Rabu, 29 Juli 2009 13:19 Tata Ruang Harus Perhitungkan Sektor Informal | Jakarta – Penataan ruang Kota Jakarta harus memperhitungkan keberadaan sektor informal, yakni pedagang kaki lima, sebagai salah satu sektor perekonomian. Hal itu disampaikan Direktur Penataan Ruang Wilayah I Departemen Pekerjaan Umum Bahal Edison pada mini workshop bertajuk "Peran Jurnalis dalam Mewujudkan Tertib Tata ruang", Selasa (28/7) siang. Dia mengungkapkan, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan, tata ruang kota di dalamnya termasuk tempat-tempat untuk sektor informal. "Pemda harus memperhitungkan pedagang kaki lima. Selama ini sektor informal dibiarkan liar dan malah merusak rencana tata ruang kota," katanya. Ia mengatakan, sektor ekonomi informal harus tetap ada dan menjadi tugas pemda setempat untuk mengatur keberadaannya. Dalam kesempatan yang sama, Edison menuturkan, masih ada 136 pemda kabupaten/kota yang belum merevisi rencanan tata ruang dan wilayah (RTRW)-nya. Dia menilai hal itu sebagai rendahnya pemahaman dan kepedulian Pemda setempat atas pentingnya rencana tata ruang. Dia menilai, masih banyak wilayah di Indonesia, salah satunya Jakarta, yang penataan ruangnya belum sesuai peraturan. "Misalnya, ketersedian ruang terbuka hijau (RTH). Peraturan menyebutkan, sebuah wilayah harus punya RTH sebesar 30 persen luas wilayahnya," jelasnya. Dia memaparkan, banyaknya penyinpampangan soal tata ruang kota dapat ditekan dengan pengadaan insentif kepada orang atau pengembang yang sejalan dengan rencana tata ruang. Insentif dapat diberikan dalam bentuk keringanan pajak, pemberian kompensasi, kemudahan prosedur peizinan, atau pemberian penghargaan. Sebaliknya, penting untuk menerapkan disinsentif untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.(deytri aritonang) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar