18 Oktober 2009

Anak Tiris Menantang Maut demi Rupiah

 Sabtu, 17 Oktober 2009 12:24
Anak Tiris Menantang Maut demi Rupiah


JAKARTA – Banyak cara dilakukan untuk bisa bertahan hidup di Ibu Kota. Salah satunya seperti yang dilakukan remaja yang memburu truk-truk tangki bahan bakar minyak (BBM) di sepanjang Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara, khususnya saat pagi hingga sore hari wilayah Jakarta Utara. Mereka disebut sebagai anak tiris.


Anak tiris adalah sebutan bagi pria-pria yang pekerjaannya menghabiskan (meniriskan-red) minyak sisa yang terdapat di dalam truk tangki BBM. Para anak tiris tersebut tidak mencuri minyak dari truk-truk tangki yang mengangkut BBM. Pasalnya, mereka hanya mengambil sisa-sisa isi tangki dari truk-truk yang sedang menuju Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, untuk melakukan pengisian.
Para sopir truk sengaja mengurangi kecepatannya saat mereka melihat ada anak tiris yang siap menghampirinya di tengah jalan. "Kami tidak terlalu terganggu," ujar Wahyudi yang sehari-hari bekerja sebagai sopir truk pengangkut BBM dari Depo Pertamina Plumpang.
Meski begitu, tindakan yang dilakukan anak tiris tersebut memang sangat berbahaya. Bukan hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi para pengguna jalan yang melintas di Jalan Yos Sudarso tersebut.
Beben (bukan nama sebenarnya-red), seorang anak tiris yang ditemui SH saat sedang menanti truk BBM di daerah Plumpang, membenarkan hal tersebut. "Bisa dibilang kita menantang maut. Tapi mau bagaimana lagi?" ujarnya. Ditambahkan Beben, dua bulan silam teman seprofesinya mengembuskan napas terakhir di hadapannya sesaat setelah tubuh temannya tergilas truk tangki. "Saya sempat satu minggu nggak niris bang," tukas Beben yang mengaku sempat trauma.
Desakan ekonomi yang semakin menghimpit Beben memaksa anak ketiga dari enam bersaudara ini untuk menghapus trauma tersebut dari benaknya. "Dari niris, saya juga bantu orang tua semampunya," terangnya.
Akhirnya, berbekal kantong plastik bening tebal dengan ukuran cukup besar yang atasnya dilipat dan sebuah botol bekas air mineral yang atasnya disambungkan sebuah selang, dia pun kembali ke jalan mempertaruhkan nasib dan nyawanya di antara roda-roda truk tangki pengangkut BBM.
Beben memang tidak sendiri. Dalam kelompoknya yang berjumlah lima orang, mereka bersaing mengadu peruntungan dengan lima kelompok lain yang tersebar di sepanjang Jalan Yos Sudarso. Kelompok Beben beroperasi di dekat jembatan Plumpang.
Kelima kelompok anak tiris lainnya beroperasi di beberapa wilayah lain, di antaranya dekat Pintu III Depo Plumpang, Wilayah Pool, putaran truk tangki di bilangan Permai (tepatnya di depan Plaza Koja-red), Pertigaan Mambo, dan di Lampu Lalu Lintas Permai. "Kita nggak boleh masuk ke wilayah mereka," tukas Beben yang mengaku telah menjadi anak tiris sejak masih kelas satu SMP.
Ia merasa bahwa dirinya merupakan korban ketidakmerataan pembangunan di negeri ini. "Saya jelek-jelek begini lulusan STM negeri," terangnya. Ia bukannya tidak ingin memiliki pekerjaan yang layak, namun kesempatanlah yang tidak memberinya tempat untuk bekerja. Setelah lulus STM, Beben sempat menganggur selama setahun sebelum akhirnya kembali berprofesi sebagai anak tiris.
Selain Beben, ada Wawan (16) (bukan nama sebenarnya-red) yang terpaksa putus sekolah sejak kelas II SMP. Menurut Wawan, saat itu dirinya dipaksa berhenti sekolah oleh ibunya yang berprofesi sebagai pengamen didalam bus. "Biasalah, orang tua nggak punya uang untuk bayar SPP," ujarnya tersenyum kecut.
Dia mengaku, semenjak tidak lagi bersekolah, ia pun langsung menjadi anak tiris, bergabung dengan anak-anak lain sebayanya yang telah lebih dulu menjadi anak tiris. "Daripada ngamen, suara saya jelek," ucapnya sambil tertawa.
Wawan dan Beben mengaku, mereka merasa tidak kehilangan masa kanak-kanaknya. "Hilang gimana? Jadi anak tiris kami jadi bisa punya duit sendiri dan kami masih bisa main dengan mereka (sesama anak tiris)," tukas Wawan.
Dalam sehari, para peniris BBM tersebut mengaku rata-rata mendapatkan 10-20 liter BBM. Setiap liter BBM, bensin dan solar mereka jual dengan harga Rp 3.000 ke pengepul (pihak yang menampung BBM dari para peniris).

Mimpi
Beben dan Wawan tidak pernah bermimpi menjadi seorang anak tiris. Meskipun begitu, mereka juga tidak memiliki mimpi yang muluk atas diri mereka. "Gue nggak pernah punya cita-cita mau jadi apa? Presiden, dokter, atau apalah, nggak pernah. Gue cuma pengen hidup dan punya pekerjaan yang jelas," kata Beben.
Dia mengaku dirinya telah menjadi anak tiris sejak 1997. Diakuinya pula, dengan menjadi anak tiris, ia bisa membiayai sendiri sekolahnya sejak SMP hingga lulus STM. "Saat itu, gue pikir kalo lulus STM gue bisa dapet kerjaan yang bener," ujarnya.
Berbeda dengan Beben, ketidakberdayaan orang tua membuat Wawan harus berjibaku dengan anak-anak seusianya maupun orang yang jauh lebih tua untuk mengais rezeki dari tiap tetesan BBM yang tersisa di dalam truk tangki. Wawan memang lincah. Tubuh kecilnya memudahkan ia berlari kencang di sisi kiri truk, namun bukan berarti ia ingin selama menjadi anak tiris. "Gue juga pengen kerja di pabrik, tapi nggak tahu kapan," ucapnya.
Beben dan Wawan merupakan segelintir anak tiris yang dengan terpaksa mengadu nasib di jalanan. Bukan hanya waktu yang mereka korbankan, tetapi juga nyawa. "Kami nggak tahu kapan akan mati, tapi kami harus tetap hati-hati," tutur Beben menanggapi betapa besarnya risiko yang harus ia dan teman-teman seprofesinya hadapi.

Para anak tiris tersebut memang tidak memiliki mimpi yang besar. Namun, mereka memiliki harapan besar agar kelak pemerintah lebih memperhatikan nasib anak-anak seperti mereka. (cr-9)


http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/back_to/indeks-lalu/read/anak-tiris-menantang-maut-demi-rupiah/?tx_ttnews%5Byears%5D=2009&tx_ttnews%5Bmonths%5D=10&tx_ttnews%5Bdays%5D=17&cHash=eddb1b7290




Tidak ada komentar:

Posting Komentar