Potret Buram Anak Jalanan
Sriwijaya Post - Kamis, 23 Juli 2009 06:18 WIB SELAMAT Datang Picasso Masa Depan. Kalimat itu tertulis pada papan iklan di simpang empat Jakabaring, milik salah satu bank. Billboard memuat gambar dua anak yang belajar sambil bermain melukis di dinding. Usianya kisaran enam tahun mengenakan pakaian bagus dan masih baru berlumuran cat. Keduanya memegang kuas dan tertawa riang, seolah tidak khawatir bakal ditegur orangtuanya karena aktivitas itu. Bahagia. Melihat ulah mereka senyum kita mengembang. Tapi coba perhatikan aktivitas anak-anak -dalam kehidupan nyata- yang berteduh di bawah billboard itu, tersembunyi di antara tanaman hias taman kota. Sungguh berbanding terbalik. Seperti potret buram. Tak ada cerita pakaian bagus, tidak juga sedang belajar. Disebut bermain kurang tepat juga. Rabu (22/7) pukul 17.00, Devi (13) mengenakan kaos panjang coklat dan berjilbab mengurai rambut kakak perempuannya, Yulia (25). Ia mencari kutu. Yulia saat itu duduk bersila di atas rumput memangku seorang anak berusia dua tahun. Tangan kanannya memegang rokok yang sesekali diselipkan ke bibir, lalu asap keluar melalui mulut dan hidung. Anak yang dipangku tadi bercanda dengan Rinto (9), putra sulung Yulia. Mereka sedang istirahat. Devi baru saja menggendong bayi Yulia menghampiri mobil dan motor yang stop di lampu merah. Rinto juga, kecapaian sepanjang siang menjulurkan tangan minta sedekah. Jurus mereka sama, muka memelas dan ngotot. "Na, budak tu berebut duit. Ai, dak kebagian kamu," kata Yulia, menghentikan jari Devi di kepalanya. Ia menunjuk empat anak yang adu cepat memungut lembar ribuan di jalan aspal. *** Hari Anak Nasional (HAN) diperingati tiap tahun. Pertama kali dicanangkan pada 23 Juli tahun 1986 oleh mantan Presiden Soeharto. Semangatnya, momen ini jadi awal kunci kemajuan bangsa karena anak-anak merupakan aset pembangunan di masa depan. Berbicara tentang HAN, masih memprihatinkan karena banyak sekali anak yang tidak tahu tentang ini jika ditanya. Bahkan mereka lebih hapal Hari Kartini atau Hari Ibu, ketimbang hari yang dikhususkan untuk mereka itu. Seperti anak jalanan (anjal) di simpang Jakabaring kemarin. Devi enggelengkan kepala, tidak mengerti. Ia juga tak tertarik membahasnya, tapi lebih suka menghitung receh dalam kantong kain. Yulia coba menjawab. "Hari kasih anak," katanya. Hak-hak anak yang terangkum dalam butir-butur konvensi PBB adalah hak memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman. Kemudian hak memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan. Devi dan anjal lainnya tentu jauh dari pemenuhan hak-hak seperti itu. Orangtua menganggap anak adalah hak milik dan peraturannya adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Mereka dikejar Pol PP. Menurut Yulia, sebagai bentuk pertanggungjawaban kalau anaknya kena tangkap, ada dua pilihan ditebus Rp 160 ribu atau masuk panti. Tidak ada jaminan Devi tak tertabrak mobil, bayi Yulia tadi sudah kebal cuaca panas dan hujan. Bekerja 7 hari dalam sepekan dari pukul 14.00 sampai pukul 21.00. "Libur kalo ujan dari pagi. Kalo dak tu hari ni dapet duit banyak," kata Devi. Ia mengaku cari uang buat bayaran sekolah, beli buku dan baju. Sehari dapat kisaran Rp 30 ribu. Devi murid kelas 5 SD, pulang sekolah ganti pakaian langsung turun ke jalan, begitu setiap hari. Selain di simpang Jakabaring, Devi kadang diajak Yulia ke simpang Patal. "Dak selamonyo aku di lampu merah, aku pengen sekolah terus. Aku pengen jadi dokter," ujar Devi. Ia berlalu, kembali kerja dengan menggendong bayi lainnya -bukan anak Yulia- yang dititipkan seorang warga. Ibu bayi ini dapat duit bagi hasil yang dikoordinir seorang wanita paruh baya dan remaja pria. Yulia bersama bayinya melanjutkan istirahat. Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Palembang, Hasbullah Tuwi, melalui Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, A Malik Danil SE, mengatakan, masalah anjal di Kota Palembang sangat kompleks. Sebanyak 216 anjal (data Mei 2009) yang sering mangkal di jalanan dan tempat umum lainnya sulit dibina. Mereka lebih memilih bebas berkeliaran dari pada dibina atau di sekolahkan. Menurut Malik, anjal adalah mereka yang berkeliaran di jalanan umur antara 5 sampai 21 tahun. Ada yang mengamen, mengemis, atau menjual jasa membersihkan kaca mobil dan lainnya. Para anjal ini ada yang masih sekolah berstatus pelajar ada juga yang memang tidak sekolah lagi. Khusus pengemis, ada juga anak-anak di bawah umur lima tahun bahkan balita yang disuruh orangtuanya. "Mereka sering kami razia dan tangkap, tapi menolak dididik. Mereka mengaku mencari uang membantu orangtuanya," kata Malik. Situasi anjal cukup memprihatinkan karena belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Jumlahnya terus-menerus meningkat. Tak ada angka pasti yang dapat jadi patokan karena kaum urban poor dari berbagai daerah terus bertambah. Bandingkan kondisi mereka dengan anak-anak yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Seperti Farandy Arlian, siswa kelas 3 SMA Xaverius I Palembang, sejak kecil mendapat perhatian cukup dari orangtuanya. Ia tak dipusingkan biaya sekolah tapi bertanggung jawab pada tugasnya sebagai pelajar. Belajar dan belajar. Bermain sekedarnya saja. Hasilnya, Farandy dan 16 rekannya bakal ikut Olimpiade Sains di Jakarta 3-9 Agustus mendatang. (tarso/aang hf)http://www.sripoku.com/view/15404/Potret-Buram-Anak-Jalanan |
23 Juli 2009
Potret Buram Anak Jalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar