BENCANA Penanggulangan yang Tidak Komunikatif KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air guna memadamkan sisa-sisa api yang baru saja menghanguskan sejumlah rumah di kawasan Pademangan, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (1/12). Belum diketahui secara pasti penyebab musibah ini. Senin, 14 Desember 2009 | 08:01 WIB Oleh M Clara Wresti dan Neli Triana KOMPAS.com - Kamis (3/12), Waridi (53) terlihat sangat kepanasan. Dengan baju yang agak kebesaran dan tidak dikancing, Waridi mengipas-ngipas tubuhnya di bawah tenda darurat di halaman sebuah gudang di Jalan Lodan, Ancol, Jakarta Utara. Warga RT 04 RW 01, Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, itu memang sedang mengungsi di tenda yang panas. Dia menjadi salah satu dari 330 jiwa korban kebakaran yang terjadi pada Selasa (1/12) siang. "Sudah dua malam di sini. Panas dan banyak nyamuk. Tetapi mau di mana lagi, wong rumah saya rata dengan tanah. Hanya baju yang saya pakai yang tersisa," kata Waridi yang sehari-hari bekerja sebagai sopir. Waridi, dan ribuan warga Jakarta lainnya, tahun ini menjadi korban bencana yang terus-menerus terjadi di Jakarta. Kebakaran dan banjir silih berganti, membuat warga harus meninggalkan rumahnya dan mengungsi di tenda-tenda darurat. Untuk kebakaran saja, per 1 Januari 2009 hingga Senin (7/12), Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta mencatat telah terjadi 765 kali peristiwa kebakaran di wilayah DKI Jakarta, dengan perkiraan kerugian material sebesar Rp 242.958.870.000. Angka keseringan kebakaran juga amat tinggi pada 2008, yaitu mencapai 818 kasus, pada 2007 terdapat total 734 kebakaran, pada 2006 ada 490 kebakaran, dan pada 2005 mencapai 680 kasus. Tingkat kerugian per tahun rata-rata Rp 140 miliar-Rp 250 miliar. Basis data Kompas mencatat, sejak 2004 hingga 2009 terdapat sekitar 30 kali kebakaran di Tambora dan sekitar 45 kali kebakaran di Penjaringan. Dari banyaknya korban, terlihat warga Jakarta belum siap menghadapi bencana yang setiap saat bisa terjadi. Nuzul Achjar, peneliti dari Universitas Indonesia, menyatakan, meski memiliki kelengkapan data, termasuk data daerah rawan kebakaran, memang belum ada upaya serius dari pemerintah untuk menyadarkan masyarakat. Seusai kebakaran, setelah memberikan pertolongan dan tempat mengungsi, tidak pernah ada arahan bagi warga bagaimana membangun rumah sehat, apalagi menata perkampungan agar lebih nyaman dihuni. Penyuluhan Pada penyuluhan di tingkat lokal, seperti kegiatan RT, pengajian ibu-ibu, atau arisan warga, bahaya kebakaran belum menjadi topik utama yang sengaja terus dibicarakan untuk kampanye menghindari bencana rutin itu. "Padahal, kesadaran di tingkat komunitas itu yang paling perlu ditingkatkan. Antarwarga bisa saling mengingatkan jika di rumah salah satu warga berpotensi terbakar karena ada penggunaan alat yang salah, bisa saling memerhatikan penggunaan peralatan listrik yang menjadi sumber utama kebakaran, bisa disediakan sumber air bersama untuk pemadaman, rute evakuasi, dan masih banyak lagi. Warga jadi tidak bergantung sepenuhnya pada petugas pemadam kebakaran," kata Nuzul. Menurut Nur Iman, Ketua RT 02 RW 11 Koja, Jakarta Utara, selama ini setiap kali terjadi bencana, warga hanya mengandalkan kerja sama gotong royong antarwarga. Semua bencana diatasi dengan instingtif, tanpa sebuah sistem yang efektif untuk mengatasi bencana. Kalau ada kebakaran, ya disiram dengan air. Kalau ada banjir, ya saling membantu untuk mengungsi dan angkut-angkut barang. Sementara prosedur standar untuk mengatasi bencana yang efektif belum dikuasai oleh warga masyarakat. Yang terjadi di masyarakat, mereka secara sendiri-sendiri berusaha mencegah. Misalnya saja yang dilakukan Suyudi (46), warga RT 02 RW 11 Koja. Dia mengganti semua kabel listriknya setelah 10 tahun menggunakannya. "Sebenarnya saya juga tidak tahu kabel listrik itu harus diganti. Lalu orang yang mengontrak rumah saya bilang, kabel yang sudah tua akan mudah memicu kebakaran. Makanya saya ganti semua kabel yang ada di rumah," kata Suyudi. Atau, Siti (28), salah seorang pengontrak di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Bersama sesama pengontrak, dia selalu bergantian jika akan menggunakan listrik untuk menyetrika atau memasak nasi dengan magic jar. "Di sini daya listriknya tidak besar. Kalau tidak bergantian memakai, pasti akan mati. Kami takut, kalau keseringan mati, akhirnya malah kebakaran," tutur Siti. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang sudah berupaya menanggulangi bencana. Pada tahun 2002, semua RT di Jakarta diberikan alat pemadam api ringan (APAR). Sementara RW-RW yang rawan kebakaran diberikan alat pemadam api ukuran 40 kilogram. Menurut Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta saat itu, upaya masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi bencana akan lebih efektif jika dibekali alat yang tepat. Pada saat yang sama, setiap kantor RW juga dipasangkan alarm yang tersambung langsung ke suku dinas kebakaran dan penanggulangan bencana setempat. Jadi, jika terjadi bencana, warga cukup menekan tombol merah, dan petugas akan menghubungi kantor RW itu. Dengan alarm ini diharapkan petugas bisa cepat tiba di tempat saat bencana terjadi. Pekan lalu, Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana juga memberikan bantuan berupa mesin pompa portabel yang bisa dipakai untuk membuang air saat banjir, atau untuk menyemprotkan air saat kebakaran. Pompa ini berdaya cukup besar. Semprotannya saja bisa mencapai 50 meter. Dengan belum adanya sistem penanggulangan bencana yang baku, pemberian alat-alat ini perlu dicermati agar tidak menjadi sia-sia. Misalnya saja APAR yang ada di RT dan RW saat ini banyak yang tidak bisa digunakan. Sebagian besar sudah habis masa uji penggunaannya. Ketika kebakaran terjadi, warga tidak bisa menggunakannya karena yang keluar hanya angin. Warga tidak tahu di mana harus mengisi ulang APAR. Kalaupun tahu tempatnya, warga pun tidak tahu bagaimana membawa APAR itu, terutama APAR yang besar. Untuk alarm pun warga tidak tahu apakah masih berfungsi atau tidak. "Kami tidak berani mencoba. Takut kalau kami pencet, tahu-tahu mobil pemadam berdatangan," kata Fhylis Sudaryanto, Ketua Dewan Kelurahan Kalibaru, Jakarta Utara. Dinas kebakaran Sementara itu, Ngarno, Kepala Suku Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Utara, menuturkan, sebenarnya pihak pemerintah sudah berusaha membuat sistem pencegahan dan penanggulangan yang melibatkan warga. "Kami sudah melatih 14 angkatan warga menjadi Barisan Sukarela Kebakaran (Balakar) di Jakarta Utara. Setiap angkatan jumlahnya 35 orang," kata Ngarno. Namun, Ngarno mengakui, walaupun sudah ada Balakar, kerugian akibat bencana masih tetap ada. Dia mengakui, segala upaya yang dilakukan pemerintah sering kali tidak berjalan dengan baik karena kesibukan masyarakat sendiri. "Ketika bantuan alat diberikan, warga pasti dibekali dengan informasi mengenai cara pemakaian dan pemeliharaan. Tetapi, ya karena mereka sibuk dengan penghidupan mereka, mencari nafkah satu hari untuk dimakan satu hari, bagaimana mereka bisa mengingat soal alat-alat itu," ujarnya. Ngarno mengatakan, alat-alat yang diberikan oleh pemerintah adalah milik pemerintah sehingga pemerintahlah yang wajib mengisi ulang atau memelihara alat. Namun, pemerintah perlu dibantu untuk diinformasikan apakah alat itu masih berfungsi dengan baik atau tidak. Sistem penanggulangan yang baku, pemeliharaan alat, dan komunikasi yang efektif ternyata menjadi sebuah kesatuan yang bisa mengurangi angka kerugian akibat bencana. http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/12/14/08010054/Penanggulangan.yang.Tidak.Komunikatif |
13 Desember 2009
Penanggulangan yang Tidak Komunikatif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar