BRISBANE, KOMPAS.com - Penghinaan sebagian warga Malaysia terhadap Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kehadiran sekitar dua juta pekerja Indonesia di negara tetangga itu.
"Untuk memperbaiki citra bangsa, Indonesia mutlak perlu memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi," kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, pada acara ramah tamah dan dialog dengan puluhan mahasiswa dan warga Indonesia di kampus Universitas Queensland (UQ), St Lucia, Selasa malam (22/9).
"Mengapa Malaysia menghina kita? Itu karena ada dua juta orang Indonesia (bekerja-red.) di sana," katanya. Selama Indonesia belum mampu melipatgandakan pertumbuhan ekonomi nasionalnya agar mampu menyerap jutaan orang pencari kerja di Tanah Air, penghinaan bangsa lain terhadap Indonesia sulit dibendung, katanya.
Banyaknya warga Indonesia yang bekerja di berbagai sektor informal di Malaysia dan beberapa negara lain, tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan daya serap lapangan kerja di Tanah Air akibat pertumbuhan ekonomi nasional yang belum mampu menyerap lebih banyak pencari kerja, kata Sofyan Djalil.
Menurut anggota Kabinet Indonesia Bersatu kelahiran Aceh 23 September 1953 ini, dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar tujuh persen, misalnya, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap hanya sekitar 2,2 juta orang, sedangkan angka pencari kerja jauh di atas daya serap lapangan kerja yang ada.
Fenomena tenaga kerja Indonesia di sektor informal di luar negeri, seperti pembantu rumah tangga, juga sudah memengaruhi citra RI di kawasan Timur Tengah. "Hanya saja, pengalaman Indonesia mengirim jutaan orang pekerjanya ke luar negeri ini bukanlah hal unik dalam sejarah perkembangan bangsa-bangsa besar di dunia. Jepang pun pernah mengirim para pelacur ke luar negeri dahulu," katanya.
Namun dalam tempo 40 tahun, Jepang mampu memajukan dirinya yang antara lain merupakan hasil dari pengiriman besar-besaran warganya untuk belajar di luar negeri, kata Sofyan Djalil.
Pengalaman Malaysia
Kemajuan Malaysia saat ini pun tidak terlepas dari strategi pemerintah negeri jiran itu mengirim sebanyak mungkin warganya belajar ke negara-negara industri maju, sehingga sumber daya manusianya kini umumnya "lebih baik" dari Indonesia. "Bahasa Inggris pun tidak masalah bagi mereka," katanya.
Sebaliknya Indonesia menghadapi "bottle neck" (masalah pelik-red.) pada kualitas sumberdaya manusia. "Kualitas sumberdaya manusia adalah masalah besar di Indonesia. Di Indonesia, orang-orang 'qualified' (ahli) sangat terbatas," kata suami akademisi perempuan kenamaan, Dr Ir Ratna Megawangi MSc itu.
Sofyan Djalil mengatakan, sejak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 yang mengawali era reformasi, Indonesia mengalami banyak kemajuan dengan reputasi internasional yang menguat, namun bangsa ini masih dihadapkan pada sejumlah "bottle neck" akibat relatif rendahnya mutu sumberdaya manusia dan kelembagaan.
Karena itu, keunggulan sumberdaya manusia lewat pendidikan yang membangun kreativitas anak didik serta pengiriman para pelajar untuk melanjutkan studi mereka hingga ke jenjang doktor di luar negeri, sangat penting bagi pembangunan masa depan bangsa, katanya.
Kepada para mahasiswa Indonesia yang kini melanjutkan studinya di luar negeri, termasuk Australia, ia meminta mereka belajar secara sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin memanfaatkan peluang studi yang ada dengan mengambil mata kuliah-mata kuliah di luar mata kuliah wajib dan elektif studi mereka. "Anda (mahasiswa Indonesia di luar negeri-red) adalah orang-orang terpilih karena tidak banyak warga Indonesia yang mendapat peluang ini," katanya.
Sofyan Djalil dan istri, Dr Ir Ratna Megawangi MSc, berada di Brisbane untuk mengunjungi anak mereka yang kuliah di UQ. Di sela kunjungan pribadinya itu, Sofyan Djalil memenuhi undangan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di UQ (UQISA), Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Queensland untuk bertatap muka dan berdialog dengan kalangan mahasiswa dan warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar