Pasar tradisional semakin hari kian tergusur pasar modern. Aturan yang mengatur jarak kedua pasar itu sama sekali tak bergigi. Laporan khusus kali ini menyoroti nasib pasar tradisional.
JAKARTA – Kampanye calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah dimulai. Masing-masing capres dan cawapres pun berlomba menarik perhatian agar dipilih pada pemilihan umum presiden (pilpres) 8 Juli 2009 mendatang. Dan, salah satu sasaran tebar pesona mereka adalah pasar tradisional. Mereka pun berlomba untuk berdialog dengan para pedagang.
Di tengah polemik hangat soal kontroversi ideologi neoliberal, capres dan cawapres itu giat berkunjung ke pasar tradisional. Bisa ditebak kemudian, para capres dan cawapres ini mencoba memperlihatkan kepada publik bahwa mereka pro pasar.
Sebut saja capres Jusuf Kalla yang beberapa kali berkunjung ke pasar. Salah satunya mengunjungi Pasar Induk Caringan, Bandung, pada Jumat (22/5). Kalla berdialog dengan sejumlah pedagang, mempertanyakan soal kelancaran distribusi sayur dan buah di Bandung.
Seakan tidak mau ketinggalan, pada Minggu (24/5), capres dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, juga berkunjung ke pasar. Dalam kunjungan kerjanya ke Bali, Yudhoyono menyempatkan diri bertandang ke Pasar Seni Sukawati, Gianyar. Selain bersalaman dan berdialog dengan pedagang, Yudhoyono pun memborong sejumlah barang dagangan, seperti tudung saji, patung kijang, kipas, hingga lukisan pemandangan alam Bali.
Capres dari PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun tak mau kalah. Dia pada Senin (25/5) mengunjungi Pasar Blok A, Jakarta Selatan. Tepat pukul 10.00 WIB, rombongan Megawati tiba di Pasar Blok A, Jakarta Selatan. Megawati yang mengenakan baju merah muda langsung disambut pedagang pasar.
Menurut ekonom Didik J Rachbini, kunjungan para calon presiden ke pasar itu memang wajar-wajar saja dilakukan. Sebab, jumlah pedagang tradisional memang sangat banyak. "Dari total seluruh pedagang, sekitar dua per tiga adalah pedagang tradisional," ujarnya.
Namun, sebenarnya persoalan pedagang tradisional–lepas dari persolan neolib dan ekonomi kerakyatan–sudah pada tempat untuk mendapat perhatian serius. Betapa tidak, sejak menjamurnya pasar modern–entah itu Carrefour, Alfamart, Indomaret, atau apa pun namanya pasar modern itu, nasib pedagang pasar tradisional ibarat telur di ujung tanduk. Ambil contoh di Jakarta saja. Dari 105.144 tempat usaha pasar tradisional, hanya sekitar 91.775 unit yang aktif alias beroperasi melayani pelanggan. Sisanya, 13.369 unit, tidak aktif atau kosong. Selain itu, penyewa tempat usaha besar yang tutup di pasar tradisional mencapai luas 18.788,54 meter persegi (m2).
Salah satu pasar tradisional di Jakarta yang kini benar-benar mati adalah Pasar Sindang, Koja, Jakarta Utara. Pasar yang diresmikan semasa Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto itu kini benar-benar mati total. Pasar berlantai tiga yang berdiri sejak tahun 1989 dan dikelola PD Pasar Jaya itu kini ditinggal pembelinya. Di lantai dua dan tiga kosong melompong. Malah, kini di kedua lantai pasar tersebut sering dijadikan lokasi perjudian warga sekitar pasar.
Contoh lainnya adalah Pasar Pagi Cilincing juga di wilayah Jakarta Utara. Pasar yang berdiri sejak tahun 1990-an itu dulu dikenal sebagai pasar utama di daerah tersebut karena memasok kebutuhan pokok masyarakat setempat. Tetapi, kini pasar tersebut tutup karena Alfamart dan Indomaret telah menyerbu daerah tersebut.
Pasar Blora masih beruntung. Meski telah mati sebagai pasar tradasional, pasar tersebut kini berubah menjadi indekosan bagi sejumlah pendatang yang mengadu nasib di Ibu Kota Jakarta. Sebagian besar penyewa kos-kosan di lokasi Pasar Blora itu adalah para perempuan yang bekerja di daerah hiburan malam Blora.
Tidak Tegas
Diakui atau tidak, matinya pasar tradisional di Jakarta (juga di wilayah Botabek) lainnya, antara lain karena makin menjamurnya pasar modern tersebut. Kondisi itu diperburuk lagi dengan tidak adanya payung hukum untuk membatasi maraknya pasar modern tersebut sepanjang lokasi itu dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) merupakan lokasi jasa dan perdagangan. Selain itu, tidak ada peraturan daerah (perda) yang mengatur hal itu, kecuali Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta dan ketentuan Pasal 4 Ayat 1 Huruf b Perpres No 112 Tahun 2007 tentang Jarak Pendirian Hipermarket, Toko Modern, dan Pusat Perbelanjaan dengan Pasar Tradisional. Dalam aturan itu, jelas bahwa lokasi pasar modern tidak boleh sampai 2,5 kilometer dari pasar tradisional. Hanya persoalannya, bagaimana dengan apartemen atau gedung jangkung yang kemudian menjual space lokasinya bagi pengelola pasar modern.
Menyikapi hal itu, Sekretaris Komisi B DPRD Jakarta Nurmansjah Lubis mengatakan, permasalahan ini merupakan masalah klasik di mana Pemda Jakarta tidak tegas menjalankan Perda No 2/2002 tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta. "Padahal, aturan soal jarak itu sudah jelas tertera di perda tersebut," katanya.
Nurmansjah mengatakan, bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia, Prancis, dan Australia, hipermarket seperti Carrefour sangat sulit ditemukan di tengah kota karena mengganggu stabilitas pedagang kecil dan menengah. Di sana, mereka punya aturan yang jelas untuk mengatur keberadaan pasar modern tersebut. Karena itu, kuncinya kini berada di tangan Pemda: mau tegakkan perda atau tidak?
Atau memang Pemda Jakarta (juga pemerintah daerah di Botabek) sudah terbuai dengan pajak yang mengalir ke pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga nasib pedagang tradisional terus terjepit dan akhirnya tenggelam ditelan bumi.
Jadi, jika kini para capres dan cawapres sedang berlomba mendekati pedagang pasar tradisional, ya, semoga itu tidak hanya tebar pesona yang setelah itu dibiarkan digusur dengan merebaknya pasar modern. (norman meoko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar