Jakarta (ANTARA News) - Depnakertrans membantah bahwa instansi itu menolak mengadopsi Konvensi ILO mengenai pembantu rumah tangga (PRT) sebagaimana yang dikatakan Kepala BNP2TKI, M. Jumhur Hidayat.
Siaran pers Depnakertrans yang diterima di Jakarta, Jumat, menanggapi pernyataan Jumhur yang menyesalkan bahwa Depnakertrans enggan mengadopsi Konvensi ILO mengenai PRT.
Pusat Humas Depnakertrans menjelaskan bahwa standar internasional mengenai (PRT) akan menjadi agenda pada Sidang Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Conference/ILC) di Jenewa pada tahun 2010.
Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dideklarasikan di New York pada 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum pada 1 Juli 2003.
Sebagai bagian dari anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi ini pada 22 September 2004, namun penandatanganan bukan berarti meratifikasi.
Sampai saat ini, negara yang meratifikasi konvensi Buruh Migran sekitar 35 negara, dan di wilayah ASEAN baru negara Philipina (negara pengirim TKLN), sedangkan negara tujuan penempatan TKI belum ada yang meratifikasi.
Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi itu dengan pertimbangan, apabila konvensi itu diratifikasi maka hanya akan melindungi pekerja migran dan anggota keluarganya di Indonesia, dan pengesahan ini tidak bisa menjangkau perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan.
"Konvensi ini akan mempunyai makna apabila negara tujuan penempatan juga meratifikasi konvensi ini, sehingga berlaku asas resiprokal," kata Kepala Pusat HUmas Depnakertrans Sumardoko.
Ketentuan yang diatur di dalam Konvensi Buruh Migran antara lain perlindungan hak berserikat bagi pekerja migran, tidak boleh mem-PHK pekerja migran, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migran.
"Dengan demikian substansi Konvensi Buruh Migran tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," kata Sumardoko.
Selain itu Konvensi Buruh Migran juga memiliki kelemahan yaitu tidak mengatur perlindungan kepada tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan. Sehingga dalam melakukan pemahaman terhadap ketentuan Konvensi Buruh Migran harus lebih hati-hati.
Pada 9 Juli 2009, Depnakertrans telah melakukan pertemuan antardepartemen membahas Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dengan mengundang Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.
Rekomendasi yang disampaikan bahwa Konvensi Buruh Migran masih memerlukan kajian lebih mendalam dengan tetap mempertimbangkan prinsip Kehati-hatian sebelum dilakukan pengesahan.
Hasil Rakor pelaksanaan RAN-HAM di Cisarua tanggal 3-4 April 2008 yang diprakarsai oleh Ditjen HAM, menyatakan ratifikasi terhadap Konvensi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya belum mendesak, karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam, prinsip kehati-hatian, dan benar-benar memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia.
Dalam draft RAN-HAM yang ke-3 (ketiga) Tahun 2010 hingga 2014, konvensi buruh migran kembali dicantumkan untuk diratifikasi, namun dalam urutan terakhir (tidak jadi prioritas untuk diratifikasi).
Terkait dengan instrumen standar ketenagakerjaan internasional yang akan dibahas dalam agenda sidang ketenagakerjaan internasional (international labour conference/ILC) tahun 2010 yaitu pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga (Decent Work for Domestic Worker), kata Sumardoko, maka Pemerintah Indonesia telah melakukan pembahasan dan menyampaikan dukungan terhadap instrument standar internasioal tersebut dalam bentuk rekomendasi.
"Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional mengenai adanya kemauan politik Pemerintah Indonesia dalam hal pengaturan dan perlindungan PRT secara internasional," katanya.
Adapun pertimbangan standar internasional mengenai pekerja rumah tangga dalam bentuk rekomendasi, bahwa Rekomendasi ILO merupakan pedoman bagi negara anggota untuk menyusun suatu kebijakan nasionalnya dan sifatnya tidak mengikat.(*)
Siaran pers Depnakertrans yang diterima di Jakarta, Jumat, menanggapi pernyataan Jumhur yang menyesalkan bahwa Depnakertrans enggan mengadopsi Konvensi ILO mengenai PRT.
Pusat Humas Depnakertrans menjelaskan bahwa standar internasional mengenai (PRT) akan menjadi agenda pada Sidang Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Conference/ILC) di Jenewa pada tahun 2010.
Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dideklarasikan di New York pada 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum pada 1 Juli 2003.
Sebagai bagian dari anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi ini pada 22 September 2004, namun penandatanganan bukan berarti meratifikasi.
Sampai saat ini, negara yang meratifikasi konvensi Buruh Migran sekitar 35 negara, dan di wilayah ASEAN baru negara Philipina (negara pengirim TKLN), sedangkan negara tujuan penempatan TKI belum ada yang meratifikasi.
Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi itu dengan pertimbangan, apabila konvensi itu diratifikasi maka hanya akan melindungi pekerja migran dan anggota keluarganya di Indonesia, dan pengesahan ini tidak bisa menjangkau perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan.
"Konvensi ini akan mempunyai makna apabila negara tujuan penempatan juga meratifikasi konvensi ini, sehingga berlaku asas resiprokal," kata Kepala Pusat HUmas Depnakertrans Sumardoko.
Ketentuan yang diatur di dalam Konvensi Buruh Migran antara lain perlindungan hak berserikat bagi pekerja migran, tidak boleh mem-PHK pekerja migran, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migran.
"Dengan demikian substansi Konvensi Buruh Migran tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," kata Sumardoko.
Selain itu Konvensi Buruh Migran juga memiliki kelemahan yaitu tidak mengatur perlindungan kepada tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan. Sehingga dalam melakukan pemahaman terhadap ketentuan Konvensi Buruh Migran harus lebih hati-hati.
Pada 9 Juli 2009, Depnakertrans telah melakukan pertemuan antardepartemen membahas Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dengan mengundang Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.
Rekomendasi yang disampaikan bahwa Konvensi Buruh Migran masih memerlukan kajian lebih mendalam dengan tetap mempertimbangkan prinsip Kehati-hatian sebelum dilakukan pengesahan.
Hasil Rakor pelaksanaan RAN-HAM di Cisarua tanggal 3-4 April 2008 yang diprakarsai oleh Ditjen HAM, menyatakan ratifikasi terhadap Konvensi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya belum mendesak, karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam, prinsip kehati-hatian, dan benar-benar memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia.
Dalam draft RAN-HAM yang ke-3 (ketiga) Tahun 2010 hingga 2014, konvensi buruh migran kembali dicantumkan untuk diratifikasi, namun dalam urutan terakhir (tidak jadi prioritas untuk diratifikasi).
Terkait dengan instrumen standar ketenagakerjaan internasional yang akan dibahas dalam agenda sidang ketenagakerjaan internasional (international labour conference/ILC) tahun 2010 yaitu pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga (Decent Work for Domestic Worker), kata Sumardoko, maka Pemerintah Indonesia telah melakukan pembahasan dan menyampaikan dukungan terhadap instrument standar internasioal tersebut dalam bentuk rekomendasi.
"Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional mengenai adanya kemauan politik Pemerintah Indonesia dalam hal pengaturan dan perlindungan PRT secara internasional," katanya.
Adapun pertimbangan standar internasional mengenai pekerja rumah tangga dalam bentuk rekomendasi, bahwa Rekomendasi ILO merupakan pedoman bagi negara anggota untuk menyusun suatu kebijakan nasionalnya dan sifatnya tidak mengikat.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar