Kompas, Opini, Jumat, 28 Agustus 2009
Oleh Dwi Andreas Santosa
Krisis pangan global, akhir 2007-Mei 2008, disebabkan kekeringan hebat di Australia dan beberapa negara Amerika Latin pada akhir 2007. Akankah krisis pangan itu berulang tahun ini?
Indikasi awal tampak mengarah ke sana. FAO memprediksi produksi serealia dunia turun akibat penurunan luas tanam dan kekeringan tahun 2009. Bahkan, Eric deCarbonnel memperkirakan akan terjadi bencana pangan global pada 2009 (Market Skeptics, 9/1/2009). China, Australia, negara-negara Amerika Latin, dan AS, penyumbang dua pertiga produksi pertanian dunia, sedang dan akan mengalami kekeringan yang menurunkan produksi pertaniannya.
Tampaknya, krisis pangan global 2009-2010 akan terjadi. The International Grain Council (IGC) memperkirakan produksi serealia dunia turun 3,4 persen (2009-2010) dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan stok pangan dunia pada periode itu juga turun 4,3 persen.
Sebaliknya, kebutuhan pangan meningkat 0,8 persen (IGC, 2009). Dalam delapan bulan terakhir, harga kedelai, jagung, dan gandum mulai naik, rata-rata 50 persen (Desember 2008), dan cenderung naik pada bulan-bulan ke depan. Bila kondisi memburuk, kita akan memasuki krisis pangan global kedua.
Indonesia waspada
Bagi Indonesia, krisis pangan kali ini agak unik. Pada tahun 2008 kita cukup pejal (resilience) terhadap dampak krisis pangan global, tertolong peningkatan produksi padi yang tinggi. Peningkatan itu disebabkan La Nina, mengakibatkan kemarau cukup basah, selain rangsangan harga tinggi yang menggairahkan petani untuk menanam. Hal itu menyebabkan stok pangan amat baik sehingga pemerintah bisa mengatur harga lebih leluasa.
Kini, produksi pertanian Indonesia pasti mengalami gangguan akibat El Nino. Dan krisis pangan global akan berdampak serius bagi Indonesia. Selain itu, akibat penurunan produksi, jumlah pangan yang diperdagangkan akan turun dan ini akan memicu kenaikan harga. Negara pengimpor pangan—tahun 2008, Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar kedua dunia dengan impor 7.729.000 ton—akan mengalami dampak serius karena pada saat bersamaan produksi domestik turun.
Kondisi itu harus disikapi dan diantisipasi cepat. Pertama, program reforma agraria, terutama reformasi aset atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional, harus didukung penuh. Dengan rata-rata lahan pangan per kapita 359 meter persegi (bandingkan dengan Thailand 5.226 meter persegi), pendistribusian lahan untuk petani menjadi suatu keniscayaan. Tanpa hal itu, produksi pertanian kita pasti akan jalan di tempat. Kalaupun dinyatakan ada peningkatan produksi, itu hanya retorika.
Kedua, perubahan paradigma pembangunan pertanian, dari produksi ke petani (Dwi Andreas Santosa, "Ketahanan Pangan Vs Kedaulatan Pangan", Kompas, 13/1/2009). Amat ironis saat pemerintah menyatakan swasembada beras dan terjadi peningkatan fantastis produksi pertanian 2007-2008, kesejahteraan petani—diukur berdasar nilai tukar petani—justru merosot dari 115 (akhir 2003) menjadi 98,30 (Januari 2009). Bahkan, untuk tanaman pangan, merosot hingga 94,39 (Statistics Indonesia, BPS, 2009).
Ketiga, kelompok masyarakat yang paling menderita akibat krisis pangan adalah petani. Kantong-kantong kelaparan di Indonesia justru di wilayah-wilayah pertanian. Kini, banyak gerakan akar rumput dan swadaya masyarakat yang bersama petani membangkitkan kembali lumbung pangan. Lumbung itu dimiliki dan dikelola petani, dan akan menjadi penyelamat pada saat terjadi krisis.
Kelima, melaksanakan subsidi langsung dan asuransi pertanian yang sering menjadi wacana. Contoh terkini adalah produksi pupuk organik yang diserahkan kepada berbagai perusahaan besar dengan biaya Rp 1.500 per kg (Rp 1.000 disubsidi pemerintah). Padahal, teman-teman di jaringan petani sanggup memproduksi dengan biaya hanya Rp 500 hingga Rp 750 per kg sampai di tangan konsumen. Hal yang sama juga terjadi untuk pupuk hayati.
Keenam, perlu dihidupkan kembali Menteri Muda Urusan Pangan yang memiliki peran, fungsi, dan kewenangan mengatur dan mengendalikan pangan serta mengembalikan Bulog seperti sebelumnya.
Secara umum, kondisi pangan ke depan memang sulit. Meski demikian, masih ada harapan. Semoga kita mampu menyelamatkan diri dari krisis pangan global 2009-2010.
Dwi Andreas Santosa Ketua Program Studi S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB
28 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar