28 Juli 2009

Tragedi Penyemir Cilik

Tragedi Penyemir Cilik

Selasa, 28 Juli 2009 | 00:10 WIB

Inilah korban penerapan hukum secara serampangan. Karena tuduhan berjudi, sepuluh bocah penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta ditahan, lalu divonis bersalah oleh hakim. Rupanya, polisi, jaksa, dan hakim lupa bahwa semangat sebuah undang-undang adalah keadilan, bukan penghukuman.

Meski hakim memutuskan mengembalikan semua anak kepada orang tua masing-masing, mereka tetap divonis bersalah secara pidana. Hakim tak mempertimbangkan bahwa mereka telah mengalami trauma selama tiga minggu penahanan. Trauma itu kini bertambah dengan cap bahwa mereka bersalah secara hukum.

Kesepuluh anak itu ditangkap polisi satuan khusus Bandara Soekarno-Hatta pada 29 Mei lalu. Saat itu sedang berlangsung operasi penertiban pengasong, calo, dan taksi liar. Para bocah itu, yang masih duduk di kelas II hingga IV SD, sehari-hari memang bekerja sebagai penyemir sepatu di bandara.

Lelah menunggu orang menyemirkan sepatu, mereka bermain tebak-tebakan. Satu koin dilempar, mereka menebak sisi koin mana yang menghadap ke atas. Ya, mereka memang bertaruh. Besarnya Rp 1.000 per anak. Yang menang kemudian mentraktir makan teman-temannya.

Permainan itulah yang oleh polisi disebut judi. Sambil menunggu pengadilan, mereka ditahan di LP Anak Tangerang. Sebelumnya, saat menjadi tahanan polisi, mereka harus merasakan hukuman dijemur di bawah terik matahari.

Kasus ini merupakan contoh bagaimana hukum diterapkan tanpa mempedulikan asas keadilan dan kepatutan. Mereka dituntut dengan Pasal 303 Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perjudian. Benar, mereka main tebak-tebakan dan bertaruh uang. Tapi apakah permainan mereka bisa dikategorikan sebagai judi yang merusak moralitas masyarakat sehingga perlu dibabat?

Kesalahan berikutnya adalah penahanan. Pasal 16 Undang-Undang No. 23/2003 tentang Perlindungan Anak menyebut, penangkapan, penahanan, dan pemidanaan hanya dilakukan bila diperlukan. Itu pun hanya langkah terakhir. Jelas, tak ada alasan yang cukup untuk menahan mereka. Apakah mereka akan melarikan diri seperti halnya penjahat kelas kakap? Bukankah mereka bisa saja dikembalikan ke orang tuanya untuk dipanggil ke polisi bila diperlukan?

Bahkan kalau mau memikirkan masa depan para bocah itu, seharusnya polisi menggunakan kewenangan diskresi mereka. Dengan kewenangan ini, polisi bisa menyelesaikan perkara tanpa melalui proses pemidanaan. Jaksa dan hakim pun mestinya lebih bijak. Anak-anak itu bukanlah penjudi profesional. Seharusnya berkas perkara mereka ditolak sejak awal. Tak ada unsur pidana yang terpenuhi sebagaimana dituduhkan. Kalaupun anak-anak itu telanjur dituntut, hakim pun seharusnya memvonis mereka bebas murni.

Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi aparat penegak hukum. Menerapkan hukum secara sembarangan terhadap anak-anak bisa membunuh masa depan mereka. Seharusnya polisi, jaksa, dan hakim lebih mengutamakan rasa keadilan dalam menerapkan undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar