Pertanian Bukan Sektor Andalan Perbankan Oleh Bramantyo Djohanputro, PhD Sektor pertanian me-nyumbang 15 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia, di antara sepuluh sektor ekonomi--sektor menurut kategori Bank Indonesia. Namun, hanya 5 persen dari kredit bank umum yang disalurkan ke sektor ini, yang mencakup pertanian, perburuan, dan sarana pertanian. Rendahnya minat bank umum menyalurkan kredit ke suatu sektor, termasuk sektor pertanian, merupakan salah satu indikasi tidak menariknya sektor ini dari profil risiko-imbal hasil atau risk-return profile. Bila sektor ini dipilah menurut ukuran, akan lebih kelihatan lagi bahwa kredit ke usaha skala besar lebih menarik bagi perbankan dibandingkan dengan kredit ke usaha kecil dan menengah, apalagi ke usaha pertanian yang masuk kategori mikro informal. Dan perlu dicatat, sebagian pesar pertanian dilakukan oleh pengusaha gurem tersebut dengan skala usaha yang kecil, dan notabene berada di daerah pedesaan. Apalagi di Pulau Jawa. Data mengenai penyaluran kredit ke sektor pertanian oleh seluruh bank menunjukkan, bank umum menguasai penyaluran kredit ke sektor pertanian dengan porsi mencapai 64 persen dari total kredit sektor pertanian. Bank swasta nasio-nal menempati urutan kedua dengan 27 persen, disu-sul dengan Bank Pembangunan Daerah yang hanya 6 persen. Paling buncit adalah bank asing dan campur-an, yang hanya 3 persen. Bila hanya melihat kredit usaha kecil untuk sektor pertanian, urutan komposisi kredit menurut kategori bank umum tetap sama, bank persero menempati urutan tertinggi, diikuti oleh bank swasta nasional dan BPD, sedangkan bank asing dan campuran tidak berkontribusi. Rasanya yang perlu mendapat sorotan adalah peran BPD dalam mengembangkan sektor pertanian di daerah-daerah. Sebagai bank yang hadir di seluruh wilayah Indonesia, dan memang diharapkan berperan dalam memajukan perekonomian daerah, dengan melihat kenyataan bahwa sebagian besar wilayah daratan Indonesia adalah tanah pertanian dengan mayoritas penduduk hidup di dunia pertanian di pedesaan, sudah selayaknya BPD memiliki peluang untuk mengembangkan sektor ini. Tentu harapan tersebut didasarkan atas asumsi bahwa BPD yang hadir di daerah mengenal betul kondisi setempat sehingga perhitungan risiko imbal hasil cukup akurat. Rendahnya kredit ke sektor pertanian bukan semata-mata kekeliruan dunia perbankan. Berbagai alasan sudah lama disadari, tetapi belum jelas solusinya. Paling tidak, ada tiga hal penting. Pertama, tingginya suku bunga BI dan Surat Utang Negara (SUN) menjadi salah satu alasan mengapa bank lebih suka menyimpan dana di instrumen yang dikeluarkan BI maupun Departemen Keuang-an, ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil. Ini berarti, keberanian BI menekan suku bunga lebih rendah lagi menjadi sangat pen-ting. Selain itu, Departemen Keuangan perlu bekerja keras untuk meyakinkan investor bahwa risiko berinvestasi SUN tidaklah tinggi sehingga suku bunga yang ditawarkan bisa ditekan jauh lebih rendah. Kedua, rendahnya kualitas infrastruktur dan input pertanian menyebabkan petani cenderung merugi sehingga perbankan was-was menyalurkan kredit ke sektor ini. Belum lagi, risiko alam yang dapat menggagalkan hasil panen cukup tinggi. Dengan demikian, dukungan terhadap petani supaya dapat meningkatkan profitabilitas hasil pertanian oleh berbagai pihak juga sa-ngat penting. Dukungan tersebut terkait dengan ketersediaan sarana produksi pertanian-yang sering dikenal dengan saprotan oleh berbagai institusi, dan dengan kepastian harga jual hasil pertanian-khususnya melalui Bulog. Ketiga, tingginya risiko sektor pertanian-termasuk di dalamnya peternakan dan tambak ikan-menjadikan bank menurunkan kualitas debitor, yang artinya menaikkan suku bunganya. Sistem asuransi melalui mekanisme pasar, yang mestinya dijalankan melalui mekanisme pasar, tidak dapat berjalan karena tingginya premi yang harus dibayar. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan mengatasi tingginya premium risiko ini. Berbagai metoda telah dikembangkan, termasuk di dalamnya dengan sistem tanggung renteng antarpetani. Sekalipun model ini perlu diujicobakan terhadap para petani, model lain perlu dipikirkan. Salah satu alternatifnya adalah melalui mekanisme layanan umum atau public service obligation (PSO) untuk memastikan tersedianya asuransi yang terjangkau oleh petani, sekaligus mendapat penilaian positif dari perbankan. Di luar hal-hal tersebut di atas, tentu kemauan pemegang saham untuk mendorong keterlibatan bank ke sektor perta-nian. Dengan demikian, ini merupakan tantangan pemerintah daerah (pemda) selaku pemegang saham BPD untuk mewajibkan bank jenis ini makin besar keterlibatannya pada sektor pertanian. n Penulis adalah pengamat masalah ekonomi keuangan, PPM Manajemen.
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar