DHONI SETIAWAN/KOMPAS.COM
20 September 2009
PAMEKASAN, KOMPAS.com - "Saya sangat senang karena tahun ini bisa berkumpul dengan anak dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tahun lalu saya berlebaran di tempat kerja di Kuala Lumpur Malaysia," demikian disampaikan Moh Mansur (29) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Dusun Pakong Laok, Desa Pakong, Kecamatan Pakong, Pamekasan, Jawa Timur, yang kini mudik lebaran ke kampung halamannya di Desa Pakong, sekitar 40 kilometer dari kota Pamekasan.
Ayah satu orang anak ini berangkat ke Malaysia menjadi TKI 10 tahun lalu. Bersama lima orang tetangganya, Mansur berangkat ke Malaysia melalui perantara seorang "tekong" yakni orang yang menjadi calo dalam pemberangkatan TKI.
Berbeda dengan sebagian TKI ilegal yang sering mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari majikannya, suami Nanik ini terbilang beruntung. Sebab selama 10 tahun bekerja di sana bayaran yang ia terima selalu lancar dan majikannya Lio Qion Lay, sangat baik dan perhatian kepadanya.
"Saya memang bisa dikatakan mujur. Majikan saya baik dan selama 10 tahun saya memang bekerja ke dia," tuturnya.
Akan tetapi, kata dia, selama 10 tahun itu tak selamanya Mansur bernasib mujur. Dua kali ia pernah dideportasi oleh pemerintah Malaysia. "Yang pertama, waktu ada pemutihan dari pemerintah Malaysia bersama ribuan TKI lain dan yang kedua karena dibuang oleh polisi," tuturnya.
Pada pemulangan yang pertama, sambung Mansur dirinya dijemput oleh Bupati Pamekasan ke Surabaya, yang waktu itu masih dijabat oleh Drs Dwiatmo Hadiyanto, sedang pada kasus pembuangan yang kedua, ia terpaksa minta bantuan "tekong-nya" karena seluruh uang yang ia bawa dirampas petugas imigrasi Malaysia.
"Waktu itu saya membawa uang Rp10 juta, tapi semuanya diambil petugas dan saya pulang ke Indonesia hanya dengan sehelai baju yang melekat di badan," tuturnya.
Namun, kejadian itu tidak membuat Moh Mansur kapok, enam bulan setelah pembuangan itu ia berangkat lagi ke Malaysia, dengan tujuan majikan semula, yakni Lio Qion Lay.
"Soalnya bayaran di sana lumayan tinggi. Kalau saya dapat 1.700 ringgit atau setara dengan Rp4 juta per bulan," katanya.
Layaknya pekerja asal Indonesia pada umumnya, di Malaysia Mansur menjadi pekerja kasar, yakni memasang WC. Kadang juga memperbaiki kerusakan bangunan toko dan mal dan pasar swalayan, milik majikannya.
Setiap menerima gaji dari majikannya itu, Mansur tidak lupa menyisihkan sejumlah uang untuk tabungan membuat rumah dan kebutuhan hidup anak dan istrinya. "Kadang saya mengirim Rp1 juta kadang kalau keluarga banyak kebutuhan hingga Rp2 juta. Sisanya untuk tabungan membuat rumah dan kebutuhan hidup saya di Malaysia," terang Mansur.
Kini kondisi keluarga Mansur sudah membaik. Rumah bangunan berukuran 7x9 meter yang kini dirinya bersama anaknya Putri (4) dan istrinya Nanik (25) juga merupakan hasil jerih payahnya bekerja sebagai TKI di Negeri Jiran.
"Saya akan tinggal di sini lama dan masih akan kembali ke Malaysia pada Februari 2010. Sebab waktu itu majikan saya akan melakukan perayaan di Malaysia," ucapnya.
Kiriman TKI
Mudik lebaran, sebagaimana dilakukan TKI asal Desa Pakong, Kecamatan Pakong, Pamekasan, Madura, Moh Mansur, itu hanya dilakukan sebagian kecil pengais ringggit di Malaysia. Kebanyakan para TKI tersebut memilih mengirim uang kepada keluarganya.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya pengiriman uang yang dilakukan para TKI di Malaysia melalui biro jasa pengiriman uang yang ada di Pamekasan. Salah satunya seperti kantor pos.
Mulai awal Ramadhan hingga sekarang ini kiriman uang dari para TKI asal Pamekasan yang ada di Malaysia mencapai Rp 4,7 miliar. "Jumlah ini tidak termasuk kiriman uang yang ada di kantor-kantor lain seperti bank dan pegadaian. Sebab di sana juga kan menyediakan jasa pengiriman uang TKI," kata Kepala Kantor Pos Pamekasan, Slamet Widodo.
Menurut data yang dirilis Bank Indonesia (BI) melalui Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) Pamekasan, transfer uang yang dilakukan para TKI asal Madura kepada keluarganya pernah mencapai Rp70,3 miliar, hanya dalam hitungan tiga bulan pada tahun 2007.
Rinciannya meliputi di wilayah Kabupaten Bangkalan sebesar Rp40,3 miliar, Sampang Rp513 juta, Pamekasan Rp20,7 miliar, dan Kabupaten Sumenep Rp8,8 miliar.
Jumlah uang yang diterima itu bukan hanya uang ringgit dari Malaysia, melainkan akumulasi dari total pembayaran dari sejumlah negara yakni Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Singapura, Amerika Serikat (AS), dan negara lainnya.
Negara yang banyak membantu pendapatan TKI berdasarkan hitungan angka untuk wilayah Jawa Timur meliputi, Arab Saudi (Rp 266 miliar), Malaysia (Rp 115 miliar), Taiwan (Rp 35 miliar), Hong Kong (Rp 25 miliar) dan Singapura (Rp 14 miliar).
Sementara devisa yang diperoleh para TKI dari Jatim, yakni mencapai Rp30 triliun dalam satu tahun, jauh lebih tinggi dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Jatim.
Menurut Moh. Jumhur Hidayat, meski devisi para TKI terhadap pemerintah Indonesia tinggi, akan tetapi selama ini pemerintah masih terkesan kurang perhatian terhadap nasib buruh migran asal Indonesia yang berkerja di luar negeri tersebut. Sebab jika pemerintah memberikan perhatian yang serius TKI tidak akan memilih jalur ilegal.
"Terus terang jalur legal melalui pemerintah itu pengurusannya rumit dan jauh lebih mahal. Makanya kebanyakan para TKI yang ada di Pamekasan lebih memilih jalur ilegal, seharusnya itu tidak terjadi," kata Jumhur Hidayat di Sampang, belum lama ini.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) Herman Priyanto menjelaskan, sebanyak 4.907 orang dari total 10.929 TKI asal Pamekasan yang bekerja di Malaysia memang tidak melalui jalur resmi atau ilegal.
"Umumnya para TKI ilegal ini kita ketahui setelah mereka dideportasi dari tempat kerjanya di Malaysia," kata Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertran) Pamekasan, Herman Priyanto.
Jumlah itu, merupakan hasil pendataan yang dilakukan Disnakertrans Pamekasan sejak tahun 2004. Rinciannya, pada tahun 2004 sebanyak 1.050 TKI, 2005 tercatat 387 TKI, tahun 2006 sebanyak 1.030 TKI, sedang pada tahun lalu 1.674 TKI dan pada tahun 2008 kini mencapai 766 TKI.
Sementara yang melalui jalur resmi atau yang terdaftar di Disnakertrans Pamekasan, hingga bulan September 2009 mencapai 6.022 TKI.
Menurut TKI Moh Mansur, dirinya memilik jalur ilegal dengan melalui pelantara tekong karena selain lebih cepat, biayanya juga jauh lebih murah.
"Saya hanya keluar biaya Rp4 juta, tapi menurut teman-teman yang melalui jalur resmi itu mencapai Rp12 juta," katanya. Moh. Jumhur Hidayat, menyatakan, TKI yang melakukan mudik pada Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriah ini sekitar 100.000 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.100 TKI berasal dari Jawa Timur.
Akan tetapi Kepala Bidang Pembinaan Hubungan Industrian dan Pengawasan Ketenagaan, Disosnakertrans Pamekasan Arief Jauhari mengaku, belum mengetahui jumlah pasti tentang TKI Pamekasan yang mudik lebaran.
"Kalau yang ilegal jelas kami tidak tahu. Akan tetapi kalu yang legal kami pasti tahu, akan tetapi hingga saat ini kami belum menerima informasi dari Pemprov Jatim," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar