08 Desember 2009

Ke Mana Warga Miskin Berobat?


KOMPAS/M CLARA WRESTI

Rabu, 2 Desember 2009

OLEH
M CLARA WRESTI

Ahmad Marzuki tidak sendirian. Satu bulan terakhir ini saja, ada 12 orang di Kampung Beting yang meninggal dunia karena tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.

Ini baru di Kampung Beting, kawasan tak bertuan yang terletak di belakang Islamic Center, Koja, Jakarta Utara. Padahal, di Jakarta, banyak kantung miskin seperti ini, seperti Penjaringan, Tambora, Cengkareng, Pulogadung, Kampung Sawah, pinggir jalan kereta, dan kolong jembatan.

Para penghuni di kantung-kantung miskin biasanya pendatang yang sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta. Mereka tidak bisa lagi balik ke kampung halaman karena sudah tidak punya tanah dan keluarga.

Warga di kantung miskin ini bisa juga warga Jakarta yang tidak punya kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) karena memang tidak pernah mengurus kedua bukti kependudukan ini. Jangankan mengeluarkan uang untuk mengurus KTP dan KK, untuk makan saja mereka sulit.

Padahal, warga yang hidup di kantung miskin justru warga yang paling rentan penyakit. Di Kampung Beting, warga sangat biasa berjalan di jalan yang digenangi air. Kawasan yang tumbuh liar ini tentu saja tidak dilengkapi dengan sarana saluran pembuangan air kotor. Akibatnya, air kotor dibuang ke jalan dan menjadi sarang nyamuk, warga mudah terkena penyakit kulit, dan tentu saja juga sakit perut.

Selain itu, kesulitan ekonomi mendorong warga bekerja sebagai penjaja seks komersial yang rentan terpapar penyakit menular seksual.

Namun, bagi mereka, berobat adalah kemewahan. Apalagi mendapat perawatan di rumah sakit.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang sudah menyediakan layanan berobat gratis bagi warga miskin melalui program Gakin. Warga kurang mampu juga bisa membuat surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapat bantuan pengobatan.

Anggaran untuk Gakin dan SKTM tiap tahun bertambah. Tahun 2010, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menganggarkan Rp 550 miliar bagi 323.170 jiwa warga miskin, yang tercatat sebagai penduduk DKI Jakarta periode awal 2009.

Dengan anggaran sebanyak itu, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati bertekad memberikan layanan yang baik bagi 100 persen warga miskin.

Namun, perlu digarisbawahi, warga miskin yang akan dilayani adalah warga miskin yang memiliki KTP dan KK DKI Jakarta. Sementara penghuni di kawasan ilegal yang miskin itu tidak akan dilayani karena mereka tidak bisa membuktikan mereka warga Jakarta walaupun mereka sudah puluhan tahun hidup di Ibu Kota.

Askeskin-Jamkesmas

Adanya warga miskin yang telantar seperti ini membuat Departemen Kesehatan memutuskan untuk menanggung pengobatan mereka. Tahun 2005, Menteri Kesehatan Siti Fadila Supari mengunjungi Kampung Beting dan melihat sendiri bagaimana kondisi warga wilayah itu. Menteri Kesehatan (Menkes) lalu menerbitkan Kartu Asuransi Kesehatan Miskin (Askeskin) sebanyak 2.869 buah.

Warga bisa berobat dengan lancar. Namun, persoalan muncul ketika Askeskin diganti dengan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tidak semua warga mendapatkan kartu ini. Rumah sakit menolak pasien yang memakai kartu Askeskin karena Departemen Kesehatan hanya mengganti biaya perawatan yang menggunakan kartu Jamkesmas.

Pasien tidak diterima karena kesulitan rumah sakit dan instansi terkait untuk memverifikasi apakah benar pasien itu warga miskin.

Beruntung, di Kampung Beting ada LSM Forum Bersama Penggugat Kampung Beting, yang bisa membantu memverifikasi dengan mengeluarkan SKTM. Surat ini lalu diajukan ke Departemen Kesehatan untuk dibuatkan surat jaminan ke rumah sakit.

Sayang, upaya itu kini juga terganjal. Setelah Menkes diganti, aturan tentang Jamkesmas pun berubah. Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih mengembalikan Jamkesmas ke Askeskin. Bagi warga miskin yang tak memiliki kartu Askeskin, bisa mendapat layanan kesehatan asalkan mendapat verifikasi dari dinas sosial setempat.

Di sinilah masalahnya. Warga di kantung miskin tidak ada yang punya KTP dan KK sebagai syarat yang diminta dinas sosial.

Iskandar Sitorus, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, beranggapan masalah ini bukti kebijakan pemerintah soal kesehatan warga miskin hanya bersifat populis. "Kebijakan populis ini justru tidak menyentuh akar masalah. Cara ini tak akan berhasil, mengingat Indonesia tak memiliki data kependudukan yang baik," ujarnya.

Verifikasi dari aparat pemerintah memegang peranan penting karena takut dana dipakai oleh orang yang tidak berhak. "Kenyataan itu memang ada, tetapi warga yang benar-benar miskin jauh lebih banyak dan mereka tidak bisa menunggu pengobatan," tutur Iskandar.

Sambil menunggu keputusan pemerintah, sebaiknya tanggung jawab pengobatan warga miskin diambil alih oleh rumah sakit. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 menetapkan, setiap rumah sakit harus mengalokasikan 20 persen tempat tidurnya bagi warga miskin. "Adanya Jamkesmas atau Askeskin membuat rumah sakit melupakan UU ini," kata Iskandar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar