02 April 2009

Ketahanan Pangan dan Tantangannya

Ketahanan Pangan dan Tantangannya
Jumat, 3 April 2009 | 04:26 WIB

Indonesia ekspor beras. Berita menjelang pemilu ini dapat ditanggapi dengan berbagai cara. Ekspor dapat berarti bahwa produksi padi kita sudah surplus dan itu berarti pertanian kita bagus dalam pertumbuhannya, pembangunan pertanian kita berhasil.

Akan tetapi, kebijakan ekspor beras yang dilakukan menjelang pemilu ini dapat dengan segera dipandang sebagai komoditas politik, klaim keberhasilan pemerintah di bidang pangan.

Ditinjau dari data statistik yang disediakan Badan Pusat Statistik, angka-angka kinerja empat pangan utama pada tahun 2006-2008 memang menunjukkan kenaikan. Dari angka kuantitas komoditas padi, jagung, kedelai, dan gula, hanya kedelai yang pernah menurun, yaitu pada tahun 2007. Selebihnya, keempat komoditas mengalami kenaikan kuantitas produksi pada tahun 2006-2008.

Panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, Rabu (1/4), beretorika. Bagaimana angka-angka itu didapatkan? Faktor-faktor apa yang dilihat serta didata? Untuk meneliti metode yang dilakukan BPS, tentu amat rumit, terutama dari pengambilan sampel, lembaga lain akan sulit menandingi BPS yang mengambil sekitar 41.000 sampel.

Angka pertumbuhan produksi padi juga menunjukkan anomali (baca: lonjakan signifikan) pada tahun dilangsungkannya pemilu. Data tahun 2002 hingga 2008 menunjukkan lonjakan pertumbuhan, yaitu 3,74 persen pada tahun 2004 setelah pada tahun 2003 pertumbuhan produksi padi hanya 1,26 persen. Setelah itu, pertumbuhan kembali mengecil menjadi 0,12 persen dan 0,56 persen pada tahun 2005 dan 2006. Tahun 2007 angka pertumbuhan mencapai 4,76 persen dan setahun berikutnya menjadi 5,46 persen.

Penyebab kenaikan

Ada sejumlah faktor yang memungkinkan terjadinya kenaikan angka produksi padi. Panelis itu menyebutkan sejumlah faktor, yaitu terjadi peningkatan produktivitas dan areal panen sekaligus (baca: pertambahan indeks pertanaman/IP), insentif stabilisasi harga, dan perbaikan kelembagaan teknologi produksi.

Sementara itu, masih terlalu sedikit observasi untuk bisa menyimpulkan bahwa peningkatan produksi padi terjadi akibat perubahan teknologi, rekayasa genetika—memang ada sejumlah partai yang mengklaim menemukan benih padi unggul—dan bahkan kelembagaan pembiayaan.

Faktor lainnya adalah perbaikan infrastruktur pertanian, yaitu saluran irigasi, jalan desa, dan jalan produksi. Untuk saluran irigasi, data Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan, total kerusakan jaringan irigasi mencapai 714.000 hektar, meliputi kerusakan ringan, sedang, dan berat.

Kerusakan jaringan irigasi pada tahun 2004 mencapai 1,5 juta hektar dari total luas jaringan 6,7 juta hektar. Hingga tahun 2008, jaringan irigasi yang sudah diperbaiki 1,3 juta hektar. Namun, bencana alam 2007-2008 menambah kerusakan jaringan irigasi sebesar 514.000 hektar. Total biaya perbaikan jaringan irigasi itu Rp 4,28 triliun. Departemen PU menargetkan perbaikan 200.000 hektar jaringan irigasi yang rusak pada tahun 2009 (Kompas, 4 Februari 2009 dan 31 Juli 2008).

Bicara soal IP, panelis tersebut mencoba menyingkap misteri angka IP. Angka IP pun meningkat saat menjelang pemilu, yaitu tahun 2003 naik signifikan dari 122,92 persen menjadi 144,03 persen. Fakta lapangan berbicara lain. Pertambahan penduduk telah mendorong industri properti dan sawah yang nomor satu dilirik pengembang.

Jika dilihat dalam cakupan lebih luas, ternyata politik pertanian di kawasan Asia memang penuh dengan ironi karena jumlah anggaran untuk kepentingan pertanian dan pedesaan terus mengecil persentasenya terhadap produk domestik bruto (PDB).

Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa nyaris semua negara sampel kecuali Myanmar yang hampir sama antara komitmen tahun 1990 dan 2005, di negara-negara lainnya (China, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand) angka tersebut menurun sebesar 25 persen-78 persen. Penurunan 78 persen terjadi di Indonesia (!)

