12 September 2009
Jakarta, CyberNews. Migrant CARE menilai pemerintahan SBY-JK telah menorehkan catatan yang sama sekali tidak mengesankan dalam hal perlindungan dan keberpihakan terhadap buruh migran selama 5 tahun menjalankan pemerintahan.
"Problematika buruh migran Indonesia di luar negeri yang sejatinya adalah bagian integral dari persoalan bangsa telah sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara statistik, belum pernah sekalipun masalah buruh migran Indonesia menunjukkan angka penurunan, tetapi sebaliknya terus meningkat," tegas Migrant CARE dalam siaran persnya, Sabtu (12/9).
Migrant CARE mencatat beberapa raport merah selama perjalanan pemerintahan SBY-JK dalam hal perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. Pertama , tulis Migrant CARE, pemerintah telah mempetieskan UU No 39/2004 tentang tentang perlindungan dan penempatan TKI yang dinilai cacat oleh banyak banyak pihak.
"Selama 2 tahun pertama menjabat sebagai presiden, tidak nampak ada skala prioritas dalam pemerintahan SBY untuk memperbaiki UU tersebut. Baru pada 27 Februari 2006, SBY menginstruksikan agar UU tersebut diamandemen," kata Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah.
Namun ironisnya, kata Anis, instruksi untuk mengamandemen tersebut tidak mengarah kepada perbaikan perlindungan tetapi UU tersebut harus diamandemen agar migrasi tenaga kerja ke luar negeri dipermudah. Instruksi tersebut tertuang dalam Inpres No 3 tahun 2006 tentang paket kebijakan perbaikan iklim investasi.
Dalam bab IV huruf b, Presiden SBY memandatkan Menakertras untuk mengajukan draft revisi terhadap UU tersebut kepada DPR dengan menghilangkan syarat PJTKI wajib memiliki unit pelatihan kerja untuk mendapatkan ijin atau SIUP. Permudahan
tersebut sebagai skema untuk memenuhi target pengiriman TKI satu juta per tahun demi mengejar devisa 169 Trilyun pada tahun 2009.
Raport merah kedua, terang Anis, pemerintah gagal membetuk kebijakan bilateral. "Pemerintahan SBY- JK gagal membentuk kebijakan bilateral yang protektif antara Indonesia dengan negara tujuan buruh migran Indonesia. Kebijakan bilateral ini merupakan kebutuhan mendesak sebagai jaminan pemenuhan HAM buruh migran Indonesia di berbagai negara tujuan. Salah satu contohnya adalah gagasan dan upaya untuk membentuk kebijakan bilateral antara Indonesia dengan Arab Saudi," kata Anis.
Selain itu, Migrant CARE menilai MoU RI-Malaysia tentang Domestic Workers telah melanggar HAM, dan tidak ada kemauan politik untuk meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. "Pemerintah juga tidak memprioritaskan agenda perlindungan terhadap PRT (domestik dan migran) dan justru mendiamkan sekaligus melanggengkan praktek eksploitasi dan pemerasan di Terminal TKI," klaim Migrant Care.
( MH Habib Shaleh / CN08 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar