28 Juni 2009

GIZI BURUK, 112 BALITA TEWAS

Sabtu, 30 Mei 2009
BKKBN.com

Dalam Rentang Waktu tiga Tahun Terakhir
Ribuan balita di NTB terkapar tak berdaya karena mengidap apa yang diistilahkan pemeritah sebagai gizi buruk. Atau yang diistilahkan dunia kedokteran sebagai marasmus dan marasmus kwarsiorkor. Masyarakat awam sendiri mengenal dengan sebutan busung lapar atau dengan bahasa yang lebih ekstrim,"kelaparan".

Berdasarkan data dinas kesehatan NTB, dari Januari hingga April tahun ini baru tercatat 179 kasus gizi buruk. Tahun lalu tercatat "hanya" 1.207 kasus. Itu data yang dihimoun dari berbagai puskesmas se NTB. Data realnya tidak ada yang bisa memastikan.

"Yang jelas, kasus gizi buruk ini seperti fenomena gunung es. Yang terlihat hanya ujungnya saja yang kecil, sedangkan di bawah permukaan yang tidak terlihat, jumlahnya berkali-kali lipat," kata anggota DPRD NTB L Abdul Hadi Faishal.
Pernyataan Hadi Faishal ada benarnya. Apalagi melihat pendataan yang dilakukan Dikes tidak sempurna 100 persen. Sehingga gambaran data kasus gizi buruk yang ditemukan belum bisa menggambarkan kondisi pasti gizi buruk di NTB.

Lihat saaja tahun 2001 lalu tercatat sebanyak 5.156 kasus gizi buruk. Selama tiga tahun kemudian, angka balita penderita gizi buruk terus menurun secara signifikan hingga hanya 1.544 kasus saja yang ditemukan di tahun 2004.Jumlah kematian akibat gizi buruk juga sangat rendah,yaitu hanya lima penderita.

Seiring dengan Blow upnya kasus gizi buruk oleh media pada tahun 2005 lalu,tiba-tiba saja kasus gizi buruk yang ditemukan di NTB meningkat berkali-kali lipat.Pada ahir tahun 2005 tercatat sebanyak 3,950 kasus gizi buruk ditemukan,40 diantaranya berujung pada kematian.

Secara tidak lansung,hal ini menujukan pendataan yang dilakukan tidak bisa menggambarkan kondisi kasus gizi buruk yang sebenarnya di masyarakat,tandasnya.
Kadikes NYB pada saat itu (tahun 2005,red) dr Maghdalena mengakui melonjaknya angka kasus gizi buruk yang ditemukan di NTB karena gencarnya pendataan yang dilakukan.Blowup di media massa menggugah kesadaran masyarakat utuk melaporkan warganya yang mengidap kasus gizi buruk.Data tahun 2005nini diakui Pemprov NTB mendekati kondisi real dilapangan.

Mungkin sja kenerja Pemerintah,dalam hal penanganan kasus gizi buruk ini,masih tergatung sorotan media dan masyarakat.Ketika sorotan media terhadap kasus giziz buruk mulai meredup,temuan kasus gizi buruk selanjutnya terus menurun.Tahun 2006,jumlah penderita gizi buruk yang ditemukan tercatat sebanyak 2.650kasus.Tahun 2007jumlah balita penderita gizi buruk turun lagi menjadi 1.667 orang.Tahun 2008 pun demikian pula,angka penderita gizi buruk menurun menjadi 1207.Hingga akhir Apriltahun ini,angka pederitan gizi buruk di NTB tercatat baru 179 kasus.Kalau tren temuan kasus gizi buruk stabil,hingga ahir tahun dipridiksikan kasus gizi buruk di NTB tidak bisa mencapai 600 kasus saja.

Apakah hal ini menujukan keberhasilan penanganan kasus gizi buruk yang telah dilakuka pemerintah ? Mungkin saja pemerintah telah benar-benar berhasil menekan jumlah penderita kasus gizi buruk.Kepala Dinas Kesehatan NTB Dr H.Moh.Ismail mengukapkan,selama ini penanganan kasus gizi buruk yang dilakukan jajarannya telah banyak membuahkan hasil positif. Tahun ini bahklan diharapkan kasus gizi buruk di NTB bisa dibawah 1000 kasus.

Dikes sendiri menerapkan tiga program utama penangannan gizi buruk awalnya dengan program survelen aktif yang merupakan upaya diteksi dini kasus gizi buruk di masyarakat. Balita terkena kasusu gizi buruk selanjutnya akan mengikuti therapi fendding centre di sejumlah puskesmas central yang ditunjuk.
Program lainnya adalah sms gateaway, dimana masyarakat bisa melaporkan kasus giZi buruk di daerahnya kepada puskesmas melalui sms.selanjutnya petugas akan langsung menanganinya, tambah ismail.

Disamping itu, ismail mengungkapkan, proghram revitalisasi posyandu juga diakui telah memberi konstribusi dalam menekan angka gizi buruk pada balita karenanya, kedepan pihaknya akan terus berupaya ameningkatkan peran posyandu sebagai ujung tombak penanganan balita gizi buruk

Program lainnya dalam menangani gizi burul adalah sosialisasi inisiasi menyusui dini. Inisisasi menyusui dini dilakukan dengan cara membiarkan bayi yang baru lahir untuk menyusu sendiri. Bayi tersebut diletakkan diatas perut ibunya selama 50 menit sampai 1 jam sampai si bayi menemukan puting susu ibunya.

Adanya kontak kulit langsung antara ibu dan bayi sekyurangnya satu jam, lanjutnya dapat, dapat menekan 22 persen kemungkinan kematian bayi. Semnetara, menyusu pada hari opertama., da[pat menyelamatkan bayi dari kemungkinan kematian hingga 16 persen. "Artinya dengan cara ini dapat menghindari kemengkinan kematian bayi, sekaligus memberi asupan gizi yang cukup kepada bayi tersebut" terangnya. Masyrakat tentunya berharap program yang disebutkan Kadikes ini terlaksana hingga di tingkat lapangan. Jika tidak, kasus gizi buruk tetap menjasdi momok menakutkan bagi balita-balita didaerah ini.

Harus diakui program penagnan gizi buruk yang dilakukan pemerintah telah membari kontribusi positif dalam menangani kasus gizi buruk. Namun, jika program yang dilakukan dapat lebih terarah dan tepat sasaran serta melibatkan semua unsur terkait, tingkat pencapaiannya akan lebih baik. Kenyataanya, sejumlah program penanganan gizi buruk pelaksanaannya terkesan masih setengah-tengah. Sebagai contoh, tahun 2005 lalu Gubernur NTB saat itu HL Serinata sempat membentuk Tim Operasi Sadar Gizi (TOSG) yang bertugas mengatasi kasus gizi buruk per wilayah. TOSG ini terdiri dari seluruh dinas instansi, bahkan institusi diluar Pemprov seperti PKK, TNI, Polri, dan instansi vertikal turut telibat. Instansi – instansi tersebut diberikan daerah garapan sendiri dan bertanggung jawab terhadap penganan gizi buruk didaerah tersebut. Sayang kerja tim ini terkesan panas-panas tahiayam. Cepat dan tangghap diawal, namun melempem diakhirnya. Praktis tim ini hanya efektif bekerja kurang ari setahun. Pada tahun 2006, kerja tim ini nyaris tidak terdengar lagi, meski sebagian diakui masih terus bekerja. " Ada sejumlah instansi yang tetap aktif menagani giZI burul samapai dekarang, meski yang jalan tidak seaktif dulu,"kata Kasi Gizi Masyarakat Bidang Binkemas Dikes NTB Taufik Hari Suryanto saat ditemui beberapa waktu lalu.
Tidak hanya kerja penaganan yang kadang setengah – setengah. Persoalan dana juga kerap menjadi masalah. Pada tahun ini saja, peraktis Pemprov maupun pemerintah kabupaten/kota hanya mengandalkan dana APBD untuk penanganan gizi buruk. Dana APBN, bahkan untuk dikes se Indonesia hingga ssat ini belum juga turun. Apalagi dana untuk penanganan gizi buruk yang dialokasikan sepenuhnya di dikes. " Jadi penanganan kasu gizi buruk sementara ini kita talangin dulu dari anggaran yang lain, " ungkap taufiq.

Bermiliar – miliar dana penangan gizi buruk juga kadang penyalurannya tidak tepat sasaran. Bahkan bukan tidak mungkin separuh bagiannya diselewengkan. Lihat saja contoh kasus penyelewengan dana penanganan gizi buruk di praya lombok tengah. Terdakwa kasus ini, yaitu Dr. HL. Sekarningrat (Mantan Kepala Dinas Kesehatan Loteng) dan mantan pimpro penanggulangan gizi buruk, Dr. Wayan Sudarma, divonis masing – masing selama 1 tahun. Atas putusan itu, terpidana menyerahkan banding.
Berbaghai masalah ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah dan stake holder terkait. Sebab penaganan gizi buruk sangat penting, menginat yang diserang adalah genarasi masa depan bangsa. Jika dibiarkan maka generasi penderita gizi buruk ini nanatinya juztru akan terus menjadai beban bagi daerah.

Penyebab Gizi Buruk
Gizi buruk, busung lapar, gizi kurang dan sejumlah sebutan lainnya bukan sekedar kurangnya makan saja. Namun banyak faktor yang menjadi penyebabnya, yang selama ini cenderung dibebankan pada dinas kesehatan (Dikes) saja. Ketika ada kasus ini mencuat, sudah pasti Dikes harus siap mmenerima cercaan padahal munculnya kasus gizi buruk merupakan akibat dari beberapa kondisi. " Kalau saya baca dikoran, pasien yang masuk RS karena gizi buruk ternyata karena terkena infeksi . ada yang TBC, diare, " Kata Ketua jurusan gizi buruk. Selain itu, ada faktor lainnya yakni asupan makanan (Intake) dan pola asuh dalam keluarga. Mana faktor yang lebih dominan dari ketiga ini, sulitr untuk mengambil kesimpulan buru – buru, sebab ketiganya metrupakan salah mata rantai yang tak terputus. Selain itu, diluar ketiga faktor ini banyak faktor sosial lainnya yang turut mempengaruhi. Sebut saja faktor pola asuh. Dituturkan irianto, dalam beberapa penelitian yang dilakukan selama ini, faktor pola asuh keluarga menyumbang terbesar kasus gizi buruk. Dan dalam pola asuh ini banyak ditemukan penderita gizi buruk ini tidak tinggak bersama orang tua kandung mereka. Dititip di kakek, nenek, atau anggota keluarga yang lain. "Tentu beda kasih sayang dengan orang tua kandung, " Kata jebolan S2 UGM ini. Kasus seperti ini, kata Irianto, merupakan kompleksitas masalah sosial. Sebut saja misalnya kasus pisahnya orang tua karena perceraian atau orang tua yang merantau keluarg negeri, sehingga sang anak tak terurus. " inilah menjadi tugas bersama bagaimana menanggulangi masalah sosial ini. Angka perceraian dan orangtua yang merantau keluar negeri, inikan masalah ekonomi, dan siapa yang paling bertanggung jawab disini ?, " ujarnya
Pendidikan masyarakat juga turut berperan. Selama ini bisa jadi sang anak diberikan makanan yang cukup, namun karena faktor ketidaktahuan tentang gizi akhirnya sang anak terkena gizi kurangatau bahkan gizi buruk. " Misalkan saja saat mencuci beras, kalau belum jernih betul tidak selesai dicuci. Padahal banyak kandungan gizinya yang hilang. Atau ketika memasak bayam samapi lembek sekali, ini kan hilang zat gizinya yang penting. Itulah perlunya pengetahuan gizi bagi masyarakat," katanya.
Patoka untuk menilai status gizi seseorangada tiga kriteria yang ada, sesaui dengan SK Menkes Nomor 920 tahun 2002. Kriteria pertama adalah dengan mengukur berat badan atau umur. Untuk kriteria ini, nantinya akan keluar kategori seorang itu gizi normal, gizi kurang, gizi buruk. Kriteria lainnya dengan mengukur BB/ Tinggi Badan (TB)
Disini akan memunculkan sebuitan anak kurus, kurus sekali, gemuk, atau gemuk sekali. Kriteria ketiga dengan mengukur TB/Umur, disini akan muncul sebutan seorang itu pendek, cebol, normal atau tinggi." Nah persoalan gizi itu bukan hanya gizi kurang dan gizi buruk, gizi lebih juga menjadi masalah gizi. Ini semua namanya malnutrisi atau gizi salah," ujarnya.

Diselaskan untuk melihat seorang menderita gizi buruk bisa melihat tanda klinis yang menjadi penyerta. Tanda klinis ini adalah marasmus dan kwashiorkor.
Untuk marasmus, seseorang lebih dominan kekurangan energi. Artinya kurang asupan bahan makanan pokok. Pada penderita marasmus, akan ditandai dengan badan kurus kering, berkeriput terutama disekitar wajah, lengan, perut, paha." Wajahnya seperti orang tua, makany sering disebut monkey face atau dijuluki old face, "ujarnya. Untuk kwashiorkor, lebih dominan kekurangan protein. Protein ini fungsinya untuk menyeimbangkan cairan tubuh, dalam dan luar sel, protein ini mencegah cairan merembes keluar sel. Nah karena tidak ada yang menghalangi, cairan inipun keluar. Akibatnya terjadi oedem (bengkak). Ciri yang bisa terlihat, adalah si penderita kelihatan wajahnya membengkak, dan perutnya membusung. Inilah yang kemudian populer dengan busung lapar. Perut buncit karena kelaparan. " bisa juga gabungan antara keduanya, marasmus dan kwashiorkor sekaligus, " ujarnya. Sementara itu, Ketua TP PKK NTB HJ, Rabiatul Adawiyah mengatakan tingginya angka busung lapar dan gizi buruk dikalangan masyarakat NTB sebenarnya bukan semata-mata karena kurangnya asupan makanan. Namun, lebih disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang tua, khususnya ibu-ibu di NTB tentang makanan bergizi." Makanan bergizi itu tidak selalu mahal (hadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar