Sabtu, 29 Agustus 2009 00:41
Persoalan klasik yang selalu dilakukan adalah anggaran dirancang pincang antara pemasukan dan pengeluaran. Bahkan sengaja dibuat defisit. Menariknya lagi, ada mafia proyek yang masuk di tengah jalan saat perencanaan telah dirampungkan Bappeda dengan beragam modus. Kalau demikian caranya, maka sampai kapan pun NTT tetap miskin. "Rakyat NTT akan tetap miskin hingga kapanpun meski ratusan triliun dialirkan ke NTT," kata Sarah Lery Mboeik.
Kupang-Aktualita-ntt. Menguak berbagai soal pelik di NTT masih berlanjut dalam diskusi pada sesi selanjutnya usai materi yang disampaikan Ade Cahyat, Senior Advisor GTZ. Pria berkaca mata ini menjelaskan materi tentang Outcome Based Management. Bagaimana sistem anggaran yang berbasis pada hasil. Bukan pada program, sebagaimana yang terjadi selama ini. Untuk mencapai sebuah sistem anggaran yang efektif efisien maka sebuah pemerintahan di daerah, sebagaimana NTT, harus mampu menghitung pembiayaan berdasarkan unit cos dan hasil yang akan dicapai. Panitia anggaran di setiap SKPD atau pun pada tingkat Bappeda tidak bisa seenaknya menyebut angka. Atau mengada-ngada hasil dan anggaran. Jumlah uang yang ada atau tersedia untuk sebuah program harus langsung disesuiakan dengan hasil apa yang mau dicapai.
Bahkan untuk setiap tahun, setiap desa harus diberitahu berapa uang yang akan dibelanjakan oleh pemerintah untuk desa tersebut. Kejujuran dan transparansi ini memudahkan warga desa membuat pilihan. Program kerja mana yang didahulukan sesuai jumlah dana yang dialokasikan oleh pemerintah. Sebab, semua perhitungan soal pemanfaatan dana harus langsung ditujukan pada hasil atau out come yang mau dicapai. Pencapaian itu pun harus melalui mekanisme efektif efisien. Berapa banyak hasil, dan biaya per unit cos harus dipertegas sejak awal penyusunan. Lalu disusunlah alur kerja yang berlandaskan sistem anggaran efektif efisien seuai hasil yang mau dicapai tersebut. Tugas tersebut sangat berat namun harus dilakukan karena hanya dengan cara itulah, keadaan bisa dirubah.
Jika merujuk pada PP 8 dan SE Mendageri 50/05, diketahui bahwa Visi dan Misi, Strategi Pembangunan Daerah, Isu Strategis, Stragtegi Pembangunan, Arah Kebijakan Keuangan Daerah, Pendapatan, Belanja, KUA APBD, Arah Kebijakan Umum, Program Pembangunan Daerah, dan Rencana Kerja dibuat tidak konsiten atau tidak taat asas dan jauh dari tujuan atau hasil yang mau dicapai dari sebuah pola penyusunan anggaran daerah. "NTT ini mau dibawah kemana?" gugat seorang peserta.
Menurutnya, ada fakta yang juga mengatakan bahwa NTT masih saja mengulang masalah klasik dari tahun ke tahun yaitu anggaran yang selalu dibuat pincang antara pemasukan dan pengeluaran atau sengaja dibuat defisit.
Hal ini diperkuat oleh bocoran yang disampaikan seorang PNS yang selama ini terlibat dalam penyusunan anggaran di tingkat propinsi NTT. Menurutnya, meski dilakukan Musrenbang hingga ke desa-desa, namun semuanya itu hanya fromalitas belaka yang hanya menghabis anggaran daerah. Sebab, untuk tingkat propinsi saja, dokumen Musrenbang setebal bantal itu hanya sampai pada meja kerja panitia anggaran. Setelah itu yang dilakukan adalah sistem SMS untuk memasukan mata anggaran yang sesuai dengan pesanan orang-orang kuat. Baik itu pejabat tinggi, anak pejabat, tim sukses, kontraktor yang siap memberikan fee proyek, hingga anggota DPRD yang ingin menjawab tuntutan konstituennya yang telah ia janjikan saat Pilkada. Ruang ini menajdi ajang bargaining kepentingan antar elit di lingkaran kekuasaan untuk mendapat dan membagi-bagi kue anggaran APBD.
Anehnya lagi, jika anggaran telah selesai disusun dan dibawah ke DPRD untuk dibahas, maka catatan-catatan dari DPRD kadang dirubah dengan cara diprint halaman yang baru untuk mengganti halaman yang terkena coretan. Dengan cara ini kadang terjadi manipulasi dan perubahan senak perut sesuai pesananan yang diatas atau pihak ke tiga. Itu biasanya dilakukan secara diam-diam dan rapih oleh tim anggaran pemerintah. Jika DPRD tidak jeli membolak balik laporan keuangan yang tebalnya saja sudah membuat pusing, maka dengan sendirinya anggaran tersebut lolos dan disahkan. Apalagi jika sudah ada main mata dengan pimpinan panitia anggaran DPRD. Mau apa lagi?
Karena itu, Ricard Wawo dari Parlemen NTT mengusulkan agar ke depannya nanti, sebagaimana yang pernah dilakukannya dalam diskusi dengan anggota DPRD sebelumnya, agar setiap lembar RAPBD, diparaf oleh ketua panitia anggaran DPRD, sehingga tidak bisa dirubah seenaknya oleh pemerintah dalam hal ini Biro Keuangan dan Biro Ekonomi. Karena pada titik krusial ketika pembahasan di DPRD sedang alot dan diminta perbaikan, maka sistem baypas sudah jalan. Bappeda tidak lagi dilibatkan dalam perbaikan isi RAPBD sebagaimana yang diminta DPRD. Ini salah satu titik paling rawan dalam penyusunan APBD di NTT.
Ketika kembali dari konsultasi dengan tim anggaran DPRD, dan pekerjaan selanjutnya diambil alih oleh pihak Biro Keuangan, sehingga Bapedda sama sekali tidak dilibatkan lagi dalam pemeriksaan materi perbaikan yang diusulkan DPRD. Maka manipulasi menjadi kuat disana. Tak heran jika banyak nomenkaltur anggaran dirobah seenaknya sesuai kepentingan proyek, bahkan dimasukan lagi proyek baru seusuai pesanan pihak ke tiga yang masuk belakangan. Itu modusnya tetap melalui SMS atau baypas di tengah jalan, dengan mendatangi rumah para pejabat anggaran. Intinya sebelum dibawah kembali ke DPRD untuk disahkan, mata anggaran itu sudah masuk.
Nah, hal-hal ini bukan lagi rahasia di NTT. Tak heran jika banyak pejabat yang bisa hidup mewah dengan pendapatan di luar logika pendapatan normal seorang PNS atau pejabat setingkat DPRD. Semuanya karena fee atau hasil suap yang diterima diluar pendapatannya.
Di NTT, mafia proyek yang masuk di tengah jalan saat perencanaan telah diselesaikan oleh Bappeda, bukan lagi rahasia. Hal ini terjadi melalui beberapa modus, baik itu melalui tim anggaran pemerintah atau pun DPRD. "Mereka sering bernegosiasi via SMS untuk meloloskan berbagai proyek yang dipesan pihak ketiga atau sponsor. Kadang uang suap telah disiapkan dalam bentuk cash dan langsung diserahkan saat negosiasi sebelum proyek dikerjakan. Baik di rumah, di tempat makan, atau di Jakarta supaya aman," sebut sumber kuat Aktualita di sela-sela diskusi.
Modus sungguh gila ini memang sulit dilacak. Tetapi, kasat mata bisa dilihat dari proyek yang dimenangkan pihak tertentu. Tak heran jika ada pekerjaan yang dikerjakan oleh kontraktor keluarga pejabat. Fakta yang juga membelalakan mata adalah, untuk NTT, ketika tahun proyek mulai didepan mata, maka Adik atau kakak kandung pejabat serta kroni-kroninya mulai bermain kapling-kaplingan. Dinas A untuk si A dan dinas B untuk si B. Kadisnya pun distel untuk menyusun anggaran dan program yang sesuai dengan kemauan si oknum. Kontraktor pelaksannya pun telah disiapkan. Uang cas untuk sang kadis atau panitia proyek juga sudah ada. Tak heran, saat turun takta, banyak pejabatan kelimpahan uang. "Meski nanti habis juga untuk biaya kesehatan dan pengeluaran yang tidak diduga karena itu uang panas," tandas seorang peserta perempuan.
Itu memang aneh tapi nyata. Sebuah fakta yang benar-benar masih marak dilakukan di daerah miskin ini. Dan fakta-fakta ini menurut para peserta diskusi, menjadi penyebab utama mengapa NTT ini tetap miskin meski triliuanan rupiah disalurkan ke NTT tiap tahun. Uang sebanyak itu di awal tahun anggaran, hanya akan pindah rekening seblum menajadi uang nominal di tangan masyarakat. Ekonomi tidak berputar secara seimabng karena perputaran uang hanya memlalui Bank ke Bank lalu terus menguap enath kemana. Sesuai kemauan si pemilik uang.
Lalu siapa yang harus dipersalahkan? Tanya saja pada rumput-rumput yang bergoyang...! "Yang pasti rakyat NTT akan tetap miskin hingga kapanpun meski ratusan triliun dialirkan ke NTT," tandas Lery Mboeik, salah seorang peserta diskusi.
Di titik ini, menurut para pemateri, salah satu pihak yang yang harus dipersalahkan adalah masyrakat NTT itu sendiri. Masyarakat seharusnya tampil sebagai pengontrol yang aktif terhadap berbagai program pemerintah terutama pola penyusunan anggaran. Sebagai kekuatan terbesar dalam sebuah pemerintahan yang berdaulat kepada rakyat, peran masyarakat sipil sangat dibutuhkan. "Ketika masyarakat tidak melakukan kontrol, maka masyarakat itu sendiri sedang melakukan pelanggaran HAM," tegas seorang mantan staff Bappeda NTT.
Usul yang sama disampiakan pemateri lainnya, Ir. Sarah Leri Mboeik. Agar masyarakat sipil tidak termasuk dalam orang yang melakukan kejahatan terhadap anggaran publik sehingga memiskinkan rakyat NTT, sebaiknya masyarakat sipil bertanggungjawab mengontrol perencanaan hingga penggunaan anggaran public tersebut.
Direktris Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR) NTT ini mengatakn, selama ini ketika berbicara soal anggaran publik, dan issu anti kemiskinan serta korupsi, masih dianggap domain aktivis, bahkan lebih khusus identik dengan PIAR NTT. Hal ini salah dan tidak boleh dipelihara. Sekarang sudah saatnya semua bangkit dan sadar mengontrol penyusunan anggaran publik dan penggunaannya.
Sebab, anggaran publik, kemiskinan dan anti korupsi adalah masalah seluruh masyarakat NTT. Menurut penerima Yap Thian Him Award ini, yang naif adalah isu-isu korupsi sering menjadi komoditi politik, bahkan media massa pun terfragmentasi dalam menulis kasus-kasus korupsi. "Media kadang terkesan tebang pilih. Jika yang terkena kasus adalah orangnya sendiri, maka wartawan yang berafiliasi dengan pejabat yang bersangkutan tidak akan menulis berita itu," sesal Lery.
Menurut Lery, ukuran keberhasilan Advokasi kasus-kasus korupsi jangan diukur dengan jumlah tersangka yang berhasil dijebloskan ke pengadilan. "Kita mengetahui sitem hukum kita, budaya hukum penegak hukum kita. Tersangka kasus-kasus korupsi justru dijadikan lahan pemerasan, alias 'ATM' bagi aparat," katanya seraya menambahkan PIAR NTT mempunyai data lengkap soal perkembangan Advokasi kasus korupsi di NTT yang biasanya diterbitkan dalam catatan akhir tahun PIAR.
Pada kesempatan tersebut Lery menjelaskan sistim politik anggaran kita, dari dimensi filosofi, belum mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, dimensi yuridis APBN, APBD tidak taat asas (inkonsisten) dengan amanah konstitusi Negara (UUD 1945 pa 28c dan 28d, dan 28h, pa31 ayat 4).
Untuk menjawab persoalan rakyat NTT yang masih berkutat dengan buruknya sistem penyusunan anggaran dan pelaksanaannya yang jauh dari mainstream utama pola pengggaran yang baik, pemateri Ady menawarkan solusi untuk melakukan kontorl publik terhadap anggaran sejak awal penyusunan hingga pelaksanaannya. Semuanya perlu dirubah. Dan perubahan itu menggunakan metode yang terukur dan teruji.
Jika dahulu pola anggaran awalnya berorientasi program/kegiatan maka harus berubah menjadi berorientasi hasil. Jika awalnya masyarakat mengusulkan program/kegiatan atau keluaran, maka harus dirubah menajdi masyarakat yang mengusulkan sasaran (hasil: outcome). Jika awalnya monitoring dilakukan untuk menjawab pertanyaan: apakah kegiatan sudah dilakukan? Harus dirubah menjadi monitoring dilakukan untuk menjawab pertanyaan: apakah hasil sudah dicapai dengan menghabiskan berapa rupiah? Jika awalnya laporan kegiatan dan keluaran berupa laporan tentang (hasil fisik), maka harus dirubah menjadi laporan hasil sasaran (outcome), baik fisik maupun non fisik.
Adapun yang dimaksudkan sebagai sasaran adalah: akibat, dampak, hasil atau konsekuensi yang diterima masyarakat/pelanggan atas pelayanan yang diberikan oleh SKPD. Dalam tingkatan hasil, sasaran sama dengan outcome.
Begitupun dengan pelayanan/program. Pelayanan adalah kegiatan-kegiatan dan/atau barang yang diberikan SKPD kepada pihak luar (masyarakat/pelanggan) dalam rangka mencapai sasaran. Sedangkan alat ukur yang disebut indikator kinerja sasaran adalah: data atau informasi yang dapat memberitahukan pencapaian sasaran (efektifitas) dan sumberdaya yang digunakan (efisiensi). Sedangkan keluaran itu sendiri berarti: hasil langsung yang didapatkan dari kegiatan SKPD dalam satu pelayanan/program. Kegiatan sendiri diartikan sebagai: aktifitas yang dilakukan SKPD dalam rangka melaksanakan pelayanan/program tersebut.
Menurut Ady, peran masyarakat sipil dapat difokuskan pada perencanaan dan penganggaran, monitoring evaluasi dan pelaporan. Untuk perencanaan dan penganggaran, dapat dilakukan dalam bentuk rumuskan hasil (outcome) dan indikator kinerja untuk dimasukan dalam RPJMD dan Renstra-SKPD. Lalu menghitung unit cost lewat ASB. Dan menemukan dan mempromosikan benchmark efektifitas dan efisiensi. Serta monitoring: yaitu memeriksa pencapaian hasil (efektifitas) dan sumberdaya yang digunakan oleh pemda, apakah efisiensi. Serta mencek laporan apakah kualitas dan akurasi laporan pemda memang benar.
Untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa indikator, yaitu, indikator efektifitas (termasuk efektifitas biaya), serta indikator efisiensi (efisiensi biaya dan produktifitas) penganggaran. Semua itu dijelaskan secara lebih lengkap, yaitu kriteria indikator kinerja terdiri dari: relevan. Relevan berarti sejalan dengan kepentingan dan tuntutan stakeholder dan warga masyarakat, sejalan dengan HASIL SKPD. Serta Tepat Guna yaitu sejalan dengan indikator-indikator yang digunakan oleh instansi sejenis yang telah ditetapkan di tingkat pemerintahan lainnya termasuk tingkat nasional (seperti SPM dan PP 6/08), serta cukup menjelaskan kinerja, yaitu dapat diukur (secara kuantitatif atau kualitatif), bebas dari bias, serta dapat diverifikasi.
Hasil-hasil tersebut harus mampu memberikan informasi soal tingkat ketercapaian hasil, dan/atau tingkat ketercapaian kebutuhan pelanggan dari pelayanan yang diberikan, dan/atau tingkat keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan. +++ mikhael bataona, joz diaz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar