03 September 2009

Pemerintah Dinilai Tak Punya Komitmen Lindungi Pekerja

Minggu, 30 Agustus 2009


TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah dinilai tak punya komitmen melindungi tenaga kerja. Berbagai kasus penyiksaan hingga pembunuhan terus terakumulasi tapi hingga kini pemerintah masih enggan meratifikasi Konvensi Buruh Migran yang telah ditandangani sejak 18 DEsember 2004.

Pemerintah bahkan secara tegas menolak ratifikasi Konvensi dan menolak instrumen Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk pembantu rumah tangga. Penolakan ini berarti, negara memandang buruh migran sebagai komoditas belaka.

"Dengan menandatangani, pemerintah dipaksa melindungi buruh migran," kata Rieke Dyah Pitaloka calon anggota DPR 2009-2014 dalam jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Turut hadir pakar hukum internasional Enny Soeprapto, Koordinator Presidium Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran Tati Krisnawaty, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lain.

Rieke menambahkan, kekerasan terhadap buruh migran luar biasa jumlah dan bentuknya, mulai dari kekerasan fisik hingga menghilangkan nyawa. Perangkat hukum yang ada tak cukup. "Hukum tidak berisi, tidak ada sanksi tegas," katanya.

Ratifikasi penting sebagai daya tawar kepada negara tujuan. Sebab, konvensi mengatur seluruh proses dari sejak sebelum pemberangkatan hingga pemulangan kembali ke negara asal.

Tati Krisnawaty mengatakan, dengan merartifikasi Konvensi memang tidak otomatis seluruh perlindungan terhadap buruh migran terpenuhi. Namun, ada koridor hukum, negara yang meratifikasi akan memiliki kunci strategis dalam menangani masalah buruh migran yang kompleks dan mendunia, baik di tingkat nasional maupun dalam platform kerja sama internasional.

"Ratifikasi akan memberi peluang untuk perbaikan," kata Tati. Akan ada penyesuaian sejumlah peraturan daerah yang selama ini cenderung mengkesploitasi tenaga kerja seperti menarik retribusi, surat izin suami dan jika sedang bermasalah suami bisa meminta jaminan sejumlah uang.

Pakar hukum internasional Enny Soeprapto mengatakan, pemerintah seharusnya tak menimbang untung rugi dalam meratifikasi. Sebab, ini bukan soal bantuan materiil tapi Indonesia sebagai anggota PBB harus ikut serta dalam perlindungan HAM.

Dengan tidak segera meratifikasi, citra bangsa rusak di mata internasional. Indonesia sudah menandatangani hampir lima tahun lalu, tapi hingga kini tak kunjung meratifikasi. Padahal, dengan ratifikasi tak berrati semua aturan diadopsi tetapi negara dimungkinkan membuat pembatasam dan pengaturan, "tidak semuanya ditelan begitu saja," katanya.

AQIDA SWAMURTI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar