11 September 2009

Tantangan Bank Sentral dan Perbankan Nasional di Masa Depan

Jumat, 11 September 2009

Media Indonesia

Hasnil seorang TKI asal Pulau Alor kesulitan mengirim uang hasil jerih payahnya di Arab Saudi kepada keluarganya. Menurut Kapur dan McHale (2005), tenaga kerja seperti Hasnil inilah yang memiliki jiwa kewirausahaan dan keterampilan yang relatif tinggi ketimbang pekerja sejenis di Tanah Air. Sementara itu, globalisasi menuntut moda transportasi yang semakin lincah bergerak sehingga menyebabkan biaya transportasi juga semakin murah. Dengan semakin mobilnya pergerakan penduduk, pergerakan uang juga semakin meningkat melewati batas-batas wilayah negara.

Nilai jasa tenaga kerja yang bekerja di luar negaranya terus-menerus mengalami peningkatan hingga mencapai US$350 miliar dengan dukungan buruh migran sebanyak 200 juta per tahunnya. Jika angka ini dijumlahkan, akan mencapai lebih dari sepertiga produk domestik bruto dari negara penerima remitansi dan juga sepertiga dari arus uang eksternal.

Dalam kasus Indonesia, yang terdapat kurang lebih 8 juta tenaga kerja, maka diperlukan sistem pembayaran yang memadai lintas negara, regional, dan sektoral. Perlunya bank pembayaran di dalam negeri yang andal tidak diragukan lagi (Pesenti 2009)! Itu baru dari sisi pergerakan tenaga kerja. Dalam menunjang transaksi di pasar modal, transaksi dengan menggunakan ADRs (American Depository Receipts) juga menuntut keandalan sistem payment antarnegara. Ini berimplikasi pada pertanyaan yang lebih besar yaitu kesiapan sistem pembayaran nasional dalam mengakomodasi kebutuhan aktivitas perekonomian di dalam negeri itu sendiri. Jika selama ini perbankan dianggap bagus bila mampu memberikan jumlah kredit yang semakin besar, sebetulnya perbankan justru lebih dituntut untuk mampu mengakomodasi kebutuhan perekonomian akan sistem pembayaran yang efisien, reliable, dan transparan. Dapatlah dibayangkan betapa berisikonya jika seorang buruh migran Indonesia di luar negeri harus menitipkan uangnya kepada kawannya untuk dibawa pulang ke kampung. Risiko terjadinya uang yang hilang selama perjalanan sangatlah besar yang tentunya juga berisiko terhadap keselamatan si pembawa uang. Jika tidak ada kawan yang pulang kampung, ia harus menyimpan uangnya di bawah bantal atau di lembaga keuangan di luar negeri. Akibatnya, saving dan investment gap di dalam negeri mengalami kesenjangan yang semakin lebar karena umumnya tenaga kerja Indonesia yang keluar negeri mendapatkan modal awalnya melalui pinjaman karena biaya yang diperlukan juga relatif besar.

Sejauh mana seluruh sektor dalam perekonomian dapat merasakan manfaat yang terbaik dari jasa pembayaran perbankan menjadikan kasus ini menjadi tantangan bank sentral yang paling dominan di masa depan. Hingga saat ini belum ada institusi yang melakukan tugas untuk menguji apakah sistem pembayaran di dalam negeri sudah memuaskan seluruh sektor perekonomian. Kita memang memiliki Yayasan Lembaga Konsumen, namun kiprahnya belum mencapai konsumen dalam konteks sistem pembayaran. Masalah akan muncul bagi sektor-sektor ekonomi yang tidak mendapatkan pelayanan sistem pembayaran (Fleming 2009). Saving Investment gap yang tercipta pada sektor-sektor tersebut akan semakin besar, akibatnya cenderung terjadi over investment, namun dalam tingkat investasi yang sangat rendah. Strategi big push hanya akan efektif untuk mengatasi saving investment gap ini jika sistem pembayaran mampu mendukungnya secara optimal. Jika sistem pembayaran tidak mampu mendukungnya secara optimal, strategi ini sangat tergantung pada tingkat moneterisasi yang ada (Wang 2009). Artinya efek pengganda perekonomian tidak mampu bekerja maksimal. Secara moneter akan ditandai oleh rendahnya velocity of money. Pada gilirannya perekonomian akan terperangkap pada deflasi.

Pada negara yang sudah maju dengan sistem payment yang relatif modern juga berpotensi terperangkap dalam depresi akibat sistem pembayaran yang terganggu. Karena itu negara-negara maju sangat fokus pada upaya penyelamatan sistem payment ini. Hal ini dapat dilihat dari strategi Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menghadapi krisis ekonomi baru-baru ini yang berupaya menjaga sistem pembayaran at all costs (McAndrews 2009). Jepang memiliki status yang agak berbeda, dengan strategi big bank pada sistem keuangan untuk melancarkan kembali sistem payment-nya yang ternyata perekonomian Jepang terbukti terus terpuruk oleh depresi. Dalam perekonomian yang bersifat dual, seperti yang dikatakan oleh Booke, akan tercipta sektor informal yang semakin akut akibat lemahnya sistem payment.

Hernando De Soto memberikan solusi untuk menghidupkan nilai aset yang dianggap mati tersebut, namun solusi itu tidak akan jalan jika sistem pembayaran perekonomian tidak mampu mendukungnya. Kesalahan Hernando De Soto adalah mengasumsikan sudah adanya sistem payment yang optimum bagi sektor informal. Jika sektor informal mampu mengakses sistem payment secara efisien, produktivitas mereka juga akan meningkat yang bukannya tidak mungkin melebihi sektor formal. Setelah menguji pelayanan terhadap seluruh sektor, tugas kedua bank sentral yang penting adalah menjamin sistem pembayaran dalam melayani seluruh wilayah Republik Indonesia. Sekali lagi, ini lebih penting daripada sekadar masalah pemberian kredit kepada sektor riil. Bank Indonesia harus mampu menjamin seluruh daerah tertinggal dan daerah-daerah perbatasan di Indonesia menjadi bagian integral sistem pembayaran nasional. Tanpa adanya sistem pembayaran nasional, akan sangat sulit daerah-daerah ini mengembangkan potensi perekonomian mereka. Tidak ada transaksi ekonomi yang tidak membutuhkan sistem pembayaran. Akibatnya, tanpa sistem pembayaran yang optimal, daerah-daerah ini akan terperangkap oleh perekonomian yang subsisten atau barter. Yang lebih berbahaya adalah jika negara perbatasan mampu menyediakan sistem pembayaran yang lebih baik sehingga nilai tambah perekonomian disedot oleh negara tetangga. Perbankan nasional seperti Bank BCA yang memiliki skala ekonomis dalam jaringan automatic teller machine (ATM) sudah selayaknya diberi kesempatan untuk mengisi relung-relung kosong dalam sistem pembayaran di daerah tersebut.

ATM-ATM ini dapat dibangun di setiap kantor kepala desa, polsek, dan korem. Bank BRI yang katanya bank rakyat kecil belum mampu mengisi kekosongan ini karena sekarang memiliki orientasi memberikan kredit kepada investasi skala besar. Ketiga, Bank Indonesia juga harus menjamin bahwa sistem pembayaran dapat melayani semua sektor perekonomian dan seluruh wilayah Indonesia mampu melakukan pembayaran dalam nilai yang besar. Semakin besar nilai pembayaran yang dapat tercipta, semakin besar efek pengganda perekonomian yang dapat dihasilkan. Jika upaya ini berjalan lancar, ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur dapat dicegah. Dana bagi hasil yang diterima pemerintah daerah dapat lebih mudah terserap oleh daerah-daerah itu sendiri. Tanpa adanya dukungan sistem payment yang mampu bermain dengan transaksi besar, dana-dana itu justru akan kembali ke pemerintah pusat dalam bentuk surat utang negara atau SBI! Sistem pembayaran regional multikomoditas sudah selayaknya dibuat dan tidak harus Bank Indonesia yang menjadi pemiliknya. Tugas bank Indonesia hanyalah dalam memberikan arahan, standar, dan pengawasan. Jika Bank Indonesia mampu menjamin sistem payment ini secara efisien, jutaan Hasnil-Hasnil lainnya akan mampu menekan saving-investment gap. Jika ukuran payment yang dipakai, bank seperti BCA merupakan bank yang memiliki peran terbesar dalam menghidupi kegiatan usaha kecil dan menengah (Mehran 2009). Jika sistem bail out bank juga berdasarkan peran bank dalam sistem payment, model penyelamatan ala Bank Century juga tidak akan pernah terjadi (baca Sarkar 2009)!

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar