Senin, 20 April 2009 Kuala Lumpur | Surya-Kemarin Kembali ke Nganjuk. Seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Sakur, 91, akhirnya bisa pulang kampung ke Nganjuk, setelah 61 tahun tinggal secara ilegal di Malaysia. Sejak tahun 1948, ia hidup dari masjid ke masjid sebagai pemijat tradisional di Negeri Jiran itu. "Alhamdulillah akhirnya saya bisa juga pulang kampung," kata Sakur berlinang air mata di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), Minggu (19/4) sore. Dia diantar beberapa warga Malaysia keturunan Jawa. Sakur lahir di Nganjuk 10 Agustus 1917 dan tahun 1948 masuk ke Malaysia. Saat itu, ketika usia Mbah Sakur masih 30 tahun, keadaan Indonesia tidak stabil. Meski RI sudah memproklamasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun Belanda masih berusaha menguasai kembali Indonesia. Yakni lewat agresi militer I pada Juli-Agustus 1947 dan agresi militer II pada akhir 1948. Awalnya, Sakur tinggal di Johor Bahru. Kemudian, ia mengembara ke berbagai negara bagian Malaysia, hingga ke Pulau Penang, Kota Tinggi dengan jalan kaki berhari-hari. Ia tinggal di Malaysia tanpa memberikan kabar apapun kepada keluarganya. Keluarganya di Nganjuk sudah menyangka saudara sulung mereka itu telah meninggal. Walau berusia 91 tahun, Mbah Sakur mampu berjalan meski dibantu tongkat bambu. Dia masih bisa mendengar dan berbicara agak jelas. Menurut pengakuannya, dari profesinya sebagai tukang urut, ia mendapatkan penghasilan antara 400 hingga 600 ringgit (Rp 1,2 juta hingga Rp 1,6 juta) per hari. "Saya biasa pijat dengan tarif 50 ringgit (sekitar Rp 150.000) per orang," katanya Ia pun masih ingat dengan beberapa nama adiknya."Adik-adik saya yang masih hidup namanya Askandar, Muntinah, Mursanah, Arsiah, Komari dan Nursahid. Mereka sudah menunggu saya di Nganjuk," katanya. Berkat bantuan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, keluarga Sakur yang tinggal di Desa Waru, Kecamatan Tanjung Anom, Nganjuk, berhasil ditelusuri. Setelah dikontak KBRI, adik-adik Sakur akhirnya mengetahui ternyata Sakur, kakak tertua mereka, masih hidup di Malaysia. Ketika menginjakkan kaki pertama di Malaysia, Sakur mengaku tidak mengetahui bahwa dia berada di Malaysia dan juga tidak tahu bahwa negara tersebut baru merdeka tahun 1957. "Saya tidak tahu apa pun tentang Malaysia dan kemerdekaan Malaysia. Saya tak begitu peduli," katanya. Ia mengaku sempat ingin pulang ke kampung halamannya tahun 1987 tapi tertipu dengan temannya sendiri dan uangnya 5.000 ringgit (sekitar Rp15 juta) lenyap. Ketika tinggal di masjid Sungai Udang, Klang, Selangor, seorang warga Malaysia keturunan Kudus, Jawa Tengah, bernama Zaidun, membawa Sakur ke KBRI. Sakur selanjutnya bertemu Duta Besar RI di Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Sakur pun mendapat bantuan proses keimigrasian dan tiket pulang kampung ke Nganjuk. Zaidun beserta anak dan cucunya serta beberapa warga di sekitar masjid Sungai Udang, Klang ikut mengantar Sakur hingga KLIA. Masyarakat di kawasan itu semuanya keturunan Jawa. Masjid di tempat itu pun pun merupakan replika masjid di Demak. Rencananya, Sakur akan diantar oleh staf KBRI Kuala Lumpur, Heppi, hingga di Jakarta dan salah satu stasiun televisi swasta akan mempertemukan Sakur dengan keluarganya.ant |
20 April 2009
Kisah Mbah Sakur, 61 Tahun Hidup Ilegal di Malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar