Senin, 10 Agustus 2009
TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah menyambut semua gerakan sipil yang mendukung hak-hak buruh di luar negeri.
"Pekerja akan bisa berkoordinasi dengan serikat-serikat buruh di negara penempatan," ujar Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Jumhur Hidayat ketika ditemui di Hotel J.W Marriott, Jakarta, Senin(10/8).
Pernyataan Jumhur ini terkait pendeklarasian Voluntary Services Overseas, organisasi sipil yang membuka jaringan kerjasama dengan serikat buruh di tiap negara penempatan.
Sebenarnya beberapa pekerja migran Indonesia sudah mulai bekerja sama dengan serikat buruh di negara penempatan. Ia mencontohkan di Johor, Malaysia, pekerja buruh perkebunan sudah puluhan ribu yang berafiliansi dengan serikat buruh di Malaysia yakni National Union Plantation Workers. "Mereka jadi terproteksi dengan bagus, karena UU Perburuhan jadi berlaku dan orang-orang itu bisa melapor ke serikat buruh kalau ada apa-apa,"ucap Jumhur.
Malaysia, diakuinya, memang tidak mengizinkan warga negara lain untuk membuat serikat buruh. "Tapi kalau bergabung dengan serikat yang ada, itu suatu keharusan,"imbuh Jumhur.
Selain di Malaysia, kerjasama ini, urai Jumhur, juga sudah mulai di Korea Selatan, yang diikuti beberapa negara penempatan lainnya. Dengan berserikat, maka posisi tawar para buruh menjadi lebih kuat. "Karena setiap serikat buruh itu berpartner dengan Departemen Tenaga Kerja negara terkait,"katanya. Padahal di negara-negara maju, semua korporasi patuh pada Departemen Tenaga Kerja. Tentunya pekerja jadi memperoleh jaminan hubungan industrial lebih jelas.
"Serikat buruh ini, yang akan melaporkan kalau ada perusahaan-perusahaan yang nakal, termasuk pekerja Indonesia," paparnya. Jaminan ini diatur dalam UU Tenaga Kerja di negara penempatan.
Sayangnya perlindungan terhadap pekerja ini tidak meliputi pekerja dari sektor tata laksana rumah tangga. Penatalaksana rumah tangga, Jumhur menambahkan, di setiap negara penempatan tidak termasuk dalam UU Ketenagakerjaan.
Jumhur memilih konsep antar jemput bagi penata laksana rumah tangga di negara penempatan. Ia mengusulkan penata laksana ini tidak tinggal di rumah majikan, melainkan diantar jemput dari shelter atau penampungan yang dibuat khusus di tiap negara penempatan. "Cara ini saya rasa bisa menurunkan kasus pelecehan bagi penata laksana rumah tangga," ungkapnya.
Konsep ini akan terus diusulkannya karena ternyata permintaan penata laksana rumah tangga justru meningkat selama krisis global. "Permintaannya tidak terpengaruh krisis," bebernya. Maka dengan permintaan yang tinggi, perlindungannya juga harus dirubah.
DIANING SARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar