Minggu, 28 Juni 2009
TEMPO Interaktif, Jakarta - Tim advokasi Ratifikasi Konvensi Migran 1990 meminta pemerintah membenahi sistem perlindungan buruh migran Indonesia. Permintaan ini merupakan tindak lanjut dari penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia, terutama ke Malaysia."Selain membenahi sistem perlindungan BMI (buruh migran Indonesia), pemerintah juga harus membuka lapangan kerja baru dan cegah PHK," kata Resta Hutabarat dalam pers rilis Moratorium Pengiriman Menghalangi Buruh Migran Indonesia untuk Menggunakan Haknya untuk Bekerja, Kamis (25/6).
Mereka juga meminta pemerintah meratifikasi perlindungan hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Perlindungan hak itu dimulai sejak masa persiapan pemberangkatan, transit, selama tinggal di negara tujuan, pembayaran gaji, hingga saat kembali ke Indonesia.
"Kami juga meminta pemerintah menggunakan instrumen hak asasi manusia pada tingkat ASEAN, terutama bagi pekerja Indonesia di Malaysia," kata dia.
Namun bila tuntutan itu tidak terpenuhi, maka tim advokasi tersebut menolak penghentian sementara pengiriman tenaga kerja ke Malaysia. "Kami menolak moratorium pengiriman BMI ke Malaysia karena melanggar hak kerja warga negara," ujar dia.
Menurut data tim advokasi, saat ini terdapat 6 juta TKI di luar negeri. Untuk 2008 saja, jumlah TKI mencapai 900 ribuan dan sekitar 125 ribu pekerja ada di Malaysia. Dan diperkirakan 60 persen pekerja di Malaysia merupakan pembantu rumah tangga, buruh perkebunan, dan konstruksi.
"Jumlah pekerja Indonesia di Malaysia sebenarnya lebih banyak dari yang di data, karena mereka bekerja tanpa dokumen resmi dan tidak melapor ke pemerintah," tambah dia.
CORNILA DESYANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar