26 Juli 2009

Penyapu Jalan di Ibu Kota Tetap Miskin

Sabtu, 25 Juli 2009 11:30

Penyapu Jalan di Ibu Kota Tetap Miskin


JAKARTA - Kebersihan jalan-jalan di Jakarta bergantung pada penyapu jalan. Namun, nasib mereka hingga kini tetap tidak juga membaik. Garis kemiskinan menjadi bayang-bayang kehidupan pahlawan kebersihan ini. Siapa peduli?

Detail Cetak

Lalu lintas Jakarta perlahan semakin padat. Kendaraan demi kendaraan memadati ruas-ruas jalan. Orang-orang berdasi tampak nyaman di dalam mobilnya. Karyawan-karyawan duduk tenang di dalam angkutan umum. Semua tampak sibuk dengan aktivitasnya menjelang kerja.
Kalaupun Hermanto (38) juga sibuk dengan kegiatan pagi itu, kesibukan itu tidak dilakukan dengan kendaraan bermotor. Kesibukannya tidak terjadi di tengah jalan, melainkan di bahu jalan dan trotoar. Dengan sapu lidi dan pengki andalannya, dia tenggelam dalam aktivitas rutinnya setiap hari.
Langkahnya gontai, bukan karena usia merapuhkan tenaganya, tetapi karena tulang kakinya rusak. Meski begitu, ia sapu setiap jengkal ruas jalan yang dilewatinya. Sampah-sampah yang didapat matanya ia masukkan ke dalam pengki plastik  Baginya, sapu lidi sepanjang sekitar satu meter dan pengki yang terbuat dari potongan jeriken itu adalah tangannya dan senjatanya memperjuangkan hidup.
Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, seusai menunaikan ibadah salat subuh, lelaki berdarah Jawa ini meninggalkan istri dan anaknya di rumahnya di Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Dengan berjalan kaki, dia melangkah ke tempat dinasnya di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Langkahnya yang pincang tidak membuatnya gentar berjalan jauh.
Kebersihan Jalan Kramat Raya dengan batas dari jembatan penyeberangan Kenari hingga jembatan penyeberang­an Pal Putih adalah tanggung jawabnya. Adalah tugas lelaki berkumis tipis ini untuk menjaga bahu jalan dan trotoar jalan itu tetap bersih, baik sisi timur jalan maupun sisi barat jalan. Pekerjaannya itu diawasi petugas pengawas dari perusahaan penyedia jasa yang membayarnya. Sehari setidaknya kontrol dilakukan.
Sampah-sampah yang tersapu olehnya, dia tumpuk di gerobak sampah yang diparkir di Gang Sentiong, Jakarta Pusat. Pada jam-jam tertentu, mobil pengangkut sampah akan datang dan membawa sampah-sampah itu ke tempat pembuangan sampah yang tidak dia ketahui lokasinya.
Berbalut baju kerja berwarna jingga dengan helm putih yang melindungi kepalanya dari terik matahari dia bertugas selama 12 jam hingga pukul 17.00 WIB. Meski mengaku tugasnya relatif berat dan melelahkan, Hermanto mengaku tidak mau mengaku. "Disyukuri saja daripada tidak kerja dan tidak punya penghasilan. Asal cukup untuk makan sudah cukup," ujarnya dengan volume suara pelan.
Puncak kesibukannya be­kerja adalah pagi hingga sekitar pukul 08.30 WIB. Ketika lalu lintas kota tidak terlalu padat dan menurutnya jalan sudah cukup bersih, ia istirahat sejenak. Tempatnya beristirahat bukanlah ruangan dengan penyejuk ruangan dan bangku atau bahkan kasur yang empuk. Di trotoar jalan ia duduk atau merebahkan badan hingga kadang tertidur. Jika sampah daun kering atau bekas kemasan makanan mulai banyak lagi, ia pun kembali bekerja.

Tenaga Honorer
Penghasilannya dari membantu pemda dan warga menjaga kebersihan Ibu Kota itu hanya Rp 19.000 per hari. Penghasilannya setiap hari akan diakumulasi dan baru akan dibayar pada tanggal 14 setiap bulannya. Hermanto menuturkan, belasan tahun bekerja, honornya yang tidak tergolong besar itu kerap dibayar tidak tepat waktu. "Kalau sudah terlambat, ya, saya tidak bisa apa-apa, cuma nunggu saja," keluhnya.
Padahal, pekerjaannya itu bukan tanpa risiko. Sekitar dua bulan lalu, ayah satu anak ini bahkan mengalami kecelakaan kerja. Hari itu, seperti biasanya dia sedang menyapu jalan, ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor yang tengah melaju kencang menabraknya.
Tabrakan itu membuatnya sempat tidak sadarkan diri dan harus dilarikan ke rumah sakit. Beruntung, dia menda­pat ganti rugi biaya perawatan dan pengobatan sebesar Rp 500.000 dari perusahaannya.
Ritme kerja yang hampur sama juga dialami Yanto (43), penyapu jalan di Jalan Bekasi Barat Raya, Jatinegara, Jakarta Timur. Jumat (24/7) siang sekitar pukul 12.00 WIB saat SH menyambanginya, lelaki berkulit legam ini baru bangun dari istirahatnya.
Bersama dua rekannya yang lain, Yanto sebelumnya tidur di jalur hijau di dekat halte TransJakarta, Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Istirahat itu baru boleh dijalaninya kalau Jalan Jatinegara Barat Raya telah bersih dari sampah. Ketika tengah hari menjelang, dia harus kembali bekerja, mengingat jalan mulai dipenuhi sampah.
Tidak banyak waktu baginya untuk istirahat. Pasalnya, ruas jalan itu adalah salah satu pusat keramaian di Jakarta. Selalu saja ada tumpukan sampah di jalan-jalan. Dia berharap warga kota mau bekerja sama dengannya dengan tidak membuang sampah sembarangan. "Kalau begitu kan tugas saya jadi lebih ringan. Paling membersihkan sampah daun saja," harapnya.
Pada dasarnya, kebersihan memang bukan hanya tanggung jawab penyapu jalan. Setiap warga kota memiliki tanggung jawab untuk ikut menjaga kebersihan dan kesehatan kotanya sendiri.
(deytri aritonang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar