26 Juli 2009

Kasus Perdagangan Anak Meningkat

Sabtu, 25 Juli 2009 

OLEH: STEVANI ELISABETH


Sinar Harapan


Jakarta – Kasus perdagangan anak di Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan ini terus meningkat, namun hanya 10 persen kasus ini yang masuk ke pengadilan.


 Data International Organization for Migration (IOM) hingga April 2006 me­nunjukkan bahwa perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus.
Mantan Sekretaris Nasional Satgas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Tb Rachmat Sentika, di Jakarta, Jumat (24/7), menjelaskan bahwa akar permasalahannya adalah transisi ekonomi dan kemiskinan. Saat ini, lahan pertanian yang dapat diambil oleh masyarakat di desa hanya 34 persen, sehingga keluarga-keluarga di desa beralih meninggalkan pertanian, lalu memilih menjadi tenaga kerja.


"Ironisnya lagi, banyak keluarga di desa yang senang mempunyai anak perempuan, karena tidak perlu disekolahkan tinggi-tinggi. Anak perempuan dapat dieksploitasi," lanjut Rachmat. Ia juga mengemukakan, fakta perdagangan orang dapat dilihat dari beberapa faktor, di antaranya tingginya jumlah pasangan yang kawin muda seperti di daerah Pantura, di mana 42,7 persen perempuan menikah di bawah usia 15 tahun. 


Faktor lainnya adalah banyaknya tenaga kerja wanita dan sepertiganya adalah anak-anak. Selain itu, masih cukup banyak anak perempuan yang droup out. Dia menambahkan, program wajib belajar yang dicanangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) belum 100 persen tuntas, karena baru tuntas 60 persen.


Kondisi tersebut diperparah dengan belum terlaksananya implementasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak di kabupaten/kota dengan baik. Menurut Rachmat, peran pemerintah kabupaten/kota belum optimal karena lemahnya dukungan sumber daya, terjadinya transformasi struktural, tingginya angka kemiskinan, dan belum responsifnya kepemimpinan pemerintah daerah terhadap kasus perdagangan anak. Akibatnya, jumlah korban perdagangan anak terus meningkat.


Sementara itu, AKBP Sundari dari Bareskrim Polri, menjelaskan, masih sedikitnya kasus perdagangan anak yang ditangani oleh pihak kepolisian disebabkan banyaknya korban yang enggan melaporkan ke polisi. "Para korban ini enggan melaporkan ke polisi karena rata-rata hak-hak mereka sudah dipenuhi di shelter-shelter," tegasnya.


Oleh sebab itu, dia mengimbau agar di masa depan pemerintah membuat satu nomor KTP dan satu registrasi, serta akta kelahiran. Nomor registrasi dan akta kelahiran dapat mengurangi terjadinya pemalsuan KTP dan pemalsuan paspor. Polri sendiri telah membentuk unit pelayanan perempuan dan anak yang salah satunya untuk menangani masalah perdagangan anak, yakni 3.000 pusat layanan terpadu dan 36 RS Bayangkari.


Sementara itu, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial Makmur Sunusi mengatakan, masalah perdagangan anak memang tidak lepas dari masalah kemiskinan. Dalam menangani korban perdagangan anak, Depsos telah menyiapkan pusat-pusat rehabilitasi, social center dan rumah perlindungan. Untuk itu pula, Depsos juga telah bekerja sama dengan RS Polri Kramatjati dan PLAN. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar