Revisi Mou TKI Informal di Malaysia
BK/EKO MORATORIUM MORATORIUM: PELANGGARAN HAM yang dilakukan para majikan di Malaysia terhadap TKI tak bisa ditoleransi. Karenanya, pemerintah diminta untuk mempertahankan Moratorium, terkait perundingan yang kini tengah dilakukan dengan pihak Malaysia
Ibarat hingga tetes darah terakhir, Indonesia jangan menyerah terhadap Malaysia dalam perundingan tentang eksistensi TKI bidang informal di Negara Jiran tersebut.
BELUM lagi perundingan usai, delegasi Malaysia sudah mengusulkan agar Indonesia segera mencabut moratorium (penghentian sementara) pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Negara Jiran itu. Alasan yang dikemukakan delegasi Malaysia terhadap usulan ini, karena jumlah kasus penganiayaan terhadap TKI hanya 0,05%.
"Itu sebuah alasan tak mendasar. Penganiayaan terhadap TKI jelas-jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karenanya tak pas jika kasus pelanggaran HAM diukur dari jumlahnya yang hanya 0,05%. Menurut saya, pemerintah jangan sekali-sekali mencabut moratorium sepanjang Malaysia belum menyetujui revisi nota kesepahaman (MoU) TKI di negeri tetangga itu," ungkap Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Anis Hidayah saat memantau Pilpres di Hongkong, Rabu (8/7)
Bahkan dia melihat, pelanggaran HAM oleh majikan di Malaysia terhadap TKI telah dilakukan secara sistematis dan tak bisa ditoleransi. Karenanya harus ada perjuangan dari Indonesia untuk pemenuhan hak dan perlindungan bagi TKI. Di antaranya paspor harus di tangan TKI, pemberian upah secara layak, adanya jaminan hari libur, dan kebebasan TKI untuk berserikat.
Meski ada perjuangan dari pemerintah untuk melakukan diplomasi dengan Malaysia, Anis malah tak optimistis akan tercapai hasil optimal sebagaimana yang diharapkan. Tapi ia mengaku sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia yang sudah berkomitmen untuk meningkatkan diplomasi politik dengan Malaysia, dalam memperjuangkan dan melindungi hak-hak TKI.
Ditanya apakah memungkinkan dilakukan penghentian secara permanen pengiriman TKI ke Malaysia, Anis mengatakan itu bisa saja dilakukan apabila Malaysia tak memenuhi proposal pemerintah. Tapi harus tetap dicarikan solusi alternatif, misalnya mengalihkan negara tujuan pengiriman TKI dari Malaysia ke negara lain seperti Hongkong dan Singapura.
Penghentian pengiriman TKI, menurut Anis, jangan hanya dilihat dari sisi penurunan terhadap devisa, namun harus dipandang dari sisi perlindungan maksimal bagi TKI. Di dalam negeri, pemerintah juga harus berbenahi perekonomian, untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Pemerintah, menurut Anis, juga harus melakukan pembenahan terhadap pengiriman TKI dan melakukan ratifikasi terhadap konvensi tentang buruh migran.
Seperti diketahui sebelumnya, Senin (6/7), pertemuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno dengan delegasi Malaysia yang dipimpin Menteri Sumber Manusia Malaysia S Subramanian di Putra Jaya Selangor, belum menghasilkan kesepakatan. Kedua delegasi, sebatas menyampaikan usulan masing-masing terkait pelayanan dan perlindungan TKI, khususnya pembantu rumah tangga.
Kedua negara baru menyepakati pembentukan komite bersama yang berfungsi merencanakan kebutuhan, membina, mengawasi, mengevaluasi, dan memulangkan TKI di Malaysia. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan di Malaysia, 15 Juli. Usulan yang diajukan pemerintah Indonesia dalam pertemuan itu, yakni paspor di tangan TKI, bukan majikan, TKI harus mendapat libur sehari dalam seminggu, gaji TKI harus naik dan kontrak kerja harus jelas dengan jam kerja.
Selain itu, deskripsi tugas, akses pemantauan oleh perwakilan tetap RI dan agen, penempatan TKI harus lewat agen, tidak boleh lagi lewat individual, dan penegakan hukum terhadap majikan yang memakai TKI ilegal. Jadi, ada sanksi khusus bagi majikan di Malaysia karena mempekerjakan TKI ilegal. O one
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar