06 Oktober 2009

Kebijakan Perlindungan Pekerja Migran Perlu Direformasi

5 Oktober 2009

Laporan wartawan KOMPAS Luki Aulia

JAKARTA, KOMPAS.com - Penyebab utama permasalahan seputar migrasi di berbagai negara termasuk Indonesia adalah minimnya kebijakan dan peraturan yang melindungi pekerja migran. Padahal jika isu migrasi ditangani dengan kebijakan yang tepat sehingga bisa memberikan perlindungan maksimal pada pekerja migran maka secara otomatis akan meningkatkan pembangunan manusia.


Demikian temuan-temuan terungkap dalam Laporan Pembangunan Manusia Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2009 dengan tema "Mengatasi Kendala: Mobilitas Manusia dan Pembangunan" yang dipublikasikan Senin (5/10), di Jakarta. "Kami harap isu mobilitas manusia ini menjadi komitmen nasional untuk mewujudkan kebebasan bagi rakyatnya," kata Resident Representative UNDP, El-Mostafa Benlamlih.


Dalam laporan UNDP itu juga terungkap sebagian besar pergerakan manusia justru tidak bersifat eksternal tetapi internal. Artinya, lebih banyak orang yang bergerak hanya di dalam negeri dan tidak ke luar negeri. Menurut data-data UNDP terdapat 740 juta penduduk di dunia yang tergolong migran internal. Jumlah ini empat kali lebih besar dibandingkan jumlah migran internasional. Khusus untuk Indonesia, kata Benlamlih, terdapat 5,6 juta pekerja Indonesia di luar negeri (4,1 juta diantaranya perempuan). "Sebanyak 20-23 juta orang di Indonesia tidak tinggal di daerah asalnya," ujarnya.


Pergerakan manusia ini wajar mengingat setiap individu memiliki hak untuk menentukan tempat untuk hidup. Distribusi kesempatan dan pembangunan ekonomi yang tidak merata antara satu daerah dengan daerah lain atau satu negara dengan negara yang lain pun menjadi faktor utama yang mendorong pergerakan manusia. Team Leader Democratic Governance Unit UNDP, Rizal Malik, mengatakan pergerakan manusia ini bisa dikurangi hanya jika ada lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi di daerah asal. "Orang datang ke kota besar karena pertumbuhan ekonominya ada di sana. Seharusnya ekonomi daerah juga dikembangkan sehingga orang tidak harus pindah," ujarnya.


Persoalan muncul karena tingkat pendidikan sebagian besar pekerja migran rendah. Akibatnya, mereka hanya mampu masuk ke sektor informal termasuk pekerja rumah tangga (PRT). Padahal menurut mantan anggota parlemen, Nursyahbani Katjasungkana, tidak ada satu pun aturan hukum yang melindungi PRT karena sektor informal dianggap tidak perlu diatur. "Khas cara berpikir masyarakat patriarkhal yang umumnya melihat urusan rumah tangga bukan urusan publik. Negara harus melindungi PRT karena di rumah tangga itu bisa juga terjadi diskriminasi dan eksploitasi," kata Nursyahbani.


PRT belum terlindung
Direktur Jenderal Kerja Sama Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnaker, I Gusti Made Arka, mengakui banyak negara membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia terutama tenaga kerja yang terlatih. Namun Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan itu karena tenaga kerja Indonesia dianggap kurang kompeten. "Banyak yang sulit dapat akses pekerjaan formal karena tingkat pendidikan SD ke bawah. Karena itu mereka memilih menjadi PRT," ujarnya.


Sampai saat ini, kata Arka, pemerintah masih kesulitan meningkatkan pelayanan terhadap pekerja migran di sektor rumah tangga. Sekitar 75 persen dari 6 juta pekerja Indonesia yang berada di luar negeri bekerja di sektor rumah tangga atau menjadi PRT. Untuk memberikan perlindungan pada mereka pemerintah bekerja sama dengan berbagai negara. Sampai saat ini sudah ada 11 nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani antara lain dengan Korea, Australia, Jepang, Malaysia, Jordania, dan Kuwait. Sementara yang masih dalam proses adalah dengan Lebanon, Uni Emirat Arab, dan Oman.


"MoU dengan Malaysia sudah jadi tetapi kita perlu mengubah karena ada usulan kita yang disetujui yakni paspor sekarang dipegang oleh TKI dan bukan oleh majikan. Yang kedua, pemberian libur dan kebijakan gaji awal 600 dollar AS juga sudah disetujui," kata Arka.

Meski sudah disepakati, Nursyahbani mengingatkan banyak MoU Indonesia dengan negara lain yang isinya terlalu umum dan rinciannya dirujuk pada pembicaraan lanjutan. "Sampai MoU itu berakhir, pembicaraan lanjutan belum juga dilakukan," ujarnya.




1 komentar:

  1. LSM Rumpun Tjoet Njak Dien adalah lembaga sosial yang bergerak di bidang penguatan, pendampingan dan perlindungan PRT. Kunjungi web dan blog kami di www.rtnd.org dan www.rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com. Hidup PRT!

    BalasHapus