Gowongan Lor, Rumah dan Rumah Waria di Yogyakarta Minggu, 4 Oktober 2009 | 20:58 WIB Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi PrasetyaKOMPAS.com-Mami Vinolia menyadari, kaum waria membutuhkan rumah yang jangan hanya diartikan sebatas rumah fisik, melainkan rumah secara jiwa. Terlepas dari semua kekurangannya, waria adalah manusia biasa yang ingin diterima sebagai bagian dari masyarakat. Hampir tiga tahun, Keluarga Besar Waria (Kebaya), sebuah lembaga swadaya masyarakat, menempati bangunan rumah di Kampung Penumping , Gowongan, Jetis, Kota Yogyakarta. Kebaya adalah LSM yang bergerak dalam pemberdayaan waria, dan anggotanya para waria. Menjadi sebuah hal yang menarik, mengapa LSM itu bisa diterima masyarakat. Kantor Kebaya yang masih mengontrak itu, juga menjadi tempat transit para waria, dari sekadar beristirahat sampai tidur. Juga tempat beberapa waria yang positif HIV/AIDS dirawat. Mami Vinolia, menjabat sebagai Direktur LSM tersebut sejak pertama berdiri, November 2006. Mami Vin, begitu dia akrab disapa, mengakui, bukan hal mudah membawa teman-temannya dan mengenalkan ke masyarakat. Awalnya, sebagian waria juga kagok. "Sebab, cap negatif masih dilekatkan masyarakat bagi kami. Yah, tak bisa dimungkiri, untuk mencari uang, banyak waria masih keluyuran di malam hari menawarkan diri. Kos mereka memang tak di Kebaya, tapi tempat ini adalah rumah kedua mereka," ujar Mami Vin. Artinya adalah, semua polah tingkah mereka disorot warga. Sementara di sisi lain, sepanjang sejarah, jarang ada cerita waria bisa berakrab-akrab dan guyub dengan warga. Namun Mami Vin ingin mengubah cerita kaku antara waria dengan warga. Sehingga kami selalu terlibat dalam aktivitas warga. Dari acara kerja bakti, kumpul dengan warga, arisan, hingga mengisi pentas 17-an. "Untuk kerja bakti, ya memang kami nggak terjun langsung secara fisik, tapi membantu di urusan logistik," katanya. LSM Kebaya, Sabtu malam lalu pun menggelar syawalan bersama warga. Mengapa waria bisa mendapat tempat di sini? Ketua RT 11 Kampung Petinggen, Gowongan Lor, Kusumaheta menjawab, itu tak lepas dari waria yang berniat srawung ( bergaul) dengan warga. Bagaimanapun juga, waria tetap manusia dan juga bagian dari warga. "Kami tidak menghendaki mereka berkeliaran di jalan. LSM Kebaya mencoba merintis mengentaskan waria dari jalanan. Tujuan LSM ini bagus, hanya saja akan sangat berat dan lama. Namun upaya LSM tersebut kami lihat sebagai langkah positif," kata Kusumaheta. Warga, lanjut Kusumaheta, hanya berpesan agar para waria menjaga kelakuan baik selama tinggal di kampung. Sebab mereka hidup bermasyarakat. Selama tiga tahun, aktivitas di kantor LSM Kebaya, tak mengganggu warga. Tak pernah juga ada kisah bahwa kantor itu pernah digeruduk orang atau dilempari. Juga tidak ada kisah waria dihina atau dikasari secara fisik. Waria pun tidak menganggu warga. "Masyarakat di sini toleran, namun tetap nggatekne (memerhatikan). Mereka boleh tinggal namun ada kewajiban sebagai warga yang harus dipenuhi. Kondisi seperti ini, yakni warga bisa menerima waria, mungkin hanya ada di Yogya," kata Kusumaheta. Ustadz Agus Supriyanto, pengasuh Ponpes Mujadah Alfatah, Sedayu, Bantul, yang dua tahun terakhir membina para waria, menyebut, masyarakat tidak boleh mencap waria sebagai umat berdosa. Waria tetap umat Allah, dan harus dihargai, diuwongke. Tentang kenyataan bahwa banyak dari mereka yang masih keluyuran di jalan saat malam hari, itu tak bisa dimungkiri. Namun sudah ada langkah untuk mulai perlahan mengentaskan mereka dari jalanan, seperti dilakukan oleh LSM Kebaya. Sementara Ustadz Agus dan teman-teman mengambil peran dengan cara membimbing secara sipiritual. "Siapa bisa menjamin waria lebih berdosa ketimbang kita? Selain itu, bukankah lebih baik kita mencari solusi ketimbang hanya berkomentar," kata Agus. Saat ini, menurut Mami Vin, ada 300-an waria di DIY, 220 di antaranya sudah bergabung di Kebaya. Dari 300-an waria tersebut, separuh masih keluyuran di jalan menawarkan jasa seks. "Mami dan teman-teman mesti mengentaskan mereka dari jalan. Mereka punya potensi tapi harus dimotivasi," ujarnya, sembari menegaskan bahwa setiap orang, tak hanya kaum waria, bisa terkena virus HIV/AIDS. Yanri Wijayanti, dokter RS Sardjito Yogyakarta, pengajar di Fakultas Kedokteran UGM, yang juga pelindung Kebaya, mengemukakan, LSM Kebaya boleh dibilang LSM waria satu-satunya di Indonesia yang kiprahnya paling bagus. "Saya belajar dari LSM Kebaya, bagaimana perjuangan mereka. Saya juga banyak membawa mahasiswa kemari, untuk belajar," ujar Yanri. Mencari solusi dan melihat sisi positif, tentu lebih membantu ketimbang menghujat. |
12 Oktober 2009
Gowongan Lor, Rumah dan Rumah Waria di Yogyakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar