09 Juni 2009

Pasar Tradisional Menunggu Lonceng Kematian

Senin, 08 Juni 2009
JAKARTA – Iming-iming layanan belanja mudah, praktis, cepat, dan bersih bagi pelanggan di pasar modern menjadi pil pahit bagi pedagang di pasar tradisional. Keberadaan pasar tradisional pun kian terpuruk. Anehnya, pemerintah malah terus memberi lampu hijau pada menjamurnya pasar modern.

Sepi, lengang, dan hening adalah kesan yang ditangkap banyak orang saat masuk ke Pasar Kota  Cikini Campiun, Jakarta Pusat. Tidak banyak transaksi terlihat di pasar yang terletak tidak jauh di sisi timur Stasiun Kereta Api Cikini itu.
Bahkan, pada pagi hari sekalipun, ketika pasar-pasar tradisional dijejali ibu-ibu atau pembelanja lain, pasar itu tidak ikut ramai. Sering kali, para pedagang di sana terlihat hanya merapikan dagangannya atau berbincang dengan pedagang lain.
"Sepi. Sekarang udah sedikit banget yang belanja di sini," tutur Dulah, seorang pedagang daging sapi di pasar itu.
Pasar itu tampaknya memang tidak lagi nyaman untuk menjadi tempat belanja bagi warga di sekitarnya. Bau tumpukan sampah menusuk hidung orang yang melintas di jalan masuk pasar itu. Sampah itu dibiarkan menumpuk di dalam bak besar yang diletakkan di area parkir sepeda motor.
Lahan parkir yang sempit juga menjadi faktor ketidaknyamanan pengunjung untuk membelanjakan kebutuhannya di pasar permanen pertama di Jakarta ini. Pengunjung acap kali terlihat kesulitan memarkir kendaraannya.
Jika dibandingkan dengan kenyamanan yang ditawarkan di pasar modern di dekatnya, Pasar Cikini Ampiun memang tidak terlalu baik. Hanya setengah kilometer dari dekat pasar yang pernah menjadi pasar percontohan ini terdapat Carrefour, ritel modern, tepatnya di sebuah apartemen.
Usaha menjaga kebersihan telah dilakukan secara swadaya oleh para pedagang di sana. Menurunkan sedikit harga komoditas juga mereka lakukan. Namun, pasar itu tetap saja ditinggalkan pelanggannya.
Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, pasar ini pernah memasuki masa kejayaan karena menjadi pasar favorit yang dikunjungi pejabat. Namun kini, kisah itu hanya menjadi kenangan masa lalu bagi pedagang di sana. Kejayaan pasar itu cuma kebanggaan masa lalu bagi mereka. Tidak ayal, omzet para pedagang pun menurun. Menurut Dulah, omzetnya bisa menurun hingga 40 persen dalam sehari.
Nasib yang sama juga dialami pedagang di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di dekat pasar itu, kini berdiri Carrefour Lebak Bulus. Hipermarket milik perusahaan asal Prancis itu terletak hanya sekitar 1 kilometer dari pasar tradisional itu.
Yeni, seorang pedagang sayuran di Pasar Jumat, menyesalkan berdirinya pasar modern di dekat tempatnya berdagang. Hal itu membuat penghasilannya setiap hari semakin menurun."Wajar kalau orang maunya belanja di tempat yang bersih, terang, enggak becek, ada AC (pendingin udara-red) lagi. Apa-apa juga ada. Pasar yang jorok dan becek kayak begini, ya, ditinggalin aja," katanya gusar.
Yeni meminta pemda menindak tegas pengusaha yang mendirikan Carrefour Lebak Bulus. Pasalnya, bukan dirinya saja yang mengeluh penghasilannya menurun. Deny, pedagang ikan di pasar itu, juga mengajukan keluhan yang sama. Akibat menurunnya omzet penjualannya, ia terpaksa mengurangi modal dagangnya. "Yang biasanya beli 10 kilogram, saya paling jual 6 kilogram aja," katanya.

Payung Hukum
Kondisi serupa juga terjadi di Bekasi. Di daerah penyangga Ibu Kota Jakarta yang satu ini terdapat sedikitnya 10 pasar tradisional milik pemerintah daerah setempat. Namun, di antara beberapa pasar tersebut ada yang tutup. Sebut saja Pasar Teluk Buyung di Jalan Raya Perjuangan Kecamatan Bekasi Utara yang kini telantar. Sama sekali tidak ada lagi pedagang yang bertahan di pasar tersebut. Ratusan kios yang dibangun dengan biaya miliaran rupiah sebagian sudah rusak.
Bahkan saat ini, nasib beberapa pasar pun terancam tutup, di antaraya Pasar Sumber Arta, Pasar Jatiasih, dan Pasar Bintara. Demikian pula pasar terbesar di daerah ini, seperti Pasar Baru, Pasar Pondok Gede, Pasar Kranji, dan Pasar Lama Juanda yang tinggal menunggu waktu untuk gulung tikar.
Bekasi kini tumbuh subur pusat-pusat perbelanjaan modern, seperti mal, hipermarket, Carrefour, Ramayana, serta Alfamart dan sejumlah pusat perbelanjaan lainnya. Letak pusat pasar modern itu sangat berdekatan dengan lokasi pasar tradisional. Lihat saja di lokasi Pasar Pondok Gede yang kini sedang dibangun pusat perbelanjaan berbiaya puluhan miliar rupiah hasil kerja sama antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi dengan pengembang.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bekasi Tjandra Utama Effendy kepada SH mengakui, pihaknya juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada payung hukum untuk membatasi pertumbuhan  pasar modern sepanjang lokasi itu dalam rencana umum tata ruang (RUTR) merupakan lokasi jasa dan perdagangan.
Tjandra mengakui, kehadiran pasar modern itu juga menjadi ancaman bagi pedagang di pasar tradisional. Tetapi, karena tidak ada aturan yang melarangnya, termasuk di daerah Kota Bekasi, hal ini membuat Pemkot Bekasi tidak bisa mengatasinya. "Kalau kami buat perda, takut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi," katanya.
Kondisi serupa juga terjadi di Tangerang. Dari sekitar 22 pasar tradisional yang ada, belasan di antaranya kini mulai kehilangan konsumen. Penyebabnya tak lain karena ketidakmampuan pedagang pasar tradisional menghadapi persaingan pascamerebaknya pertumbuhan pasar modern, seperti minimarket maupun peritel besar.
Kian terpojoknya posisi pedagang pasar tradisional juga diakui Direktur Operasional Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang Ahmad Djabir. Menurutnya, dari total 22 pasar tradisional yang ada dan tersebar di sejumlah pelosok wilayah Kabupaten Tangerang saat ini, 11 di antaranya terancam tutup.
Menurut Djabir, dari 11 pasar yang terancam bangkrut itu, di antaranya adalah Pasar Kutabumi, Kecamatan Pasar Kemis (awalnya 460 kios, kini hanya tinggal mencapai 230 kios), dan Pasar Ciputat (awalnya 1.500 kios, kini tinggal 700 kios). "Total 22 pasar dimaksud memiliki sebanyak 9.392 kios dan los. Dan kini, sebanyak 5.908 kios dan los yang dimaksud terpaksa tutup karena ditinggalkan konsumen," kata Djabir.
Khusus di Jakarta, data Biro Perekonomian Jakarta menyebutkan, hingga 29 Maret 2009 terdapat sekitar 1.430 pasar swasta yang tersebar di lima wilayah DKI Jakarta. Disebutkan pula, dari data tersebut tercatat pasar swasta terdiri atas sekitar 148 pasar swalayan, 18 hipermarket, 137 pusat perbelanjaan, 1.008 mini market, dan 129 toko serba ada. Sementara itu, pasar tradisonal tercatat sebanyak 151 buah. Artinya, pasar swasta hampir sembilan kali lipat dibanding pasar tradisional.
Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan, dominasi pasar modern menjadi ancaman pasar tradisional. Karenanya, Djangga meminta agar perlu dikaji kembali kebijakan pemberian izin pasar modern.
Dia pun menjelaskan, ada pasar modern yang jaraknya dekat sehingga berpengaruh pada pasar tradisional. Hanya saja, Djangga tidak menyebut dan menjelaskan secara rinci jumlah pasar modern yang jaraknya tidak jauh dari pasar tradisonal. Namun, kasus Carrefour Mega Mall Pluit yang diprotes Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) dengan mendatangi Kantor Gubernur Jakarta menjadi contoh tidak tegasnya Perda No 2 Tahun 2002 tentang jarak pasar modern dengan pasar tradisional.  Kehadiran Carrefour membuat pedagang Muara Karang resah. Karenanya, Amarta mendesak Pemda Jakarta menindak pihak Carrefour.
Terkait masalah itu, Gubernur Jakarta Fauzi Bowo malah meminta PD Pasar Jaya–yang selama ini mengelola pasar tradisional di Ibu Kota–untuk kreatif menata pasar yang ada di lima wilayah  Jakarta. Para direksi harus menata pasar, memperbaiki bentuk bangunan atau desain, serta membuat kontruksi yang bagus agar mampu bersaing dengan pasar modern.
Namun diakuinya pula, pengaturan jarak memang harus dilakukan. Bahkan, akan dipertajam mengenai ketentuan jarak antara pasar modern dan pasar tradisional yang dikelola PD Pasar Jaya. Persoalannya, kapan Pemda Jakarta mewujudkan janjinya itu? (deytri aritonang/jonder sihotang/parluhutan gultom/andreas piatu)

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/pasar-tradisional-menunggu-lonceng-kematian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar