka terlihat sangat terlibat dalam diskusi sejak hari pertama hingga hari ketiga. Diskusi dipandu langsung Florencio Mario Vieira (Coordinator/Senior Advisor GTZ Good Local Goverment (GLG) Project NTT). Dengan joki-joki-nya yang mengocok perut, namun berisi, Mario berhasil menghantar para peserta masuk ke dalam inti diskusi dan berhasil menguasai isi materi secara cepat.
Pemateri di sesi pertama Ny. Hartian Silawati, seorang Senior Advisor GTZ. Pemateri cantik yang didatangkan khusus dari GTZ Jakarta ini memaparkan berbagai materi terkait Advokasi Masyarakat Sipil untuk Tata Pemerintahan Lokal yang Baik. Dalam pemaparannya, Silawati menjelaskan subtansi sebuah Tata pemerintahan yang baik. Hal pertama yang harus dilakukan masyarakat sipil adalah bagaimana memahami bahwa pemerintahan daerah manapun selalu diselenggarakan dengan mengacu pada berbagai tata aturan yang sudah ada.
Mulai dari UU 32, PP 38, PP 41, dan berbagai aturan lainnya tentang pemerintahan daerah. Karena itu, tugas masyarakat sipil adalah bagaimana berusaha memahami berbagai aturan yang berlaku tersebut agar dapat mengontrol pemerintah. Sebab tperan masyarakat sipil dalam mengontrol pemerintah sangat dibutuhkan.
Diskusi hari pertama ternyata langsung memberi hasil. Para peserta diberi tugas memilih gambar dan atau berita koran yang dibagikan pemateri. Mereka dipersilahkan memilih gambar atau berita yang relevan dengan isu-isu Tata Pemerintahan Yang Baik. Berita-berita dan gambar yang dianggap menarik dan penting lalu itu digunting. Sebelum mempresentasikan alasan dibalik pemilihan gambar dan berita tersebut, permasalahan dalam berita tersebut diceritakan dalam kelompok. Mengapa berita atau gambar tersebut menarik dan penting bagi yang bersangkutan. Usai diskusi alot di tingkat kelompok dan terjadi kesepakatan, peserta lalu disuruh menyusun berbagai berita tersebut dalam bentuk majalah dinding yang menarik.
Menariknya, para peserta langsung paham soal. Mereka mampu menjelaskan setiap isu apa yang diangkat. Dalam hasil kerja tersebut dibuat sebuah narasi singkat sebagai penjelas di bawah berita. Hasilnya, berbagai issu berhasil diangkat, mulai dari masalah kualitas pelayan publik di NTT, korupsi yang terus menggurita, transparansi dan akuntabilitas, partisipatif, pengarusutamaan gender, pemborosan anggaran, dll.
Memang benar adanya, ternyata NTT mempunyai begitu banyak masalah yang setiap hari dipublikasikan media, tapi tidak pernah dideteksi secara jeli oleh masyarakat akibat ketidaktahuan tentang pendekatan yang harus dilakukan. Usai latihan tersebut, para peserta diberi pemahaman baru tentang bagaimana penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (Renstra) SKPD, baik dari sisi substansi, indikator kinerja maupun dari sisi proses berdasarkan peraturan yang ada. Mereka juga diberi pemahaman tentang bagaimana penyusunan Perencanaan Tahunan, Sistem Penganggaran Daerah, Strategi isu-isu lintas bidang ke dalam dokumen dan proses perencanaan dan penganggaran, serta strategi untuk memastikan bahwa proses perencanaan dan penganggaran berjalan konsisten dan memenuhi kebutuhan publik, termasuk peran masyarakat sipil dalam mengadvokasi masalah-masalah tersebut.
Untuk NTT, keberadaan Pemda dalam melindungi dan mensejahterakan masyarakat secara demokratis masih jauh dari yang diharapkan. Sebagaimana disampaikan peserta, jika mendasarkan ukuran pada asas kesejahteraan yang dipatok berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), dengan indikator utamanya (i) penghasilan; (ii) kesehatan; dan (iii) pendidikan.—GDI (Gender Development Index), maka NTT masih sangat terbelakang. Mengapa demikian?
Jawaban yang bisa menjawab secara akurat berbagai pertanyaan tersebut adalah bahwa ternyata NTT ini miskin karena pola penyusunan anggaran yang sangat buruk, baik itu di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Pola anggarannya masih jauh dari mainstream utama tujuan penganggaran yaitu untuk menghasilkan outcome (hasil) sesuai target yang direncanakan demi kesejahteraan rakyat. Pola anggaran di NTT belum pro poor (rakyat miskin, red). Ketimpangan antara belanja publik dan belanja aparatur masih menjadi persoalan utama. Belum lagi mental aparatur yang hanya mau menghabiskan anggaran pada akhir tahun anggaran dengan kegiatan-kegiatan yang tidak jelas peruntukannya. Banyak proyek diciptakan sesuai pesanan pihak ketiga hanya via SMS. Pihak ketiga yang berafiliasi dengan kepala dinas untuk urusan fee, lebih mendominasi mata anggaran yang direncanakan ketimbang program-program yang sesuai dengan keinginan masyarakat saat Musrenbang. Belum lagi nepotisme birokrasi dan anggota DPRD untuk memasukan program-program tertentu sesuai kepentingan sang DPRD. Semuanya itu tanpa mempedulikan hasil Musrenbang yang telah dilakukan dengan menghabiskan ratusan juta bahkan miliaran uang rakyat.
Namun ironisnya, jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, data kemiskinan di NTT setiap tahunnya justru mengalami penuruanan yang drastis. Tetapi lucunya jika merujuk pada data penerima BLT di NTT, maka dari tahun ke tahun data orang miskin di NTT jusrtu terus meningkat. Anehnya, fakta di lapangan menunjukan bahwa setelah dananya turun, data rakyat penerima BLT justru amburadul. Banyak orang yang mengaku tidak kebagian BLT. Sampai-sampai terjadi pertengkaran mulai dari kantor pos, hingga desa dan RT. Lalu uangnya lari ke mana? Itu yang aneh...
Belum lagi soal hasil audit terhadap LKPJ Gubernur tahun sebelumnya oleh beberapa lembaga, termasuk PIAR NTT. Diketahui bahwa, ternyata NTT bukan kekurangan dana melainkan 'busung rupiah' alias kelebihan dana. Itu dibuktikan dengan banyaknya dana SILPA atau sisa anggaran yang masuk kas karena tidak terpakai. Di titik ini, menjadi sangat ironis jika NTT terus dikatakan kekurangan dana. "Keberanian pemimpin untuk merubah pola anggaran di NTT yang menjadi persoalan, bukan jumlah dananya," jelas para peserta menanggapi ulasan para pemateri.
Yang juga aneh adalah, di NTT, ditemukan juga fakta kasus kematian ibu sangat tinggi. Per dua jam, selalu saja ada Ibu di NTT yang mati karena melahirkan. Begitu pun anak-anak. Banyak anak yang setiap hari mati karena bermasalah dalam proses kelahirannya.
SDM NTT pun terbilang masih buruk. Banyak orang belum bisa bersekolah meski iklan sekolah gratis terus dikampanyekan. Dan kucuran dana untuk bidang pendidikan di NTT terbilang sangat tinggi, angkanya bisa mencapai satu triliun rupiah untuk tahun 2009, berdasarkan DIPA bidang pendidikan. Sungguh aneh memang, tetapi itulah faktanya. Pola pendidikan di NTT ini terkesan hanya mau kejar target tanpa memperhatikan subtansi pendidikan itu sendiri sebagai wahana mencerdaskan manusia dari semua aspek, yaitu aspek IQ dan EQ.
Tidak hanya itu, masalah air bersih pun masih jadi soal besar di NTT. Untuk kota seperti Kupang saja, masalah air bersih justru hanya digunakan untuk kampanye politik. Tetapi masalah air macet, masih terdaji hampir sepanjang tahun. Tak heran issu air begitu laku saat kampanye politik untuk menjerat massa pemilih. Saat pilkada lalu, air bisa dikatakan sebagai jargon paling laku yang berhasil menghantar Duo Dan (Wali dan Wawali), paket terpilih saat ini. Namun herannya, setelah pilkada, issu ini hilang jejak tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Belum lagi soal penghasilan masyarakat NTT yang masih sangat rendah. Pendapatan masih jadi momok memalukan. Ada warga yang masih hidup dengan upah jauh di bawah UMR. Jumlah masyrakat miskin di NTT pun, lebih dari satu juta orang. Angka yang sungguh memperihatikan. Meski kadang berubah dalam angka, namun fakta di lapangan menunjukan justru semakin banyak orang miskin. Tetapi pemerintah dan pihak lain termasuk LSM, kadang menggunakan itu sebagai proyek. Angka kemiskinan di dijadikan bahan dasar pembuatan proposal ke Jakarta dan Luar negeri. Sungguh...memalukan...!
Jika dalam rumusan normatif dikatakan bahwa untuk meningkatkan pencapaian HDI dan GDI dilakukan melalui pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka di NTT, hal tersebut justru terbalik. Jangan heran jika di berbagai daerah dan kota/kabupaten di NTT, dokumen Musrenbangnya setebal bantal, tetapi pelaksanaannya nol kaboak alias tidak satu pun yang dimasukan dalam program kerja tahun berjalan.
Tugas-tugas utama pemerintah seperti menyediakan pelayanan dasar (basic services) dan mengembangkan sektor unggulan (core competences) dengan cara-cara yang demokratis, justru sangat jauh dari yang diharapkan. Untuk NTT, mengurus sebuah KTP saja, masyarakat harus melewati berbagai instansi pemerintahan dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Apalagi untuk ijin usaha, itu membutuhkan dana jutaan rupiah dengan proses yang sangat berbelit-belit mulai dari RT/RW hingga Dispenda dan kantor pajak. Semuanya membuat pusing tujuh keliling para pengusaha yang mau berinvensati di Kupang. Tak heran jika banyak investor yang urung berinvestasi di NTT karena terlalu rumit proses ijinnya. Pelayanan satu pintu yang dijanjikan Walikota pun, belum jalan-jalan. Entah kapan...?
Lalu jika bahasa UU mengatakan bahwa hal-hal yang wajib dilakukan Pemda atau Outputs/end products pemda adalah : Public Goods; yaitu barang-barang kebutuhan masyarakat, seperti jalan, pasar, sekolah, RS, dsb. Public Regulations; pengaturan-pengaturan masyarakat, seperti KTP, KK, IMB, HO, Akte Kelahiran, dsb. Maka di NTT, hal-hal tersebut kerap dilakukan secara terbalik. Kebutuhan masyarakat yang paling dasaria justru dipersulit. Rasionalisasinya adalah bahwa, itulah birokrasi. Banyak aturan yang harus dipatuhi. Lalu? (bersambung). +++ mikhael bataona, joz diaz
Sumber: http://www.aktualita-ntt.com/index.php?option=com_content&view=article&id=331:aduh-ntt-busung-rupiah-tapi-koq-tetap-miskin&catid=31:kupang&Itemid=63
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar