27 Agustus 2009

Mereka Masih Lekat dengan Perbudakan

Selasa, 25 Agustus 2009

Pekerja Rumah Tangga


Sinar Harapan

OLEH: WAHYU DRAMASTUTI/HERU GUNTORO

Pengantar redaksi:

Tak bisa disangkal, sebagian besar keluarga membutuhkan jasa PRT untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Apalagi bagi keluarga suami-istri yang sama-sama bekerja di luar rumah. Tetapi entah sadar atau tidak, selama ini kita kurang menghargai mereka secara layak. Untuk itu, SH menurunkan laporan khususnya hari ini.


Jakarta – Masih ingat kasus Nirmala Bonat, pekerja rumah tangga (PRT) migran asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disiksa majikannya di Malaysia? PRT ini dadanya disetrika, badannya disiram air panas hingga melepuh, dan kepalanya dipukul hanger hingga luka parah. Kejadian ini mencuat tahun 2004.


Di paruh tahun 2009 ini, kisah lebih memilukan ter­ung­kap dari kasus Siti Hajar, PRT migran dari Garut, Jawa Barat, yang dianiaya majikannya di Malaysia. Ia selain disiram air panas, juga sering dipukul dengan martil dan kayu di sekujur tubuhnya, serta dilukai dengan gunting di rumah majikannya di Kondominium Mont Kiara, Kuala Lumpur. Selain itu, ia tidak pernah menerima gaji selama masa kerjanya, 34 bulan, dari majikannya yang bernama Hau Yuan Tyn alias Michelle.


Kalau merunut peristiwa ke belakang, kasus penyiksaan terhadap PRT juga terjadi di dalam negeri. Kasus Sulastri di tahun 1990-an, misalnya, yang disiksa oleh keluarga majikannya yang seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rak­yat (MPR), Muchdarsyah. Aki­bat­nya, ia mengalami luka-luka fisik, termasuk botak di kepala dan ada bekas halus setrikaan di badan. Namun, akhirnya Much­dar­syah dibebaskan oleh pe­ngadilan dengan alasan tidak ada saksi dalam kasus tersebut. 


Merebaknya kisah pilu yang tidak manusiawi ini mendorong beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) memperjuangkan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan PRT. Bahkan di level internasional, sedang digodok terbitnya Konvensi ILO (Organisasi Buruh Sedunia) mengenai Perlindungan PRT. 


Badan Pimpinan ILO (ILO Governing Body) pada No­vember 2007 telah memberikan dukungan penuh dia­da­kannya Konferensi Perbu­ruh­an Inter­na­­sional (ILC) 2010 dan 2011, untuk membahas bentuk instrumen internasional mengenai standar pekerjaan layak bagi PRT. Standar yang sifatnya umum yang berkaitan de­ngan kebebasan berserikat, upah minimum, perlindungan terhadap penghasilan, waktu ker­ja, cuti, jaminan keselamatan dan kesehatan, sosial.

Menakertrans Tak Setuju
Instrumen perlindungan itu apakah berbentuk konvensi atau rekomendasi, atau konvensi dan rekomendasi, atau konvensi de­ngan bagian mengikat dan tidak mengikat, akan didiskusikan tahun 2010. Na­mun menurut Koordinator Jala PRT (Jaringan Nasional Advo­ka­si Pekerja Rumah Tangga), Lita Anggraini, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mena­ker­trans) tidak menyetujui adanya Kon­vensi Perlindungan PRT. 


Padahal, Kementerian Ne­ga­ra Pemberdayaan Perem­pu­an dan Kementerian Koor­dina­tor Kesejahteraan Rakyat mendukung lahirnya konvensi ILO tersebut. Bahkan dalam rapat koordinasi Kementerian Kesejahteraan Rakyat 11 Agustus lalu, salah satu hasil yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah mendukung dan membangun konsultasi untuk lahirnya konvensi ILO tentang perlindungan PRT.


Emiarti Fuad, Staf Deputi Perlindungan Perempuan Kantor Menneg PP,  menga­takan alasan yuridis tentang perlindungan PRT sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 23 tentang Perlindungan Anak, serta UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. "Dari periode 2005-2006, KPP mendapat banyak surat dari NGO, lembaga hak asasi internasional, hingga amnesti internasional yang menanyakan perlindungan terhadap PRT," lanjut Emiarti.


Oleh sebab itu, Lita Ang­gra­ini mempertanyakan kemau­an dan tanggung jawab Peme­rin­tah RI untuk menghapus kerja paksa dan mewujudkan situasi kerja layak bagi PRT, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebab di Arab Saudi saja, pada 21 Juli lalu telah menerbitkan Undang-Undang tentang PRT, meskipun Arab Saudi dikenal sebagai negara yang mengeksploitasi PRT. 


"Kita juga perlu UU PRT, karena majikan membutuhkan PRT dan PRT butuh pekerjaan. Jadi simbiosis mutualisme. Diskusikan juga bagaimana agar upah PRT tidak jauh dari UMR (upah minimum regional-red), tetapi majikan tetap bisa memberikan upah sesuai de­ngan gaji kantornya," lanjutnya.


Lita juga mempertanyakan mengapa majikan tidak berbagi kenikmatan dengan PRT. "Ada PRT yang gajinya Rp 300.000 per bulan, tapi majikannya punya tiga anak," ujarnya


Maka ia memandang pen­ting rencana ILO, karena hingga saat ini tidak ada standar perlindungan bagi PRT. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.  
Persoalan akan lebih sulit jika ada relasi kekeluargaan an­tara PRT dengan majikan, di mana akan muncul rasa sung­kan. Namun disadari, membuat ke­bijakan baru tentang PRT bukan perkara mudah, sehingga perlu dilakukan gerakan bersama seluruh rakyat dan gerakan kultur, dengan didu­kung oleh organisasi keagama­an, termasuk pondok pesan­tren. Seperti yang dilakukan Filipina, di mana gereja mendukung libur bagi PRT pada hari Minggu.


Dalam rangka gerakan ber­sa­ma itu, Jala PRT bersama jaringan PRT migran dan anak dalam Jaringan Kerja Layak PRT (Jakerla PRT) mengadakan semiloka di Jakarta, Bergabung dalam Jakerla PRT di antaranya adalah Migrant Care, SBMI (Se­rikat Buruh Migran Indonesia), dan Komnas Perempuan.

Eksploitasi
ILO telah menyusun standar pekerjaan rumah tangga, dengan dasar pemikiran bahwa sebagian besar pekerja perempuan adalah PRT. Sayangnya, PRT tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya. Padahal, PRT merupakan kelompok pekerja yang rentan terhadap eksploitasi karena kurangnya perlindung­an ketenagakerjaan, terisolasi di rumah majikan, dilarang berorganisasi, dan diperlakukan secara diskriminatif.  
Upah mereka juga buruk, padahal mereka menghadapi jam kerja yang panjang, serta tanggung jawab dan beban kerja yang berat. Banyak kebijakan nasional yang cenderung membuat PRT tergantung pada pihak lain, membuatnya menjadi rentan, fleksibel dan murah.  
"Kekerasan dan berbagai bentuk eksploitasi terhadap PRT migran Indonesia sesungguhnya tidak hanya dialami pada saat bekerja, tetapi juga ketika masih berada di dalam negeri, sebelum berangkat ke luar negeri, serta pada saat pemulangan ke Tanah Air. Mereka berada pada posisi yang sangat lemah," tutur Anis Hidayah, Ketua Umum Migrant Care.
Berdasarkan Sasaran Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas BPS) 2008, data dari Migrant Care dan estimasi ILO tahun 2009, saat ini terdapat lebih dari 3 juta PRT di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bahkan, pekerjaan sebagai PRT menempati posisi teratas sebagai tujuan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Oleh sebab itulah diperlukan perlindungan bagi PRT dan anggota keluarganya. n



Tidak ada komentar:

Posting Komentar