Ironi juga terjadi ketika di Indonesia yang sudah ekspor beras ini justru banyak ditemukan kasus-kasus malnutrisi dan rawan gizi.

Perubahan iklim

Ketika faktor-faktor pertanian (konvensional) dan rekayasa teknologi belum dilakukan secara optimal, Indonesia kini sudah menghadapi tantangan baru yang juga menjadi tantangan global.

Hal itu adalah fenomena perubahan iklim yang berbuntut pada permintaan pangan untuk biofuel, krisis ekonomi global dan perubahan struktur perdagangan, aksi para investor (spekulan) global karena kondisi pasar keuangan yang tidak menentu, serta adanya sasaran pembangunan milenium (MDGs) yang tujuannya adalah mengurangi jumlah orang miskin dan lapar hingga separuhnya dengan target tahun 2015.

Fenomena perubahan iklim bukanlah perkara main-main karena perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global ini memengaruhi pangan dan pertanian.

Akibat perubahan iklim, terjadilah pergeseran awal musim hujan, musim hujan berlangsung lebih singkat dengan intensitas curah hujan lebih tinggi, sedangkan musim kemarau/kering lebih panjang. Padahal di sisi lain kebutuhan akan air cenderung meningkat seiring meningkatkan populasi global.

Tahun 1940, misalnya, kebutuhan akan air untuk pertanian sekitar 900 kilometer kubik (900 miliar meter kubik). Pada tahun 2000 kebutuhan tersebut menjadi berlipat hingga lebih dari 3 miliar meter kubik.

Dari data yang disampaikan seorang panelis (dikutip dari Handoko et.al) diperkirakan, pada tahun 2050 terjadi penurunan padi sawah hingga 10,5 juta ton (20,3 persen) dan padi ladang berkurang hingga 761.500 ton (27,1 persen). Secara ekstrem, dua peneliti AS bahkan menyatakan, sekitar separuh penduduk dunia akan menghadapi krisis pangan pada tahun 2100 (Kompas, 15 Januari 2009).

Belum lagi ancaman yang datang dari laut. Akibat pemanasan global dan perubahan iklim, permukaan air laut diperkirakan naik. Menurut Handoko yang dikutip panelis, sekitar 113.000 hektar sawah di Jawa akan hilang jika ketinggian air laut naik 0,5 meter. Luas itu bertambah menjadi 146.500 hektar jika air laut naik 1 meter. Hal serupa terjadi di wilayah-wilayah lainnya (lihat gambar).

Komoditas pangan ternyata tidak sesuai dengan teori penawaran-permintaan (supply- demand). Terbukti dengan populasi yang terus bertambah, ternyata harga justru menurun. Fluktuasi semacam ini juga terjadi pada komoditas perkebunan. Perubahan iklim juga telah dituding sebagai penyebab naiknya harga komoditas pangan karena harus bersaing sebagai penyedia bahan biofuel. Hingga kini masih terus terjadi ketegangan antara kepentingan biofuel dan pangan.

Sementara perkembangan sistem perdagangan dengan maraknya ritel ternyata tidak juga mengangkat nasib petani karena mereka tidak dilibatkan di sana. Pemodal besar lagi-lagi memetik keuntungan. Pemodal besar ini menguasai proses sejak dari hulu hingga hilir produksi pangan.

Ketahanan pangan pada akhirnya hanya akan menjadi mimpi pada siang bolong jika tak ada perbaikan infrastruktur dan suprastruktur. Perbaikan di bidang produksi amat dibutuhkan, terutama yang menyentuh manajemen usaha tani, peningkatan produktivitas, dan kelembagaan.

Selain itu, perlu dibangun sistem insentif untuk mewujudkan stabilisasi harga. Infrastruktur perangkat lunak juga harus digarap, yaitu pendidikan petani; peningkatan kualitas SDM, termasuk aparatur bidang pertaniannya; serta perbaikan sistem pembiayaan pertanian secara umum.

Perwujudan kemandirian (kedaulatan?) pangan dimulai dari pembangunan pedesaan dan pemberdayaan kehidupan petani. Masukan dari panelis ini jelas arahnya, yaitu pembangunan mesti meletakkan pertanian dan pedesaan pada posisi strategis demi ketahanan pangan.

Masalahnya, sekarang justru lobi-lobi pengusaha yang kuat telah berhasil membujuk pemerintah untuk menggarap lahan gambut di Kalimantan Tengah yang notabene justru akan menghancurkan pertanian karena lahan gambut melepas karbondioksida dalam jumlah amat besar.

Padahal, karbon adalah salah satu unsur gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim… yang merugikan petani. Nah! (isw/aik/ken/tat)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/03/04260323/Ketahanan.Pangan.dan.Tantangannya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar